Perang Padri
Sebahagian kandungan di laman rencana ini menggunakan istilah atau struktur ayat yang terlalu menyebelahi gaya bahasa negara tertentu hasil penggunaan semula kandungan sumber tanpa pengubahsuaian. Anda diminta mengolah semula gaya bahasa rencana ini supaya penggunaan istilah di rencana ini seimbang, selaras serta mudah difahami secara umum dalam kalangan pengguna-pengguna bahasa Melayu yang lain menggunakan laman Istilah MABBIM kelolaan Dewan Bahasa dan Pustaka. Silalah membantu. Kata nama khas dan petikan media tertentu (seperti daripada akhbar-akhbar atau dokumen rasmi) perlu dikekalkan untuk tujuan rujukan. Sumber perkamusan dari Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia juga disediakan. Anda boleh rujuk: Laman Perbincangannya • Dasar dan Garis Panduan Wikipedia • Manual Menyunting |
Perang Padri adalah peperangan yang berlaku di Sumatera Barat dan kawasan sekitarnya, terutamanya di wilayah Kerajaan Pagaruyung dari tahun 1803 hingga 1838. Peperangan ini pada mulanya berpunca daripada perselisihan agama sebelum bertukar menjadi perang melawan penjajahan.
Perang Padri | |||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|
Satu babak dalam Perang Padri. Askar Padri dan Belanda bertempur merebutkan panji Belanda dalam tahun 1831. | |||||||
| |||||||
Pihak yang terlibat | |||||||
Adat Kerajaan Bersatu Netherlands | Padri | ||||||
Komandan dan pemimpin | |||||||
Rajo Alam Sultan Tangkal Alam Bagagar Mejar Jeneral Cochius Kolonel Stuers Leftenan Kolonel Raaff Leftenan Kolonel Elout Leftenan Kolonel Krieger Leftenan Kolonel Bauer Leftenan Kolonel Michiels Mejar Laemlin* Mejar Prager Mejar du Bus* Kapten Poland Kapten Lange | Tuanku Nan Renceh Tuanku Pasaman Tuanku Imam Bonjol Tuanku Rao Tuanku Tambusai |
Perang ini bermula dengan munculnya kelompok ulama yang digelar "Padri" melawan golongan adat yang dianggotai oleh masyarakat yang disebut Masyarakat Adat di Kerajaan Pagaruyung dan sekitarnya. Tabiat yang dipersoalkan seperti perjudian, berlaga ayam, penggunaan bahan memabukkan seperti minuman keras, tembakau dan sirih, dan juga aspek undang-undang matriarki adat mengenai warisan, serta melonggarkan pelaksanaan kewajiban ritual agama Islam secara formal. [2] Ketiadaan perjanjian dari Orang Asal yang, walaupun mereka telah memeluk agama Islam untuk menolak adat itu, telah mencetuskan kemarahan Padri, jadi perang meletus pada tahun 1803.
Sehingga 1833, perang ini boleh dikatakan perang saudara yang melibatkan rakan-rakan Minang dan Mandailing. Dalam peperangan ini, Padri dipimpin oleh Harimao Nan Salapan manakala Masyarakat Adat dipimpin oleh Yang Pertuan Pagaruyung pada masa itu Sultan Arifin Muningsyah. Orang-orang asli yang mula merasa tertekan, meminta bantuan dari Belanda pada tahun 1821. Walau bagaimanapun, penglibatan Belanda ini sebenarnya rumit keadaan, sehingga sejak 1833 orang-orang Orang Asli berbalik melawan Belanda dan bergabung dengan Padri, walaupun akhirnya perang ini dapat dimenangi oleh Belanda.
Perang Padri yang berlangsung dalam tempoh yang panjang memberikan kesan negatif kepada ekonomi dan sosial Sumatera Barat, di samping menyebabkan korban nyawa yang dahsyat. Selain meruntuhkan kuasa Kerajaan Pagaruyung, peperangan ini juga memberi kesan kepada kemelesetan ekonomi masyarakat sekitar dan membawa kepada penghapusan orang dari zon konflik.
Latar belakang
suntingPerpecahan antara masyarakat
suntingPerang Padri dilatarbelakangi oleh kepulangan tiga orang Haji dari Mekkah sekitar tahun 1803, yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang yang ingin memperbaiki syariat Islam yang belum sempurna dijalankan oleh masyarakat Minangkabau.[1] Mengetahui hal tersebut, Tuanku Nan Renceh sangat tertarik lalu ikut mendukung keinginan ketiga orang Haji tersebut bersama dengan ulama lain di Minangkabau yang tergabung dalam Harimau Nan Salapan.[2] Harimau Nan Salapan kemudian meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah beserta Kaum Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri dengan Kaum Adat.
