Lompat ke isi

Folklor

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 6 November 2024 07.10 oleh Abi.yudhie (bicara | kontrib) (Pranala luar)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)
Supay dalam tarian diablada. Supay merupakan dewa atau iblis kematian dalam cerita rakyat Inka.

Folklor atau budaya rakyat (serapan dari bahasa Belanda: folklore) dapat meliputi cerita rakyat, legenda, musik, sejarah lisan, pepatah, lelucon, takhayul, dongeng, dan kebiasaan yang menjadi tradisi dalam suatu budaya, subbudaya, atau kelompok. Folklor juga merupakan salah satu sarana dalam penyebaran berbagai tradisi budaya. Bidang studi yang mempelajari folklor disebut folkloristik.

Istilah folklor berasal dari bahasa Inggris folklore, yang pertama kali dikemukakan oleh sejarawan Inggris William Thoms dalam sebuah surat yang diterbitkan oleh London Journal pada 1846.[1] Folklor berkaitan erat dengan sistem mitologi atau kepercayaan masyarakat. Berdasarkan klasifikasinya, folklor yang pertama adalah folklor esoterik, yang artinya sesuatu yang memiliki sifat yang hanya dapat dimengerti oleh sejumlah besar orang saja. Kedua, folklor eksoterik adalah sesuatu yang dapat dimengerti oleh umum, tidak terbatas oleh kolektif tertentu. Folklor esoterik dianggap lebih sakral karena hanya berlaku dan diketahui oleh beberapa kelompok orang saja. Sedangkan, folklor esoterik lebih bebas dan tidak kuno.[2]

Ciri-ciri

[sunting | sunting sumber]

Ciri-ciri cerita rakyat, dimaksudkan untuk mengetahui cerita rakyat dengan kebudayaan lainnya. Cerita rakyat memiliki ciri-ciri sebagai berikut.[3] Ciri-ciri tersebut menurut James Danandjaja (seorang ahli cerita rakyat).[4]

  1. Penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan, yaitu melalui tutur kata dari mulut ke mulut dari satu generasi ke generasi selanjutnya.[3]
  2. Bersifat tradisional, yaitu disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau dalam bentuk standar.[3]
  3. Berkembang dalam versi yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan penyebarannya secara lisan sehingga cerita rakyat mudah mengalami perubahan. Akan tetapi, bentuk dasarnya tetap bertahan.[3]
  4. Bersifat anonim, artinya pembuatnya sudah tidak diketahui lagi orangnya.[3]
  5. Biasanya mempunyai bentuk berpola. Kata-kata pembukanya, misalnya menurut sahibil hikayat (menurut yang empunya cerita) atau dalam bahasa Jawa misalnya dimulai dengan kalimat anuju sawijing dina (pada suatu hari).[3]
  6. Mempunyai manfaat dalam kehidupan kolektif. Cerita rakyat misalnya berguna sebagai alat pendidikan, pelipur lara, protes sosial, dan cerminan keinginan terpendam.[3]
  7. Bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum. Ciri ini terutama berlaku bagi cerita rakyat lisan dan sebagian lisan.[3]
  8. Menjadi milik bersama dari masyarakat tertentu.[3]
  9. Pada umumnya bersifat lugu atau polos sehingga sering kali kelihatannya kasar atau terlalu sopan. Hal itu disebabkan banyak cerita rakyat merupakan cerminan emosi manusia yang jujur.[3]

Berdasarkan pendapat Jan Harold Brunvand, seorang ahli folklor Amerika Serikat, folklor dibagi ke dalam tiga kelompok besar berdasarkan tipenya yaitu folklor lisan, sebagian lisan, dan bukan lisan.[3]

Folklor lisan

[sunting | sunting sumber]

Folklor jenis ini dikenal juga sebagai fakta mental (mentifact) yang meliputi sebagai berikut:

  • bahasa rakyat seperti logat bahasa (dialek), slang, bahasa tabu, otomatis;
  • ungkapan tradisional seperti peribahasa dan sindiran;
  • pertanyaan tradisonal yang dikenal sebagai teka-teki;
  • sajak dan puisi rakyat, seperti pantun dan syair;
  • cerita prosa rakyat, cerita prosa rakyat dapat dibagi ke dalam tiga golongan besar, yaitu: mite (myth), legenda (legend), dan dongeng (folktale), seperti Malin Kundang dari Sumatera Barat, Sangkuriang dari Jawa Barat, Roro Jonggrang dari Jawa Tengah, dan Jaya Prana serta Layonsari dari Bali;
  • nyanyian rakyat, seperti “Jali-Jali” dari Betawi.[3]

Folklor sebagian lisan

[sunting | sunting sumber]

Folklor ini dikenal juga sebagai fakta sosial (sosiofact), meliputi sebagai berikut:

  • kepercayaan dan takhayul;
  • permainan dan hiburan rakyat setempat;
  • teater rakyat, seperti lenong, ketoprak, dan ludruk;
  • tari rakyat, seperti tayuban, doger, jaran, kepang, dan ngibing, ronggeng;
  • adat kebiasaan, seperti pesta selamatan, dan khitanan;
  • upacara tradisional seperti tingkeban, turun tanah, dan temu manten;
  • pesta rakyat tradisional seperti bersih desa dan meruwat.[3]

Folklor bukan lisan

[sunting | sunting sumber]

Folklor ini juga dikenal sebagai artefak meliputi sebagai berikut:

  • arsitektur bangunan rumah yang tradisional, seperti Joglo di Jawa, Rumah Gadang di Minangkabau, Rumah Betang di Kalimantan, dan Honay di Papua;
  • seni kerajinan tangan tradisional,
  • pakaian tradisional;
  • obat-obatan rakyat;
  • alat-alat musik tradisional;
  • peralatan dan senjata yang khas tradisional;
  • makanan dan minuman khas daerah.[3]

Adapun fungsi folklor, yaitu sebagai sistem proyeksi, yakni sebagai alat pencermin angan-angan suatu kolektif; sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan; sebagai alat pendidik anak; dan sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya.[3]

  1. ^ George, Robert A., Michael Owens Jones, "Folkloristics: An Introduction," Indiana University Press, 1995.
  2. ^ Endraswara, Suwardi (2009). Metodologi Penelitian Folklor. Yogyakarta: Media Pressindo. hlm. 34. ISBN 978-979-788-099-6. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-07-22. Diakses tanggal 2020-12-31. 
  3. ^ a b c d e f g h i j k l m n o "Pengertian, Jenis-jenis dan Fungsi Cerita Rakyat – Sridianti.com". www.sridianti.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-02-28. Diakses tanggal 2019-02-28. 
  4. ^ "Pengertian dan Fungsi Cerita Rakyat – Sridianti.com". www.sridianti.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-10-07. Diakses tanggal 2019-02-28. 

Bacaan lanjutan

[sunting | sunting sumber]

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]