Bahasa Aceh
Bahasa Aceh adalah sebuah bahasa yang dituturkan oleh masyarakat Aceh yang terdapat di wilayah pesisir, sebagian pedalaman dan sebagian kepulauan di Aceh. Bahasa Aceh termasuk dalam rumpun bahasa Chamik, cabang dari rumpun bahasa Melayu-Polinesia, cabang dari rumpun bahasa Austronesia.[7]
Penggolongan
suntingBahasa Aceh termasuk dalam kelompok bahasa Chamic, cabang dari rumpun bahasa Melayu-Polinesia, cabang dari rumpun bahasa Austronesia. Bahasa-bahasa yang memiliki kekerabatan terdekat dengan bahasa Aceh adalah bahasa Cham, Roglai, Jarai, Rade dan 6 bahasa lainnya dalam rumpun bahasa Chamic. Bahasa-bahasa lainnya yang juga berkerabat dengan bahasa Aceh adalah bahasa Melayu dan bahasa Minangkabau.
Persebaran
suntingBahasa Aceh tersebar terutama di wilayah pesisir Aceh. Bahasa ini dituturkan mulai dari Manyak Payed, Aceh Tamiang di pesisir timur sampai ke Trumon, Aceh Selatan di pesisir barat.
Pesisir Timur Aceh
sunting- Kota Sabang
- Banda Aceh
- Aceh Besar
- Pidie
- Pidie Jaya
- Bireuen
- Aceh Utara
- Lhokseumawe
- Aceh Timur (kecuali di 3 kecamatan, Serba Jadi, Peunaron and Simpang Jernih di mana bahasa Gayo dipakai)
- Langsa
- Aceh Tamiang, di kecamatan Manyak Payed
Pesisir barat Aceh
sunting- Aceh Jaya
- Aceh Barat
- Nagan Raya
- Aceh Barat Daya (kecuali di kecamatan Susoh di mana bahasa Jamee dituturkan)
- Aceh Selatan (disebut juga bahasa Bakongan; bercampur dengan bahasa Kluet dan bahasa Jamee)
Sejarah
suntingPada tahun 1931 pemerintah Hindia Belanda di Aceh menghendaki supaya bahasa Aceh dipergunakan sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah rakyat, di samping bahasa Melayu yang sudah pernah digunakan sebelumnya. Namun para cendikiawan Aceh yang di antaranya terdiri dari beberapa tokoh ulee balang tidak menyetujui maksud pemerintah Hindia Belanda tersebut. Para cendikiawan Aceh menganggap usaha pemerintah itu akan mencegah berkembangnya bahasa Melayu di Aceh. Dengan demikian akan menghambat rakyat Aceh untuk mengerti bahasa tersebut yang amat diperlukan bagi pengembangan ekonomi mereka, dan dalam berhubungan dengan bangsa-bangsa lain di sekitarnya. Tetapi pemerintah Hindia Belanda di Aceh tetap bersikeras untuk melaksanakan rencana itu. Maka pada tanggal 1 Juli 1932, pemerintah Hindia Belanda menetapkan secara resmi pemakaian bahasa Aceh sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah rakyat sebagai pengganti bahasa Melayu kecuali di beberapa daerah yang tidak dihuni oleh etnis Aceh.
Meskipun bahasa Aceh telah ditetapkan sebagai bahasa pengantar sejak tanggal l Juli 1932, tetapi bahasa Melayu pada beberapa sekolah masih tetap digunakan. Menurut laporan umum pemerintah Hindia Belanda tentang pendidikan di Aceh pada tahun 1933 dan tahun 1934, masih terdapat 88 buah sekolah rakyat yang berada di kota-kota besar di Aceh yang menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar, dan yang lainnya (sebanyak 207 buah) telah menggunakan bahasa Aceh sebagai bahasa pengantar. Sekolah yang telah menggunakan bahasa Aceh sebagai bahasa pengantar yaitu Langsa 16 sekolah, Lhok Seumawe 60 sekolah, Sigli 42 sekolah, Kutaraja 42 sekolah, Meulaboh 30 sekolah dan Tapak Tuan 17 sekolah. Sedangkan sekolah-sekolah yang tetap menggunakan bahasa Melayu yaitu Langsa 38 sekolah, Lhok Seumawe 5 sekolah, Sigli 6 sekolah, Kutaraja 7 sekolah, Meulaboh 1 sekolah dan Tapak Tuan 34 sekolah.