Seiring itu beberapa nagari dalam Kerajaan Pagaruyung bergejolak sehingga keadaan genting memuncak pada tahun 1815 dengan kaum Padri pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Kerajaan Pagaruyung dan pecahlah peperangan di Koto Tangah. Serangan ini menyebabkan Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan melarikan diri dari ibu kota kerajaan.[3] Dari catatan Stamford Raffles yang pernah mengunjungi Pagaruyung pada tahun 1818, menyebutkan bahwa ia hanya mendapati sisa-sisa Istana Kerajaan Pagaruyung yang sudah terbakar.[4]
Keterlibatan pihak Belanda
suntingKarena terdesak dalam peperangan dan keberadaan Yang Dipertuan Pagaruyung yang tidak pasti, maka Kaum Adat yang dipimpin oleh Sultan Tangkal Alam Bagagar meminta bantuan kepada Belanda pada tanggal 21 Februari 1821, walaupun sebetulnya Sultan Tangkal Alam Bagagar waktu itu dianggap tidak berhak membuat perjanjian dengan mengatasnamakan Kerajaan Pagaruyung.[5] Akibat dari perjanjian ini, Belanda menjadikannya sebagai tanda penyerahan Kerajaan Pagaruyung kepada pemerintah Hindia Belanda, kemudian mengangkat Sultan Tangkal Alam Bagagar sebagai Regent Tanah Datar.[6]
Keterlibatan Belanda dalam perang karena diundang oleh kaum Adat, dan campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang dan Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema pada bulan April 1821 atas perintah Residen James du Puy di Padang.[7] Kemudian pada 8 Disember 1821 datang tambahan pasukan yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Raaff untuk memperkuat posisi pada kawasan yang telah dikuasai tersebut.
Pada tanggal 4 Maret 1822, pasukan Belanda dibawah pimpinan Letnan Kolonel Raaff berhasil memukul mundur Kaum Padri keluar dari Pagaruyung. Kemudian Belanda membangun benteng pertahanan di Batusangkar dengan nama Fort Van der Capellen, sedangkan Kaum Padri menyusun kekuatan dan bertahan di Lintau.[8] Pada tanggal 10 Juni 1822 pergerakan pasukan Raaff di Tanjung Alam dihadang oleh Kaum Padri, tetapi pasukan Belanda dapat terus melaju ke Luhak Agam. Pada tanggal 14 Agustus 1822 dalam pertempuran di Baso, Kapten Goffinet menderita luka berat kemudian meninggal dunia pada 5 September 1822. Pada bulan September 1822 pasukan Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar karena terus tertekan oleh serangan Kaum Padri yang dipimpin oleh Tuanku Nan Renceh.
Setelah mendapat tambahan pasukan pada 13 April 1823, Raaff mencuba kembali menyerang Lintau, tetapi Kaum Padri dengan gigih melakukan perlawanan, sehingga pada tanggal 16 April 1823 Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar. Sementara pada tahun 1824 Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah kembali ke Pagaruyung atas permintaan Letnan Kolonel Raaff, tetapi pada tahun 1825 raja terakhir Minangkabau ini wafat dan kemudian dimakamkan di Pagaruyung.[9] Sedangkan Raaff sendiri meninggal dunia secara mendadak di Padang pada tanggal 17 April 1824 setelah sebelumnya mengalami demam tinggi.[10]
Sementara pada bulan September 1824, pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor Frans Laemlin telah berhasil menguasai beberapa kawasan di Luhak Agam di antaranya Koto Tuo dan Ampang Gadang. Kemudian mereka juga telah menduduki Biaro dan Kapau, tetapi karena luka-luka yang dideritanya di bulan Desember 1824, Laemlin meninggal dunia di Padang.[11]
Gencatan senjata
suntingPerlawanan yang dilakukan oleh Kaum Padri cukup tangguh sehingga sangat menyulitkan Belanda untuk menundukkannya. Oleh sebab itu Belanda melalui residennya di Padang mengajak pemimpin Kaum Padri yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai dengan maklumat "Perjanjian Masang" pada tanggal 15 November 1825.[12] Hal ini dimaklumi karena disaat bersamaan Pemerintah Hindia Belanda juga kehabisan dana dalam menghadapi peperangan lain di Eropa dan Jawa seperti Perang Diponegoro.
