Arie Hanggara

anak korban kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia (1977-1984)

Arie Hanggara (21 Desember 1977 – 8 November 1984) adalah seorang anak yang meninggal setelah dianiaya oleh ayahnya Machtino dan ibu tirinya Santi pada 1984 hingga dinyatakan meninggal. Kasus Arie Hanggara menjadi begitu besar karena besarnya perhatian media massa untuk mengangkat tragedi tersebut.[1]

Arie Hanggara
Lahir(1977-12-21)21 Desember 1977
Bogor, Jawa Barat, Indonesia
Meninggal8 November 1984(1984-11-08) (umur 6)
Jakarta, Indonesia
Sebab meninggalPenganiayaan hingga meninggal

Hingga sekarang, kasus Arie Hanggara masih sering diangkat dan dijadikan referensi oleh media massa indonesia, terutama jika ada sebuah kasus sejenis ketika seorang anak menjadi korban kekerasan orangtuanya sendiri. Begitu besarnya animo masyarakat, membuat kasus tersebut diangkat menjadi sebuah film, Arie Hanggara, yang diproduksi oleh PT Tobali Indah Film pada 1985, dan cukup sukses dalam pemasaran.

Biografi

sunting

Arie Hanggara terlahir sebagai anak kedua dari pasangan Machtino Eddiwan dan Dahlia Nasution. Namun saat rumah tangga mereka menjadi kacau, Arie bersama dua orang saudaranya dibawa sang ayah untuk hidup bersama perempuan selingkuhannya bernama Santi.[2]

Santi sering dikabarkan sebagai ibu tiri Arie dan saudara-saudaranya, meskipun Machtino dan Santi belum resmi sebagai pasangan suami istri pada Tempo edisi 13 April 1985. Masyarakat yang menganggap Santi sebagai ibu tirinya kelak akan menjadikan status “ibu tiri” sebagai mimpi buruk bagi anak-anak.[2]

Arie bersekolah di Perguruan Cikini, Jakarta Pusat. Ayahnya menganggur setelah usahanya bangkrut dan Santi bekerja di kantoran. Arie dikenal suka bergaul dan periang pada teman-temannya di sekolah menurut gurunya, Khadidjah; sementara Santi dan ayahnya menganggap Arie sebagai anak yang nakal. Konon, beberapa kali mereka mendapati Arie mencuri uang.[2]

Kematian

sunting

Karena kesal dengan perbuatan Arie, Ayahnya dan Santi kerap menyiksanya. Arie dianiaya oleh ayahnya dan ibu tirinya seperti dipukul, ditendang, ditampar, dibuat tak bedaya., disuruh squat jump secara terus-menerus sampai kelelahan, kepalanya dibenturkan ke tembok, dan dikurung di dalam kamar mandi.[2]

Meski Arie sering mendapat perlakuan seperti itu; menurut Khadidjah, Arie tidak memperlihatkan dirinya mengalami tekanan mental. Jika luka di tubuhnya ketahuan oleh guru, ia menjawabnya karena jatuh, dan alasan yang lain.[2]

Setelah disiksa dari siang, pada malam hari ia disuruh menghadap tembok, kepalanya dibenturkan ke tembok, tidak diperbolehkan makan dan minum, dan dikurung di dalam kamar mandi dan dikunci; hukuman terakhir.[2] Arie yang saat itu masih berusia 6 tahun dipaksa masuk ke kamar mandi. Setelah beberapa jam, Arie akhirnya pingsan di kamar mandi tanpa disadari. Ayahnya yang merasa hukuman Arie sudah cukup membuka pintu kamar mandi dan mendapati anaknya telah pingsan sekaligus sekarat dengan kepala yang berdarah. Arie dilarikan ke rumah sakit dan meninggal saat di perjalanan.[2]

