Setelah lama kami banyak membahas gedung-gedung tinggi nan menawan di pusat kota dan resort besar di Bali, SGPC kembali merambah daerah baru yang jarang obyek arsitekturnya, nyaris sama dengan Rumah Sakit Pertamina di Cilacap. Ia adalah hotel milik negara bernama Grand Inna Samudra Beach, yang populernya bernama Samudra Beach Hotel, nama saat hotel berlantai tujuh itu berdiri.
Hotel yang berlokasi di Pantai Sukawayana, atau sekarang bernama Pantai Citepus, Desa Cikakak, Pelabuhan Ratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat itu memiliki 100 kamar tidur yang terbagi ke dalam tiga tipe kamar. Sejarah hotel ini sangat terikat dengan keberadaan tiga hotel lain yang dibangun di era Orde Lama, yaitu Hotel Indonesia, Grand Bali Beach dan Hotel Ambarrukmo, tetapi berbeda dengan ketiga hotel tersebut, hotel di Sukabumi menghadapi tantangan yang sangat berat.
Penelusuran kilat
Samudra Beach Hotel dibangun karena nostalgia hidup Soekarno
Ide membangun sebuah hotel resort mewah di wilayah Pelabuhan Ratu masih tidak jauh-jauh amat dari peran Presiden Soekarno, dan berbeda dengan tiga hotel lainnya, Pelabuhan Ratu dipilihnya karena faktor nostalgia di masa ia masih kuliah di Technische Hogeschool Bandung alias Institut Teknologi Bandung sekarang, bukan faktor ekonomis seperti potensi budaya atau alam dan infrastruktur. Saat itu, sekitar 1920-30an, Soekarno sewaktu-waktu singgah ke pantai di sekitar kota yang kelak akan menjadi ibukota Kabupaten Sukabumi itu untuk melepas penatnya menggerakkan kemerdekaan Indonesia dari cengkeraman kolonial Belanda.
Sebagai satu dari tiga hotel yang dibangun oleh pemerintahan Soekarno pasca-Asian Games, Samudra Beach Hotel didanai dengan dana pinjaman dari Jepang (atau dibaca sebagai pampasan perang) sebanyak 14 juta dolar AS. Harga tersebut termasuk pembangunan Hotel Bali Beach dan Ambarrukmo. Sementara pembangunan hotel yang sudah direncanakan paling tidak sejak 1961 itu memulai pembangunannya pada November 1962 hingga sekitar Februari 1966, saat hotel itu membuka operasionalnya pada 15 Februari 1966, bersamaan dengan peresmian oleh Wakil Presiden Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Biaya konstruksi hotel yang dinyatakan sebagai obyek vital negara itu totalnya sangat fantastis di masanya, mencapai Rp. 11.658.220.700,- (1966, setara Rp. 9,9 triliun nilai 2023).
Awal kehidupannya sangat berat
Di tahun-tahun awal operasionalnya, hotel ini dikelola oleh Okura Hotels hingga merdeka pada tahun 1971, sama dengan Ambarrukmo. Tetapi, bila menilik sejarah berikutnya, hotel di Sukabumi ini tantangannya sangat berat. Ketika pertama didirikan, hotel ini tidak ditujukan sebagai resort liburan melainkan sebagai sebuah hotel kasino.
Sebelum dibuka, pada 11 Februari 1966, Berita Yudha dan KOMPAS, dari hasil kunjungan media ke hotel, memberitakan bahwa direncanakan bahwa Samudra Beach Hotel akan menyediakan perjudian kasino yang disahkan negara. Berita di KOMPAS pada Maret 1987 mengarah pada rencana kasino di Ruang Sukaria dan Domino. Namun, penolakan dari banyak lembaga keagamaan yang menganggap judi sebagai mudharat, yang ditanggapi dengan larangan penyelenggaraan judi dari Pemprov Jawa Barat, membuat rencana tersebut gagal total.