Selama periode gencatan senjata, Tuanku Imam Bonjol mencuba memulihkan kekuatan dan juga mencuba merangkul kembali Kaum Adat. Sehingga akhirnya muncul suatu kompromi yang dikenal dengan nama "Plakat Puncak Pato" di Bukit Marapalam, Kabupaten Tanah Datar yang mewujudkan konsensus bersama Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah yang artinya adat Minangkabau berlandaskan kepada agama Islam, sedangkan agama Islam berlandaskan kepada Al-Qur'an.[13]
Perang kedua
suntingKetibaan Tuanku Imam Bonjol
suntingTuanku Imam Bonjol yang bernama asli Muhammad Shahab muncul sebagai pemimpin dalam Perang Padri setelah sebelumnya ditunjuk oleh Tuanku Nan Renceh sebagai Imam di Bonjol.[14] Kemudian menjadi pemimpin sekaligus panglima perang setelah Tuanku Nan Renceh meninggal dunia.[15] Pada masa kepemimpinannya, beliau mulai menyesali beberapa tindakan kekerasan yang dilakukan oleh Kaum Padri terhadap saudara-saudaranya, sebagaimana yang terdapat dalam memorinya. Walau di sisi lain fanatisme tersebut juga melahirkan sikap kepahlawanan dan cinta tanah air.[3]
Setelah berakhirnya perang Diponegoro dan pulihnya kekuatan Belanda di Jawa, Pemerintah Hindia Belanda kembali mencuba untuk menundukan Kaum Padri. Hal ini sangat didasari oleh keinginan kuat untuk penguasaan penanaman kopi yang sedang meluas di kawasan pedalaman Minangkabau (darek). Sampai abad ke-19, komoditas perdagangan kopi merupakan salah satu produk andalan Belanda di Eropa. Christine Dobbin menyebutnya lebih kepada perang dagang, hal ini seiring dengan dinamika perubahan sosial masyarakat Minangkabau dalam liku-liku perdagangan di pedalaman dan pesisir pantai barat atau pantai timur. Sementara Belanda pada satu sisi ingin mengambil alih atau monopoli.[9]
Selanjutnya untuk melemahkan kekuatan lawan, Belanda melanggar perjanjian yang telah dibuat sebelumnya dengan menyerang nagari Pandai Sikek yang merupakan salah satu kawasan yang mampu memproduksi mesiu dan senjata api. Kemudian untuk memperkuat kedudukannya, Belanda membangun benteng di Bukittinggi yang dikenal dengan nama Fort de Kock.
Pada awal bulan Agustus 1831 Lintau berhasil ditaklukkan, menjadikan Luhak Tanah Datar berada dalam kendali Belanda. Namun Tuanku Lintau masih tetap melakukan perlawanan dari kawasan Luhak Limo Puluah. Sementara ketika Letnan Kolonel Elout melakukan berbagai serangan terhadap Kaum Padri antara tahun 1831–1832, ia memperoleh tambahan kekuatan dari pasukan Sentot Prawirodirdjo, salah seorang panglima pasukan Putera Diponegoro yang telah membelot dan berdinas pada Pemerintah Hindia Belanda setelah usai perang di Jawa. Namun kemudian Letnan Kolonel Elout berpendapat, kehadiran Sentot yang ditempatkan di Lintau justru menimbulkan masalah baru. Beberapa dokumen-dokumen resmi Belanda membuktikan kesalahan Sentot yang telah melakukan persekongkolan dengan Kaum Padri sehingga kemudian Sentot dan legiunnya dikembalikan ke Pulau Jawa. Di Jawa, Sentot juga tidak berhasil menghilangkan kecurigaan Belanda terhadap dirinya, dan Belanda pun juga tidak ingin ia tetap berada di Jawa dan mengirimnya kembali ke Sumatra. Namun di tengah perjalanan, Sentot diturunkan dan ditahan di Bengkulu, lalu ditinggal sampai mati sebagai orang buangan. Sedangkan pasukannya dibubarkan kemudian direkrut kembali menjadi tentara Belanda.
Pada bulan Juli 1832, dari Jakarta dikirim pasukan infantri dalam jumlah besar di bawah pimpinan Letnan Kolonel Ferdinand P. Vermeulen Krieger, untuk mempercepat penyelesaian peperangan. Dengan tambahan pasukan tersebut pada bulan Oktober 1832, Luhak Limo Puluah telah berada dalam kekuasaan Belanda bersamaan dengan meninggalnya Tuanku Lintau.[16] Kemudian Kaum Padri terus melakukan konsolidasi dan berkubu di Kamang, tetapi seluruh kekuatan Kaum Padri di Luhak Agam juga dapat ditaklukkan Belanda setelah jatuhnya Kamang pada akhir tahun 1832, sehingga kembali Kaum Padri terpaksa mundur dari kawasan luhak dan bertahan di Bonjol.