Menurut J. Jongejans yang menjabat sebagai residen di Aceh sejak 5 Maret 1936 hingga bulan September 1938, pada tahun 1939 dari 328 buah jumlah sekolah rakyat yang terdapat di seluruh Aceh, 210 buah di antaranya telah menggunakan bahasa Aceh sebagai bahasa bantu/pengantar di sarnping bahasa Melayu.[8]
Literatur
suntingSampai saat ini manuskrip berbahasa Aceh tertua yang dapat ditemukan berasal dari tahun 1069 H (1658/1659 M) yaitu Hikayat Seuma'un.[9]
Sebelum penjajahan Belanda (1873–1942), hampir semua literatur berbahasa Aceh berbentuk puisi dalam bentuk hikayat atau nazam. Sedikit sekali yang berbentuk prosa dan salah satunya adalah Kitab Bakeu Meunan yang merupakan terjemahan kitab Qawaa'id al-Islaam.[10]
Setelah kedatangan Belanda barulah muncul karya tulis berbahasa Aceh dalam bentuk prosa yaitu pada tahun 1930-an, seperti Lhee Saboh Nang yang ditulis oleh Aboe Bakar dan De Vries.[11] Setelah itu barulah bermunculan berbagai karya tulis berbentuk prosa namun demikian masih tetap didominasi oleh karya tulis berbentuk hikayat.
Media massa
suntingSampai saat ini belum ada surat kabar yang diterbitkan dalam bahasa Aceh. Pada tahun 2020 diluncurkan majalah berbahasa Aceh untuk pertama kalinya, yaitu Majalah Neurôk. Penerbitan ini digagas oleh seorang budayawan Aceh yaitu Ayah Panton.[12]
Fonologi
suntingBerikut adalah fonem-fonem bahasa Aceh.
Depan | Tengah | Belakang | ||||
---|---|---|---|---|---|---|
mulut | sengau | mulut | sengau | mulut | sengau | |
Tertutup | i | ĩ | ɨ | ɨ̃ | u | ũ |
Tengah tertutup | e | ɛ̃ | ə | ʌ̃ | o | ɔ̃ |
Tengah terbuka | ɛ | ʌ | ɔ | |||
Terbuka | a | ã |
Vokal biasanya berada di pasangan mulut/sengau, meskipun hanya ada tiga vokal sengau pertengahan dan ada vokal oral pertengahan yang jumlahnya dua kali lebih banyak. /ʌ/ tidak benar-benar di tengah, meskipun ditampilkan di sini karena alasan estetika. Demikian pula, /ɨ/ juga ditampilkan sebagai ([ɯ] yang lebih ke belakang.[butuh rujukan] Selain vokal monoftong di atas, bahasa Aceh juga memiliki 5 diftong oral, masing-masing dengan pasangan sengau:[13]
- /iə ɨə uə ɛə ɔə/
- /ĩə ɨ̃ə ũə ɛ̃ə ɔ̃ə/
Bibir | Rongga-gigi | Langit-langit | Langit-langit belakang |
Celah suara | |
---|---|---|---|---|---|
Sengau | m | n | ɲ | ŋ | |
Letup | p b | t d | c ɟ | k g | ʔ |
Desis | s | ʃ | h | ||
Hampiran | w | l | j | ||
Getar | r |
/s/ adalah alveodental laminal. /ʃ/ secara teknis berupa post-alveolar tetapi dikelompokkan dalam kolom langit-langit untuk alasan estetika.