Setelah mengalami penganiayaan dari orang tuanya, Arie Hanggara meninggal pada hari Kamis, 8 November 1984. Ia mati pada subuh hari di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dan jenazahnya disimpan di kamar mayat. Kondisi jenazah Arie Hanggara penuh dengan memar dengan mata kanan membiru akibat lebam, darah mengalir dari hidung, dan bagian kening terluka. Sebagian kepalanya mengalami keretakan dan dan beberapa tulangnya patah akibat mengalami benturan dan pukulan.[3] Mayat Arie dipenuhi sekitar 40 luka yang menyebar di hampir sekujur tubuhnya, di antaranya di punggung, pinggang, pantat, dada, tengkuk, luka serius yang menyebar di kedua lengan, dan lainnya.[2]

Pemakaman

sunting

Arie Hanggara dimakamkan di TPU Jeruk Purut, Jakarta Selatan. Di samping kanan dan kiri nisannya, terdapat tulisan “Maafkan Papa” dan “Maafkan Mama”..

Persidangan hukum

sunting

Machtino Eddiwan ditahan di Kantor Kepolisian Sektor Mampang, Kota Jakarta Selatan. Ia kemudian memilih seorang pengacara bernama Henry Yosodiningrat untuk membela dirinya.[4] Setelah menjalani proses persidangan, akhirnya vonis dijatuhkan. Machtino Eddiwan, ayah Arie, divonis 5 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sementara Santi divonis 2 tahun penjara. Hukuman terhadap Santi yang lebih ringan karena ia dianggap hanya membantu Machtino Eddiwan dalam melakukan penganiayaan..

Kesudahan

sunting

Nugroho Notosusanto yang saat itu menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan hendak memasang patung Arie Hanggara di depan kantor kementrian tersebut dengan maksud agar peristiwa itu tidak diulang. Namun patung itu akhirnya batal dipasang karena diprotes pihak keluarga, terutama ibu kandungnya, yang menganggapnya hanya akan mengabadikan luka.[butuh rujukan]

Pada tahun 1985, PT Toboali Indah Film mengangkat kasus ini dalam film Arie Hanggara. Yan Cherry Budiono berperan sebagai Arie, sementara Machtino dan Santi diperankan oleh Deddy Mizwar dan Joice Erna. Agar dapat ditonton oleh semua usia, cerita dalam film ini sedikit diubah dan diperhalus dari peristiwa aslinya, contohnya adegan ibu kandung Arie, Dahlia (diperankan Anissa Sitawati) hadir saat pemakaman Arie. Dalam peristiwa sebenarnya, Dahlia baru mengetahui kematian anaknya beberapa hari setelah pemakaman, bahkan publik sempat mengira bahwa Santi adalah ibu kandung Arie.

Machtino Eddiwan diketahui meninggal dunia pada tahun 2004. Sedangkan Santi dan Dahlia telah memiliki keluarga baru. [5]

Referensi

sunting

Catatan kaki

sunting
  1. ^ Ramadhan, Bilal (2 Mei 2014). "Nasib Makam Arie Hanggara 'Si Korban Ibu Tiri' (1)". Republika. Diarsipkan dari versi asli tanggal 12 Maret 2017. Diakses tanggal 27 Agustus 2020. 
  2. ^ a b c d e f g h Teguh, Irfan (2019). "Kisah Arie Hanggara dan Kekerasan yang Menghantui Anak-Anak". Tirto.id. Diakses tanggal 15 Juni 2022. 
  3. ^ Haricahyono 1987, hlm. 23.
  4. ^ Haricahyono 1987, hlm. 25.
  5. ^ Taufiqurrohman; Syah, Moch Harun (2014). Kristanti, Elin Yunita, ed. "`Wasiat` Terlupakan dari Kuburan Arie Hanggara..." Liputan6.com. Diakses tanggal 15 Juni 2022. 

Daftar pustaka

sunting
  • Haricahyono, Cheppy (1987). Ilmu Budaya Dasar. Surabaya: Usaha Nasional.