Selanjutnya pasukan Belanda mulai melakukan penyisiran pada beberapa kawasan yang masih menjadi basis Kaum Padri. Pada awal Januari 1833, pasukan Belanda membangun kubu pertahanan di Padang Mantinggi, tetapi sebelum mereka dapat memperkuat posisi, kubu pertahanan tersebut diserang oleh Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Rao yang mengakibatkan banyak korban di pihak Belanda.[17] Namun dalam pertempuran di Air Bangis, pada tanggal 29 Januari 1833, Tuanku Rao menderita luka berat akibat dihujani peluru. Kemudian ia dinaikkan ke atas kapal untuk diasingkan. Belum lama berada di atas kapal, Tuanku Rao menemui ajalnya. Diduga jenazahnya kemudian dibuang ke laut oleh tentara Belanda.[18]
Sepakat bersama kaum-kaum Adat dan Padri
suntingSejak tahun 1833 mulai muncul kompromi antara Kaum Adat dan Kaum Padri.[19] Pada tanggal 11 Januari 1833 beberapa kubu pertahanan dari garnisun Belanda diserang secara mendadak, membuat keadaan menjadi kacau;[20] disebutkan ada sekitar 139 orang tentara Eropa serta ratusan tentara pribumi terbunuh. Sultan Tangkal Alam Bagagar yang sebelumnya ditunjuk oleh Belanda sebagai Regent Tanah Datar, ditangkap oleh pasukan Letnan Kolonel Elout pada tanggal 2 Mei 1833 di Batusangkar atas tuduhan pengkhianatan. Kemudian Belanda mengasingkannya ke Batavia, walau dalam catatan Belanda Sultan Tangkal Alam Bagagar menyangkal keterlibatannya dalam penyerangan beberapa pos Belanda, tetapi pemerintah Hindia Belanda juga tidak mau mengambil risiko untuk menolak laporan dari para perwiranya. Kedudukan Regent Tanah Datar kemudian diberikan kepada Tuan Gadang di Batipuh.[5]
Menyadari hal itu, kini Belanda bukan hanya menghadapi Kaum Padri saja, tetapi secara keseluruhan masyarakat Minangkabau. Maka Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1833 mengeluarkan pengumuman yang disebut "Plakat Panjang" berisi sebuah pernyataan bahwa kedatangan Belanda ke Minangkabau tidaklah bermaksud untuk menguasai negeri tersebut, mereka hanya datang untuk berdagang dan menjaga keamanan, penduduk Minangkabau akan tetap diperintah oleh para penghulu mereka dan tidak pula diharuskan membayar pajak. Kemudian Belanda berdalih bahwa untuk menjaga keamanan, membuat jalan, membuka sekolah, dan sebagainya memerlukan biaya, maka penduduk diwajibkan menanam kopi dan mesti menjualnya kepada Belanda.
Serangan ke Bonjol
suntingLamanya penyelesaian peperangan ini, memaksa Gubernur Jenderal Hindia Belanda Johannes van den Bosch pada tanggal 23 Agustus 1833 pergi ke Padang untuk melihat dari dekat proses operasi militer yang dilakukan oleh pasukan Belanda.[21] Sesampainya di Padang, ia melakukan perundingan dengan Komisaris Pesisir Barat Sumatra, Mayor Jenderal Riesz dan Letnan Kolonel Elout untuk segera menaklukkan Benteng Bonjol, pusat komando pasukan Padri. Riesz dan Elout menerangkan bahwa belum datang saatnya yang baik untuk mengadakan serangan umum terhadap Benteng Bonjol, karena kesetiaan penduduk Luhak Agam masih disangsikan dan mereka sangat mungkin akan menyerang pasukan Belanda dari belakang. Tetapi Van den Bosch bersikeras untuk segera menaklukkan Benteng Bonjol paling lambat tanggal 10 September 1833, kedua opsir tersebut meminta tangguh enam hari sehingga jatuhnya Bonjol diharapkan pada tanggal 16 September 1833.
Taktik serangan gerilya yang diterapkan Kaum Padri kemudian berhasil memperlambat gerak laju serangan Belanda ke Benteng Bonjol, bahkan dalam beberapa perlawanan hampir semua perlengkapan perang pasukan Belanda seperti meriam beserta perbekalannya dapat dirampas. Pasukan Belanda hanya dapat membawa senjata dan pakaian yang melekat di tangan dan badannya. Sehingga pada tanggal 21 September 1833, sebelum Gubernur Jenderal Hindia Belanda digantikan oleh Jean Chrétien Baud, Van den Bosch membuat laporan bahwa penyerangan ke Bonjol gagal dan sedang diusahakan untuk konsolidasi guna penyerangan selanjutnya.
Kemudian selama tahun 1834 Belanda hanya fokus pada pembuatan jalan dan jembatan yang mengarah ke Bonjol dengan mengerahkan ribuan tenaga kerja paksa. Hal ini dilakukan untuk memudahkan mobilitas pasukannya dalam menaklukkan Bonjol. Selain itu pihak Belanda juga terus berusaha menanamkan pengaruhnya pada beberapa kawasan yang dekat dengan kubu pertahanannya.
Pada tanggal 16 April 1835, Belanda memutuskan untuk kembali mengadakan serangan besar-besaran untuk menaklukkan Bonjol dan sekitarnya. Operasi militer dimulai pada tanggal 21 April 1835, pasukan Belanda dipimpin oleh Letnan Kolonel Bauer, memecah pasukannya menuju Masang menjadi dua bagian yang bergerak masing-masing dari Matur dan Bamban. Pasukan ini mesti menyeberangi sungai yang saat itu tengah dilanda banjir, dan terus masuk menyelusup ke dalam hutan rimba; mendaki gunung dan menuruni lembah; guna membuka jalur baru menuju Bonjol.