Ejaan
suntingBahasa Aceh telah mengalami berulang kali perubahan ejaan, mulai penggunaan huruf Arab, huruf Latin ejaan lama, dan sekarang adalah Ejaan Yang Disempurnakan. Berikut adalah pedoman ejaannya:[15][16]
- A a
- E e ⓘ dibaca seperti huruf /e/ dalam kata "dekat". Contoh: le (banyak).
- EU eu ⓘ tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Contoh: eu (lihat).
- È è ⓘ dibaca seperti huruf /e/ dalam kata "bebek". Contoh: pèng (uang), pèh (pukul/tumbuk), dll.
- É é ⓘ dibaca seperti huruf /e/ dalam kata "kue". Contoh: lé (oleh).
- Ë ë, tidak ditemui padanannya dalam bahasa Indonesia.
- I i
- Ö ö ⓘ dibaca seperti huruf vokal dasar /ɔ/, tetapi diucapkan dengan mulut terbuka. Contoh: mantöng (masih), böh (buang),
- Ô ô ⓘ dibaca seperti huruf /o/ dalam kata "soto", "foto", "tato". Contoh: bôh (taruh), sôh (tinju), tôh (mengeluarkan).
- O o ⓘ dibaca seperti huruf /o/ dalam kata "tolong", "bom". Contoh: boh (buah), soh (kosong), toh (mana)
- U u
Huruf vokal sengau:
- 'A 'a pengucapannya sengau seperti /a/ dalam kata “maaf”; contohnya: 'ap (suap), meu'ah (maaf)
- 'È 'è pengucapannya sengau seperti /e/ dalam kata “pamer”; contohnya: pa‘è (tokek), meu‘èn (main)
- 'I 'i pengucapannya sengau seperti /i/ dalam kata “angin”; contohnya: ca’ië (laba-laba), kh’iëng (busuk), dll
- 'U 'u pengucapannya sengau; contohnya: meu'uë (bajak),
- 'O 'o pengucapannya sengau; contohnya: ma’op (hantu/untuk menakuti anak-anak)
Sistem penulisan
suntingPada awalnya, bahasa Aceh menggunakan aksara Arab yang disebut dengan "jawoe" atau aksara Jawi dalam bahasa Melayu. Sejak kolonialisasi Belanda, bahasa Aceh menggunakan aksara Latin dengan penambahan huruf é, è, ë, ö, dan ô. Bunyi /ɨ/ dilambangkan oleh "eu" dan bunyi /ʌ/ diwakilkan oleh "ö". Huruf f, q, v, x, dan z hanya digunakan dalam kata serapan.
Grafem | Fonem (IPA) |
Suku kata terbuka | Suku kata tertutup |
---|---|---|---|
a | /a/ | ba /ba/ ‘bawa’ | bak /baʔ/ ‘pada, pohon’ |
e | /ə/ | le /lə/ ‘banyak’ | let /lət/ ‘cabut’ |
é | /e/ | baté /bate/ ‘baki pinang’ | baték /bateʔ/ ‘batik’ |
è | /ɛ/ | bèe /bɛə/ ‘bau’ | bèk /bɛʔ/ ‘jangan’ |
eu | /ɯ/ | keu /kɯ/ ‘untuk’ | keuh /kɯh/ ‘jadi (seperti, nyan keuh)’ |
i | /i/ | di /di/ 'di, dari' | dit /dit/ 'sedikit' |
o | /ɔ/ | yo /jɔ/ ‘takut’ | yok /jɔʔ/ ‘goyang’ |
ô | /o/ | rô /ro/ ‘tumpah’ | rôh /roh/ ‘masuk’ |
ö | /ʌ/ | pö /pʌ/ ‘terbang’ | pöt /pʌt/ ‘petik’ |
u | /u/ | su /su/ ‘suara’ | suet /suət/ ‘mengeluarkan’ |
Grafem | Fonem (IPA) |
Catatan |
---|---|---|
b | /b/ | |
c | /c/ | |
d | /d/ | |
f | /f/ | Digunakan dalam kata asing; biasanya diganti dengan p (/p/). |