Permasalahan lainnya adalah Pemkab Sukabumi yang di era 1980an cuek bebek dengan pariwisata. Masalah ketiadaan informasi tempat wisata, infrastruktur jalan yang payah dan tambal sulam menjadi disinsentif calon wisatawan dari luar Jakarta dan Bandung untuk mengunjungi hotel ini. Selain masalah itu, hotelnya sendiri kekurangan fasilitas. KOMPAS (Maret 1987) mencatat listrik masih mengandalkan generator karena PLN belum masuk, sementara tidak ada TV di kamar serta masih memakai telepon engkol zaman Thomas Alva Edison, sebuah ironi mengingat hingga 1985 masyarakat sudah bisa membeli TV dengan harga terjangkau dan menerima pesawat telepon canggih dari Perumtel. Hotel dibawah Natour dan Hotel Indonesia lainnya juga sudah membekali kamarnya dengan TV dan telepon canggih. Teleks yang merupakan sarana komunikasi wajib tahun 1980an juga belum terpasang.
Wajar bila faktor diatas menjadi pangkal tidak pernah balik modalnya Samudra Beach Hotel dan sebaliknya membebani keuangan Hotel Indonesia Group. Di kala ketiga hotelnya mulai memberikan kontribusi pada BUMN perhotelan, hotel ini terus menerus merugi karena sepinya wisatawan yang berkunjung. Okupansi melayang-layang diantara 20-30 persen bahkan di masa dikelola Okura Hotels. Pada tahun 1976, dicatat bahwa okupansi hanya 29,4% yang hanya bisa naik sedikit ke 31,2 persen empat tahun kemudian, dan pada 1981 okupansi mencapai 39,2%, hampir mendekati target saat itu.
Hotel itu disebut ramai hanya di hari akhir pekan dan libur, dan terkadang dikunjungi karena mitos Nyi Roro Kidul di kamar 308. Bahkan ada rencana pemerintah untuk melego hotel tersebut ke pasaran, namun tidak diteruskan karena harganya ditawar jauh lebih murah dari yang diinginkan.
Akibatnya, beberapa langkah penghematan harus diambil, seperti rotasi pegawai dan penghematan pemakaian AC di beberapa kamar. Namun, itu belum membantu karena hotel ini masih belum tersambung listrik PLN, sehingga memerlukan pemakaian generator diesel secara konstan dan membebani keuangan hotel dalam bentuk harga BBM. Pada tahun buku 1986 sebagai contoh, kenaikan harga BBM menyebabkan Samudra Beach Hotel merugi Rp. 350 juta (atau setara Rp. 6 milyar nilai 2023).
Bertekad memperbaiki keadaan
Sejak awal 1980an Hotel Samudra Beach sudah melakukan renovasi secara bertahap, namun baru sampai di tahap penyediaan fasilitas genset, AC sentral hingga renovasi kamar dan fasilitas. Baru di tahun 1986-lah perbaikan tersebut semakin kasat mata baik secara keuangan maupun ketersediaan fasilitas, walau saat itu tingkat okupansinya sangat kecil dibanding dengan hotel-hotel milik Hotel Indonesia (HII) lainnya.
Listrik PLN, sistem telepon dari stasiun bumi, teleks serta pesawat TV untuk kamar-kamar lengkap dengan antena parabola untuk menangkap siaran TVRI, RTM Malaysia dan SBC Singapura sudah mulai dipasang. Acara-acara band dan kebudayaan mulai diadakan di hotel ini, ditambah penyediaan paket wisata yang sangat menarik untuk mengisi kamar di hari kerja.
Upaya tersebut merupakan rangka membenahi profitabilitas hotel bergaya modern itu. Baru di tahun 1987, berdasarkan laporan keuangan HII yang dibeberkan melalui majalah SWA (Juni 1989), okupansi naik dari 25 persen (1986) ke 28,6 persen, dan keuntungan kasar (EBITDA) 970 juta rupiah, dari awalnya rugi 150 juta (1986), namun tetap saja okupansi sekitar 30 persen itu jauh di bawah Hotel Wisata kalaupun hotel yang berlokasi di samping HI Jakarta itu merasakan masa-masa apesnya. Namun, secara bersihnya, Samudra Beach masih rugi, bahkan per 1988. Tetapi pada 1990 masalah kerugian pada Hotel Samudera Beach masih dirasa walau sangat kecil karena kuatnya arus pemasukkan aset HII lainnya, terutama karena tingginya pemasukkan dari hotel-hotel di Bali (Inna Putri dan Bali Beach).