Pada tanggal 23 April 1835 gerakan pasukan Belanda ini telah berhasil mencapai tepi Batang Gantiang, kemudian menyeberanginya dan berkumpul di Batusari. Dari sini hanya ada satu jalan sempit menuju Sipisang, daerah yang masih dikuasai oleh Kaum Padri. Sesampainya di Sipisang, pecah pertempuran sengit antara pasukan Belanda dengan Kaum Padri. Pertempuran berlangsung selama tiga hari tiga malam tanpa henti, sampai banyak korban di kedua belah pihak. Akhirnya dengan kekuatan yang jauh tak sebanding, pasukan Kaum Padri terpaksa mengundurkan diri ke hutan-hutan rimba sekitarnya. Jatuhnya daerah Sipisang ini meningkatkan moralitas pasukan Belanda, kemudian daerah ini dijadikan sebagai kubu pertahanan sambil menunggu pembuatan jembatan menuju Bonjol.[22]
Walau pergerakan laju pasukan Belanda menuju Bonjol masih sangat lamban, hampir sebulan waktu yang diperlukan untuk dapat mendekati daerah Alahan Panjang. Sebagai front terdepan dari Alahan Panjang adalah daerah Padang Lawas yang secara penuh masih dikuasai oleh Kaum Padri. Namun pada tanggal 8 Juni 1835 pasukan Belanda berhasil menguasai daerah ini.[23]
Selanjutnya pada tanggal 11 Juni 1835 pasukan Belanda kembali bergerak menuju sebelah timur Batang Alahan Panjang dan membuat kubu pertahanan di sana, sementara pasukan Kaum Padri tetap bersiaga di seberangnya.
Pasukan Belanda berhasil mendekati Bonjol dalam jarak kira-kira hanya 250 langkah pada tengah malam tanggal 16 Juni 1835, kemudian mereka mencuba membuat kubu pertahanan. Selanjutnya dengan menggunakan houwitser, mortir dan meriam, pasukan Belanda menembaki Benteng Bonjol. Namun Kaum Padri tidak tinggal diam dengan menembakkan meriam pula dari Bukit Tajadi. Sehingga dengan posisi yang kurang menguntungkan, pasukan Belanda banyak menjadi korban.
Pada tanggal 17 Juni 1835 kembali datang bantuan tambahan pasukan sebanyak 2000 orang yang dikirim oleh Residen Francis di Padang dan pada tanggal 21 Juni 1835, dengan kekuatan yang besar pasukan Belanda memulai gerakan maju menuju sasaran akhir yaitu Benteng Bonjol di Bukit Tajadi.
Benteng Bonjol
suntingBenteng Bonjol terletak di atas bukit yang hampir tegak lurus ke atas, dikenal dengan nama Bukit Tajadi. Tidak begitu jauh dari benteng ini mengalir Batang Alahan Panjang, sebuah sungai di tengah lembah dengan aliran yang deras, berliku-liku dari utara ke selatan. Benteng ini berbentuk segi empat panjang, tiga sisinya dikelilingi oleh dinding pertahanan dua lapis setinggi kurang lebih 3 meter. Di antara kedua lapis dinding dibuat parit yang dalam dengan lebar 4 meter. Dinding luar terdiri dari batu-batu besar dengan teknik pembuatan hampir sama seperti benteng-benteng di Eropa dan di atasnya ditanami bambu berduri panjang yang ditanam sangat rapat sehingga Kaum Padri dapat mengamati bahkan menembakkan meriam kepada pasukan Belanda.[24]
Semak belukar dan hutan yang sangat lebat di sekitar Bonjol menjadikan kubu-kubu pertahanan Kaum Padri tidak mudah untuk dilihat oleh pasukan Belanda. Keadaan inilah yang dimanfaatkan dengan baik oleh Kaum Padri untuk membangun kubu pertahanan yang strategis, sekaligus menjadi markas utama Tuanku Imam Bonjol.[25]
Pengepungan Bonjol
suntingMelihat kokohnya Benteng Bonjol, pasukan Belanda mencuba melakukan blokade terhadap Bonjol dengan tujuan untuk melumpuhkan suplai bahan makanan dan senjata pasukan Padri. Blokade yang dilakukan ini ternyata tidak efektif, karena justru kubu-kubu pertahanan pasukan Belanda dan bahan perbekalannya yang banyak diserang oleh pasukan Kaum Padri secara gerilya. Di saat bersamaan seluruh pasukan Kaum Padri mulai berdatangan dari daerah-daerah yang telah ditaklukkan pasukan Belanda, yaitu dari berbagai negeri di Minangkabau dan sekitarnya. Semua bertekad bulat untuk mempertahankan markas besar Bonjol sampai titik darah penghabisan, hidup mulia atau mati syahid.
Usaha untuk melakukan serangan ofensif terhadap Bonjol baru dilakukan kembali setelah bala bantuan tentara yang terdiri dari pasukan Bugis datang, maka pada pertengahan Agustus 1835 penyerangan mulai dilakukan terhadap kubu-kubu pertahanan Kaum Padri yang berada di Bukit Tajadi, dan pasukan Bugis ini berada pada bagian depan pasukan Belanda dalam merebut satu persatu kubu-kubu pertahanan strategis Kaum Padri yang berada disekitar Bukit Tajadi.[26] Namun sampai awal September 1835, pasukan Belanda belum berhasil menguasai Bukit Tajadi, malah pada tanggal 5 September 1835, Kaum Padri keluar dari kubu pertahanannya menyerbu ke luar benteng menghancurkan kubu-kubu pertahahan Belanda yang dibuat sekitar Bukit Tajadi. Setelah serangan tersebut, pasukan Kaum Padri segera kembali masuk ke dalam Benteng Bonjol.