g | /g/ | |
h | /h/ | |
j | /ɟ/ | |
k | /k/, /ʔ/ pada akhir suku kata. | |
l | /l/ | |
m | /m/ | |
mb | /mb/ | |
n | /n/ | |
nd | /nd/ | |
ng | /ŋ/ | |
ngg | /ŋg/ | |
nj | /ɳʲ/ | |
ny | /ɲ/ | |
p | /p/ | |
q | /q, k/ | Digunakan dalam kata asing; biasanya diganti dengan k (/k/). |
r | /r/ | |
s | /s/ | |
sy | /ʃ/ | |
t | /t/ | |
v | /v/ | Digunakan dalam kata asing; biasanya diganti dengan b (/b/). |
w | /w/ | |
x | /ks/ | Digunakan dalam kata asing; biasanya diganti dengan ks (/ks/). |
y | /j/ | |
z | /z/ | Digunakan dalam kata asing. |
Sastra
suntingBerikut adalah daftar beberapa karya sastra terkenal dalam bahasa Aceh:
- Hikayat Prang Sabi
- Hikayat Malem Diwa
- Hikayat Sultan Aceh Meureuhom (Sultan Iskandar Muda)
- Hikayat Banun Setia
- Hikayat Putroe Meulue
- Hikayat Meurah Silu
- Hikayat Putroe Lindong Buleuen
- Hikayat Banta Amat Ngon Nahuda Seukeum
- Hikayat Aulia Tujoh
- Hikayat Prang Aceh
- Hikayat Pocut Muhammad
- Hikayat Prang Cut Ali
- Hikayat Putroe Ijo
- Hikayat Peureudan Ali
- Hikayat Nun Parisi
- Hikayat Nabi Ibrahim
- Hikayat Nabi Yusuf
- Hikayat Nabi Musa
- Hikayat Nubeuet Nabi
- Hikayat Tajul Muluk
- Hikayat Ranto Ngon Hikayat Teungku di Meukek
- Hikayat Raja Bada
- Haba Amat Rhang Manyang
- Haba Putroe Neng
- Haba Magasang dan Magaseueng [19]
Contoh
sunting- Pé Haba? = Apa kabar?
- Haba Get = Kabar baik
- Lôn Pikê Gétanyôë Han Mérémpök Lê = Saya Pikir Kita Tidak Bertemu Lagi
- Lôn Jêp Ië U Muda = Saya minum air kelapa muda.
- Agam ngön inöng = pria dan wanita
- Lôn = saya
- Kah, Drôn, Gata = kamu, Engkau, Anda
- Han = Tidak
- Kana = Telah Ada
- Pajôh = makan
- Jih, Gobnyan = dia, Beliau
- Cédah that gobnyan. = Cantik/Tampan sekali Beliau
- Lôn méen bhan bak blang thô. = Saya bermain bola di sawah kering.
Galeri
sunting-
Hikayat Akhbarul Karim
-
Hikayat Banta Beuransah
Referensi
suntingCatatan kaki
sunting- ^ Ethnologue
- ^ https://www.ethnologue.com/language/ace.
- ^ Hammarström, Harald; Forkel, Robert; Haspelmath, Martin, ed. (2023). "Aceh". Glottolog 4.8. Jena, Jerman: Max Planck Institute for the Science of Human History.
- ^ "UNESCO Interactive Atlas of the World's Languages in Danger" (dalam bahasa bahasa Inggris, Prancis, Spanyol, Rusia, and Tionghoa). UNESCO. 2011. Diarsipkan dari versi asli tanggal 29 April 2022. Diakses tanggal 26 Juni 2011.
- ^ "UNESCO Atlas of the World's Languages in Danger" (PDF) (dalam bahasa Inggris). UNESCO. 2010. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 31 Mei 2022. Diakses tanggal 31 Mei 2022.
- ^ "Bahasa Aceh". www.ethnologue.com (dalam bahasa Inggris). SIL Ethnologue.