Namun, baru setelah Pemkab Sukabumi melakukan perbaikan jalan hotmiks dari Cibadak ke hotel, renovasi lanjutan dan dibukanya sarana wisata lainnya, Samudra Beach Hotel menjelma menjadi hotel resort lainnya yang ramai pelancong termasuk pejabat-pejabat penting negara dan peserta seminar, terutama di akhir pekan. Semua itu terpancar dalam pemberitaan Harian Ekonomi “Neraca” pada bulan Februari 1993 dalam artikel HUT Samudra Beach Hotel ke-27. Secara keuangan, dikabarkan per Juni 1993 pemasukan hotel di Sukabumi sudah mencapai “di atas titik impas”.
Tak banyak catatan sejarah kontemporer lain mengenai Samudra Beach Hotel, yang berganti nama menjadi Inna Samudra Beach, dan selanjutnya Grand Inna Samudra Beach, walau tercatat sekitar 2012 hotel ini menjalani fase renovasi rutin.
Arsitekturnya bergaya pertengahan abad 20
Sayangnya, tidak diketahui pasti siapa arsitek dari Grand Inna Samudra Beach Hotel (Agoda), tetapi dari beberapa catatan, baginda insinyur Indonesia, Roosseno, menukangi tulangan hotel berlantai delapan ini, dan konsultasi beserta interior dilakukan oleh perusahaan Jepang bernama Kanko Kikaku Sekkeisha Yozo Shibata & Associates. Sementara konstruksinya dilakukan oleh PT Pembangunan Perumahan bersama dengan Taisei Corporation.
Hotel ini berdiri di lahan seluas 2.688 m2 dan memiliki tinggi 42 meter. Ia juga merupakan contoh arsitektur era pertengahan abad 20 dengan bentuk mengotak, dimana seluruh 105 kamarnya memiliki balkon dan pemandangan yang menghadap ke pantai. Jarak antara hotel dengan Samudera Indonesia sendiri adalah sekitar 60 meter, cukup ada ruang untuk bisa melakukan rekreasi di pasir hitam Pantai Citepus.
Hanya ada tiga tipe kamar yang disediakan semenjak dilakukan renovasi, yaitu tipe deluxe dan dua tipe suite (deluxe dan executive). Ia juga menyediakan tiga ruang rapat (Ratu Sari, Buah Sari dan Angklung) yang berkapasitas paling banyak 300 orang, restoran Cafe In dan Homara Restaurant dan kolam renang.