Pada tanggal 9 September 1835, pasukan Belanda mencuba menyerang dari arah Luhak Limo Puluah dan Padang Bubus, tetapi hasilnya gagal, bahkan banyak menyebabkan kerugian pada pasukan Belanda. Letnan Kolonel Bauer, salah seorang komandan pasukan Belanda menderita sakit dan terpaksa dikirim ke Bukittinggi kemudian posisinya digantikan oleh Mayor Prager.
Blokade yang berlarut-larut dan keberanian Kaum Padri, membangkitkan semangat keberanian rakyat sekitarnya untuk memberontak dan menyerang pasukan Belanda, sehingga pada tanggal 11 Desember 1835 rakyat Simpang dan Alahan Mati mengangkat senjata dan menyerang kubu-kubu pertahanan Belanda. Pasukan Belanda kewalahan mengatasi perlawanan ini. Namun setelah datang bantuan dari serdadu-serdadu Madura yang berdinas pada pasukan Belanda, perlawanan ini dapat diatasi.
Hampir setahun mengepung Bonjol, pada tanggal 3 Desember 1836, pasukan Belanda kembali melakukan serangan besar-besaran terhadap Benteng Bonjol, sebagai usaha terakhir untuk penaklukan Bonjol. Serangan dahsyat ini mampu menjebol sebagian Benteng Bonjol, sehingga pasukan Belanda dapat masuk menyerbu dan berhasil membunuh beberapa keluarga Tuanku Imam Bonjol. Tetapi dengan kegigihan dan semangat juang yang tinggi Kaum Padri kembali berhasil memporak-porandakan musuh sehingga Belanda terusir dan terpaksa kembali keluar dari benteng dengan meninggalkan banyak sekali korban jiwa di masing-masing pihak.
Kegagalan penaklukan ini benar-benar memukul kebijaksanaan Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia yang waktu itu telah dipegang oleh Dominique Jacques de Eerens, kemudian pada awal tahun 1837 mengirimkan seorang panglima perangnya yang bernama Mayor Jenderal Cochius untuk memimpin langsung serangan besar-besaran ke Benteng Bonjol untuk kesekian kalinya.[27] Cochius merupakan seorang perwira tinggi Belanda yang memiliki keahlian dalam strategi perang Benteng Stelsel.
Selanjutnya Belanda dengan intensif mengepung Bonjol dari segala jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret–17 Agustus 1837)[28] dipimpin oleh jenderal dan beberapa perwira. Pasukan gabungan ini sebagian besar terdiri dari berbagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis dan Ambon. Terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 tentara Eropa, 4.130 tentara pribumi, termasuk di dalamnya Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen (pasukan pembantu Sumenap alias Madura). Dalam daftar nama para perwira pasukan Belanda tersebut di antaranya adalah Mayor Jendral Cochius, Letnan Kolonel Bauer, Mayor Sous, Mayor Prager, Kapten MacLean, Letnan Satu van der Tak, Pembantu Letnan Satu Steinmetz, dan seterusnya. Kemudian ada juga nama Inlandsche (pribumi) seperti Kapitein Noto Prawiro, Indlandsche Luitenant Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, Merto Poero dan lainnya.
Dari Batavia didatangkan terus tambahan kekuatan tentara Belanda, dimana pada tanggal 20 Juli 1837 tiba dengan Kapal Perle di Padang, sejumlah orang Eropa dan Sepoys, serdadu dari Afrika i(terutamanya dari Ghana dan Mali) tentara Belanda, direkrut dar terdiri dari 1 sergeant, 4 korporaals dan 112 flankeurs, serta dipimpin oleh Kapitein Sinninghe.
Serangan yang bergelombang serta bertubi-tubi dan hujan peluru dari pasukan artileri yang bersenjatakan meriam-meriam besar, selama kurang lebih 6 bulan lamanya, serta pasukan infantri dan tentera berkuda yang terus berdatangan. Pada tanggal 3 Agustus 1837 dipimpin oleh Letnan Kolonel Michiels sebagai komandan lapangan terdepan mulai sedikit demi sedikit menguasai keadaan, dan akhirnya pada tanggal tanggal 15 Agustus 1837, Bukit Tajadi jatuh, dan pada tanggal 16 Agustus 1837 Benteng Bonjol secara keseluruhan dapat ditaklukkan. Namun Tuanku Imam Bonjol dapat mengundurkan diri keluar dari benteng dengan didampingi oleh beberapa pengikutnya terus menuju daerah Marapak.