- ^ Riris Tiani (Mei 2018). "Korespondesi Bunyi Bahasa Aceh dan Bahasa Gayo". Nusa: Jurnal Ilmu Bahasa dan Sastra. 13 (2). ISSN 0216-535X.
- ^ Sufi, Rusdi (1998). Gerakan Nasionalisme di Aceh (1900–1942). Banda Aceh: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh. hlm. 19–21. ISBN 979-95312-4-1.
- ^ Durie, Mark. 1996. Framing the Acehnese Text: Language Choice and Discourse Structures in Aceh
- ^ Hikayat Aceh Telah Mati
- ^ Thurgood, Graham.2007.The Historical Place of Acehnese:The Known and the Unknown Diarsipkan 2010-07-13 di Wayback Machine.
- ^ Dani, Subur (2020-10-14). "Neurok, Majalah Berbahasa Aceh Pertama Diluncurkan". Tribunnews.com. Diakses tanggal 2022-10-25.
- ^ a b Al-Harbi & Al-Ahmadi (2003)
- ^ Al-Harbi & Al-Ahmadi (2003)
- ^ Ejaan Bahasa Aceh
- ^ Standar penulisan bahasa Aceh yang ditetapkan pemerintah Indonesia
- ^ Omniglot
- ^ Omniglot
- ^ tengkuputeh (2017-12-15). "HIKAYAT-HIKAYAT DARI NEGERI ACEH". Tengkuputeh (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-09-23.
Daftar pustaka
sunting- Al-Harbi, Awwad Ahmad Al-Ahmadi (1991). "Arabic Loanwords in Acehnese". Dalam Bernard Comrie; Mushira Eid. Perspectives on Arabic Linguistics: Papers from the Annual Symposium on Arabic Linguistics. Volume III: Salt Lake City, Utah 1989. Amsterdam: John Benjamins Publishing Company. ISBN 9789027277893.
- Al-Harbi, Awwad Ahmad Al-Ahmadi (2003). "Acehnese Coda Condition: An Optimality-Theoretic Account". Umm Al-Qura University Journal of Educational and Social Sciences and Humanities. 15 (1): 9–28.
- Asyik, Abdul Gani (1982). "The Agreement System in Acehnese" (PDF). Mon–Khmer Studies. 11: 1–33.
- Asyik, Abdul Gani (1987). A Contextual Grammar of Acehnese sentences (Tesis PhD). University of Michigan. https://www.researchgate.net/publication/34661847_A_contextual_grammar_of_Acehnese_sentences.
- Aziz, Zulfadli A. (2014). A Sociolinguistic Investigation of Acehnese with a Focus on West Acehnese: A stigmatised dialect. (Tesis PhD). University of Adelaide. https://digital.library.adelaide.edu.au/dspace/handle/2440/92352.
- Daud, Bukhari (1997). Writing and Reciting Acehnese: Perspectives on Language and Literature in Aceh (Tesis PhD). University of Melbourne.
- Daud, Bukhari; Durie, Mark (1999). Kamus Basa Acèh, Kamus Bahasa Aceh : Acehnese-Indonesian-English Thesaurus (PDF). Pacific Linguistics. C151. Canberra: Research School of Pacific and Asian Studies, Australian National University. ISBN 978-0-85883-506-1.
- Durie, Mark (1985a). A Grammar of Acehnese: On the Basis of a Dialect of North Aceh. Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde. 112. Dordrecht, Belanda dan Cinnaminson, AS: Foris Publications. ISBN 9067650749.
- Durie, Mark (1985b). "Control and Decontrol in Acehnese". Australian Journal of Linguistics. 5 (1): 43–53. doi:10.1080/07268608508599335.
- Durie, Mark (1987). "Grammatical Relations in Acehnese". Studies in Language. 11 (2): 365–399. doi:10.1075/sl.11.2.05dur.
- Durie, Mark (1988). "The So-Called Passive of Acehnese". Language. 64 (1): 104–113. JSTOR 414788.
- Durie, Mark (1990). "Proto-Chamic and Acehnese Mid Vowels: Towards Proto-Aceh-Chamic". Bulletin of the School of Oriental and African Studies. 53 (1): 100–114. JSTOR 618972.