Data dan fakta
Nama lain | Samudra Beach Hotel |
Alamat | Jalan Raya Cisolok-Pelabuhan Ratu Desa Cikakak, Pelabuhan Ratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat |
Arsitek | Roosseno (struktur) |
Pemborong (J.O.) | Pembangunan Perumahan Taisei Corporation |
Lama pembangunan | November 1962 – Februari 1966 |
Diresmikan | 15 Februari 1966 |
Jumlah lantai | 8 lantai |
Tinggi gedung (Dinas Pariwisata Jabar) | 41,65 meter |
Jumlah kamar | 106 kamar |
Biaya pembangunan | Rp. 11,7 milyar (1966) Rp. 9,9 triliun (inflasi 2023) |
Signifikasi | Pariwisata Pop culture (isu mistis Nyi Roro Kidul) Arsitektur dan sejarah (dibangun atas prakarsa Presiden Soekarno) |
Referensi
- ANTARA (1962). “US 14 djuta dollar utk pembangunan 3 hotel.” Kedaulatan Rakyat, 5 April 1962, hal. 1
- “Timbang terima sekolah perhotelan.” Merdeka, 10 September 1962, hal. 2
- “4 Projek Hotel Dinjatakan Vital.” Kedaulatan Rakyat, 10 Mei 1963, hal. 1
- “‘Casino’ di Samudra Beach Hotel Pelabuhan Ratu.” Angkatan Bersenjata, 11 Februari 1966, hal. 2
- “Samudra Beach Hotel akan diresmikan tgl. 15 Februari j.a.d.” KOMPAS, 11 Februari 1966, hal. 3
- “Samudra Beach Hotel dibuka resmi.” KOMPAS, 15 Februari 1966, hal. 2
- “Kontrak dengan Hotel Okura.” KOMPAS, 15 Februari 1966, hal. 2
- ANTARA (1966). “Lagi2 ‘casino’ di Samudera Beach Hotel.” Angkatan Bersenjata, 21 Februari 1966, hal. 2
- ANTARA (1966). “ITB tolak ‘casino’.” Angkatan Bersenjata, 24 Februari 1966, hal. 2
- Dinas Pariwisata Jawa Barat (1974). “Sejarah Jawa Barat untuk Pariwisata II: Banten, Purwakarta, Bogor.” Bandung: Dinas Pariwisata Jawa Barat. Halaman 89-91, via Google Books
- Drs. R.Z. Leirissa, MA.; Sutrisno Kutoyo; Drs. M. Soenjata Kartadarmadja (editor) (1984). “Prof. Dr. Ir. Roosseno Soerjohadikoesoemo: Karya dan Pengabdiannya.” Jakarta: Kementerian Pendidikan & Kebudayaan. Hal. 20, via Google Books
- Maria H.; Diah M. (1987). “Samudra Beach Hotel, riwayatmu kini…..” KOMPAS, 16 Maret 1987, hal. 1
- Maria H. (1987). “Membaik lagi, kondisi dua hotel milik PT HII.” KOMPAS, 3 September 1987, hal. 3
- Djandjan (1987). “Samudra Beach Hotel yang terus merugi: Debur Ombak Pantai Yang Indah Belum Mampu Dijual.” Suara Pembaruan, 23 Oktober 1987, hal. 10
- Saraswati A.R. (1989). “Rencana besar kelompok HII.” Majalah SWA No. 3/V, Juni 1989, hal. 42-44
- “Meski ada kenaikan listrik, tarif hotel PT HII tidak naik.” Harian Ekonomi “Neraca”, 3 April 1989, hal. 1
- tom; mey (1991). “HII jajaki kerjasama ekspansi dengan BUMN.” Media Indonesia, 31 Juli 1991, hal. 5
- Gustom Muzlie (1991). “Raga HII Pasca desentralisasi.” Media Indonesia, 16 Agustus 1991, hal. 11
- Mamo Sunaryatmo (1993). “27 Tahun Samudra Beach Hotel: Hotel Monumental itu jangan ‘dianaktirikan’.” Harian Ekonomi “Neraca”, 19 Februari 1993, hal. 9
- Kemal E. Gani (2013). “Optimisme Intan Abdams Membangun kejayaan Inna Hotels.” Majalah SWA, 23 Oktober 2013. Diakses 25 Juni 2023 (arsip)
- Ahmad Masaul Khoiri (2022). “Grand Inna Samudra Beach Sukabumi memang sebagus itu, tapi ada catatan penting.” Detikcom, 23 Januari 2022. Diakses 25 Mei 2023 (arsip)
- Halaman resmi Grand Inna Samudra Beach, diakses 25 Mei 2023 (arsip)
- Arsip halaman resmi KKS Group, diarsip 21 Oktober 2022
- Arsip halaman resmi PT PP, diarsip 13 Februari 2004
- “Akibat terbakarnya HBB, HII alami ‘lost opportunity’ Rp. 28 milyar.” Harian Ekonomi “Neraca”, 11 Juni 1993, hal. 9
- “The Samudra Beach Hotel.” Travel Indonesia Vol. 4 No. 1, Januari 1982, hal. 12-13
Leave a Reply