Perundingan dan peleraian
suntingDalam pelarian dan persembunyiannya, Tuanku Imam Bonjol terus mencuba mengadakan konsolidasi terhadap seluruh pasukannya yang telah bercerai-berai dan lemah, tetapi karena telah lebih 3 tahun bertempur melawan Belanda secara terus menerus, ternyata hanya sedikit saja yang tinggal dan masih siap untuk bertempur kembali.
Tuanku Imam Bonjol menyerah kepada Belanda pada Oktober 1837, dengan kesepakatan bahwa anaknya yang ikut bertempur selama ini, Naali Sutan Chaniago, diangkat sebagai pejabat kolonial Belanda[29].
Pada tanggal 23 Januari 1838, Imam Bonjol dibuang ke Cianjur, dan pada akhir tahun 1838, ia kembali dipindahkan ke Ambon. Kemudian pada tanggal 19 Januari 1839, Tuanku Imam Bonjol kembali dipindahkan ke Lotta, Minahasa, dekat Manado, dan di daerah inilah setelah menjalani masa pembuangan selama 27 tahun lamanya. Pada tanggal 8 November 1864, Tuanku Imam Bonjol meninggal dunia pada tanggal 8 November 1864. Beliau dimakamkan di tempat pengasingannya tersebut.
Tuanku Imam Bonjol menulis autobiografi yang dinamakan Naskah Tuanku Imam Bonjol yang antara lain berisi penyesalannya atas kekejaman Wahabi Paderi[29]. Tulisan tersebut merupakan karya sastra autobiografi pertama dalam bahasa Melayu disimpan oleh keturunan Imam Bonjol dan dipublikasikan tahun 1925 di Berkley[30], dan 2004[31] di Padang.[29]
Penamatan
suntingMeskipun pada tahun 1837 Benteng Bonjol dapat dikuasai Belanda, dan Tuanku Imam Bonjol berhasil ditipu dan ditangkap, tetapi peperangan ini masih berlanjut sampai akhirnya benteng terakhir Kaum Padri, di Dalu-Dalu (Rokan Hulu), yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Tambusai jatuh pada 28 Desember 1838.[32] Jatuhnya benteng tersebut memaksa Tuanku Tambusai mundur, bersama sisa-sisa pengikutnya pindah ke Negeri Sembilan di Semenanjung Malaya, dan akhirnya peperangan ini dianggap selesai kemudian Kerajaan Pagaruyung ditetapkan menjadi bagian dari Pax Netherlandica dan wilayah Padangse Bovenlanden telah berada di bawah pengawasan Pemerintah Hindia Belanda.
Rujukan
sunting- ^ Azra, Azyumardi (2004). The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia: Networks of Malay-Indonesian and Middle Eastern 'Ulama' in the Seventeenth and Eighteenth Centuries. University of Hawaii Press. ISBN 0-8248-2848-8.
- ^ Ampera Salim, Zulkifli (2005). Minangkabau Dalam Catatan Sejarah yang Tercecer. Citra Budaya Indonesia. ISBN 979-3458-03-8.
- ^ a b Nain, Sjafnir Aboe (2004). Memorie Tuanku Imam Bonjol. Padang: PPIM.
- ^ Raffles, Sophia (1830). Memoir of the Life and Public Services of Sir Thomas Stamford Raffles. London: J. Murray.
- ^ a b Amran, Rusli (1981). Sumatra Barat hingga Plakat Panjang. Penerbit Sinar Harapan.
- ^ G. Kepper, (1900). Wapenfeiten van Het Nederlands Indische Leger; 1816-1900. Den Haag: M.M. Cuvee.
- ^ Episoden Uit Geschiedenis der Nederlandsche Krigsverrigtingen op Sumatra’s Westkus. Indisch Magazijn 12/1, No. 7. 1844:116.
- ^ H. M. Lange (1852). Het Nederlandsch Oost-Indisch leger ter Westkust van Sumatra (1819-1845). ‘S Hertogenbosch: Gebroeder Muller. I: 20-1
- ^ a b Dobbin, C.E. (1983). Islamic revivalism in a Changing Peasant Economy: Central Sumatra, 1784-1847. Curzon Press. ISBN 0-7007-0155-9.
- ^ P. C. Molhuysen en P.J. Blok (1911). Nieuw Nederlands Biografisch Woordenboek. Deel 2, Bladzijde 1148.
- ^ Nederlandse Staatscourant (10 Juni 1825).
- ^ Ralat petik: Tag
<ref>
tidak sah; tiada teks disediakan bagi rujukan yang bernamaYudhi
- ^ Jones, Gavin W., Chee, Heng Leng, dan Mohamad, Maznah (2009). Muslim Non Muslim Marriage: Political and Cultural Contestations in Southeast Asia, Bab 6: Not Muslim, Not Minangkabau, Interreligious Marriage and its Culture Impact in Minangkabau Society by Mina Elvira. Institute of Southeast Asian Studies. ISBN 978-981-230-874-0
- ^ Munasifah (2007). Ayo Mengenal Indonesia: Sumatra 1. Jakarta: CV. Pamularsih. hlm. 51. ISBN 978-979-1494-31-1
- ^ Mardjani Martamin (1984). Tuanku Imam Bonjol. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.