- Durie, Mark (1995). "Acehnese". Dalam Darrel T. Tryon. Comparative Austronesian Dictionary: An Introduction to Austronesian Studies. Part 1: Fascicle 1. Trends in Linguistics. Documentation. 10. Berlin: De Gruyter Mouton. hlm. 407–420. ISBN 978-3-11-088401-2.
- Durie, Mark (1996). "Framing the Acehnese Text: Language Choice and Discourse Structures in Aceh". Oceanic Linguistics. 35 (1): 113–137. JSTOR 3623033.
- Lawler, John M. (1977). "A Agrees with B in Achenese: A Problem for Relational Grammar". Dalam Peter Cole; Jerrold M. Sadock. Grammatical Relations. Syntax and Semantics. 8. New York: Academic Press. hlm. 219–48. doi:10.1163/9789004368866_010.
- Lawler, John M. (1988). "On the Questions of Acehnese 'Passive'". 64 (1): 114–117. doi:10.2307/414789.
- Legate, Julie Anne (2012). "Subjects in Acehnese and the Nature of the Passive". Language. 88 (3): 495–525. doi:10.1353/lan.2012.0069.
- Legate, Julie Anne (2014). Voice and V: Lessons from Acehnese. Cambridge: MIT Press. ISBN 978-0-262-52660-9.
- Pillai, Stefanie; Yusuf, Yunisrina Qismullah (2012). "An Instrumental Analysis of Acehnese Oral Vowels". Language and Linguistics. 13 (6): 1029–1050.
- Sidwell, Paul (2005). "Acehnese and the Aceh-Chamic language family" (PDF). Dalam Anthony Grant; Paul Sidwell. Chamic and Beyond: Studies in Mainland Austronesian Languages. Pacific Linguistics. 569. Pacific Linguistics, The Australian National University. hlm. 211–246.
- Sidwell, Paul (2006). "Dating the Separation of Acehnese and Chamic by Etymological Analysis of the Aceh-Chamic Lexicon". Mon-Khmer Studies. 36: 187–206. doi:10.15144/MKSJ-36.187.
- Sidwell, Paul (2010). "What Can the Mon-Khmer Lexical Borrowings in Acehnese Tell Us?". Dalam John Bowden; Nikolaus P. Himmelmann; Malcolm Ross. A Journey Through Austronesian and Papuan Linguistic and Cultural Space: Papers in Honour of Andrew K. Pawley. Pacific Linguistics. 615. Pacific Linguistics, The Australian National University. hlm. 271–282. doi:10.15144/PL-615.271.
- Stokhof, W. A. L. (1988). "A Modern Grammar of Acehnese: Some Critical Observations". Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. 144 (2/3): 323–350. JSTOR 27863951.
- Stokhof, W. A. L. (1992). "On Nasality in Acehnese". Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. 148 (2): 247–261. JSTOR 27864352.
- Thurgood, Graham (2007). The Historical Place of Acehnese: The Known and the Unknown. First International Conference of Aceh and Indian Ocean Studies. Banda Aceh. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-05-28. Diakses tanggal 2020-04-13.
- Yusuf, Yunisrina Qismullah; Pillai, Stefanie (2016). "An Instrumental Study of Oral Vowels in the Kedah Variety of Acehnese". Language Sciences. 54: 14–25. doi:10.1016/j.langsci.2015.09.001.
- Yusuf, Yunisrina Qismullah; Pillai, Stefanie; Ali, Najwa Tgk. Armia Mohd. (2013). "Speaking Acehnese in Malaysia". Language & Communication. 33 (1): 50–60. doi:10.1016/j.langcom.2012.08.004.
Pranala luar
sunting- (Inggris) Bahasa Aceh di Ethnologue
- (Indonesia) Portal Belajar Bahasa Aceh
- (Indonesia) Belajar Bahasa Aceh
- Ucapan dan contoh perkataan dalam bahasa Aceh - kanal I Love Languages di Youtube