- ^ Zakariya, Hafiz (2006). Islamic reform in colonial Malaya: Shaykh Tahir Jalaluddin and Sayyid Shaykh al-Hadi. ProQuest. ISBN 0-542-86357-X.
- ^ Nederlandse Staatscourant (17-06-1833).
- ^ Said, Mohammad (1961). Dari halaman2 terlepas dalam catatan tentang tokoh Singamangaradja XII. Waspada.
- ^ Abdullah, Taufik (1966). Adat dan Islam: an Examination of Conflict in Minangkabau. Indonesia. No. 2, 1-24.
- ^ Nederlandse Staatscourant (29-05-1833).
- ^ Pusat Sejarah Militer Angkatan Darat Indonesia (1964). Sejarah Singkat Perjuangan Bersenjata Bangsa Indonesia. Staf Angkatan Bersenjata.
- ^ J.C. van Rijnveld (1841). De Merkwaardige Terugtocht van Pisang op Agam. Militaire Spectator. Bladzijde 1-7 en 24-32.
- ^ Abdul Qadir Djaelani, (1999), Perang sabil versus perang salib: umat Islam melawan penjajah Kristen Portugis dan Belanda, Yayasan Pengkajian Islam Madinah Al-Munawwarah.
- ^ Boelhouwer, J.C. (1841). Herinneringen van Mijn Verblijf op Sumatra’s Westkust Gedurende de Jaren 1831-1834. Den Haag: Erven Doorman.
- ^ Tempointeraktif, 15 Oktober 2007. Dari Catatan Harian Bonjol.
- ^ Journaal van de Expeditie Naar Padang Onder de Generaal-Majoor Cochius in 1837 Gehouden Door de Majoor Sous-Chief van Den Generaal-Staf Jonkher C.P.A. de Salis. hlm. 59-183.
- ^ Tate, D. J. M. (1971). The Making of Modern South-East Asia: The European conquest. Oxford University Press.
- ^ G. Teitler (2004). Het Einde Padri Oorlog: Het Beleg en de Vermeestering van Bondjol 1834-1837: Een Bronnenpublicatie. Amsterdam: De Bataafsche Leeuw. hlm. 59-183.
- ^ a b c Hadler, Jeffrey (2008/08). "A Historiography of Violence and the Secular State in Indonesia: Tuanku Imam Bondjol and the Uses of History". The Journal of Asian Studies (dalam bahasa Inggeris). 67 (3): 971–1010. doi:10.1017/S0021911808001228. ISSN 1752-0401. Check date values in:
|date=
(bantuan) Halaman 986-989, 1002 - ^ IMAM BONDJOL, TUANKU, and NAALI, SUTAN CANIAGO. 1925. Naskah Tuanku Imam Bondjol [manuscript in Arabic-script Minangkabau]. University of California, Berkeley. Doe Library, DS646.15.S76.I43.
- ^ IMAM BONDJOL, TUANKU. 2004. Naskah Tuanku Imam Bonjol. Transliterator Syafnir Aboe Nain. Padang: PPIM.
- ^ Sejarah Untuk SMP dan MTs. Grasindo. ISBN 978-979-025-198-4.
Daftar pustaka
sunting- 1838. Het verhaal van de overwinning van Bondjol. De Avondbode. (26-03-1838)
- 1839. Bondjol. Tijdschrift voor Nederlands Indië. 456-458.
- 1840. J.C. van Rijneveld. Veldtocht der Nederlandse troepen op het eiland Celebes in de jaren 1824-1825. Militaire Spectator. Bladzijde 221-240.
- 1841. J.C. Boelhouwer. Herinneringen aan mijn tijd op Sumatra's Westkust gedurende de jaren 1831-1834. Erven Doorman.
- 1841. J.C. van Rijneveld. De merkwaardige terugtocht van Pisang op Agam. Militaire Spectator. Bladzijde 1-7 en 24-32.
- 1842. A. Meis. Verhaal van de Palembangse Oorlog van 1819 tot 1821. Militaire Spectator. Bladzijde 182-189.
- 1844. H.M. Lange. Verhaal van de krijgsgebeurtenissen in het landschap Rauw, aan de westkust van Sumatra, gedurende het jaar 1833, en van de heldhaftige verdediging van het fort Amerongen. Militaire Spectator. Bladzijde 7-15, 23-33, 53-61, 81-83 en 119-125.
- 1850. H.M. Lange. 'Hulde aan de nagedachtenis van hen, die sinds de vestiging van het Koninklijk Nederlands gezag in Oost-Indië, roemvol gesneuveld zijn. Militaire Spectator. Bladzijde 464-475.
- 1876. A.J.A. Gerlach. Neerlands heldenfeiten in Oost-Indië. Bewerkt naar Les fastes militaires des indes Orientales. Deel II. Gebroeders Belinfante. Den Haag.
- 1900. G. Kepper. Wapenfeiten van het Nederlands Indische Leger; 1816-1900. M.M. Cuvee, Den Haag.