Lompat ke isi

Airlangga: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Ibuku (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Syahjahaan (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Baris 18: Baris 18:
| father = [[Udayana]]
| father = [[Udayana]]
| mother = [[Mahendradatta]]
| mother = [[Mahendradatta]]
|religion = [[Hindu]]
|religion = [[Waisnawa|Hindu Waisnawa]]
}}
}}


'''Airlangga''' ([[Bali]], 1000 - [[Petirtaan Belahan|Belahan]], 1049) atau sering ditulis '''Erlangga''' adalah pendiri [[kerajaan Kahuripan|kerajaan Medang-Kahuripan]], [[kerajaan Janggala]] dan [[kerajaan Panjalu]] di [[Jawa Timur]] yang memerintah sekitar tahun 1019-1043 M. Airlangga naik takhta dengan gelar ''abhiseka'' (wisuda) '''Sri Maharaja Rakai Halu Sri Lokeswara Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa'''.
'''Airlangga''' ([[Bali]], 1000 - [[Petirtaan Belahan|Belahan]], 1049) atau sering ditulis '''Erlangga''' adalah pendiri kerajaan [[Kerajaan Kahuripan|Medang-Kahuripan]], [[Janggala]] dan [[Panjalu]] di [[Jawa Timur]] yang memerintah pada sekitar tahun 1019-1043 M. Airlangga naik takhta dengan gelar ''abhiseka'' (wisuda) '''Sri Maharaja Rakai Halu Sri Lokeswara Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa'''.


Ia memerintahkan [[Mpu Kanwa]] untuk menggubah [[Kakawin Arjunawiwaha]] yang menggambarkan keberhasilannya dalam medan peperangan, di akhir masa pemerintahannya Airlangga membagi kerajaannya menjadi dua untuk kedua putranya yaitu [[kerajaan Panjalu|kerajaan Kadiri]] dan [[kerajaan Janggala]].
Ia memerintahkan [[Mpu Kanwa]] untuk menggubah [[Kakawin Arjunawiwaha]] yang menggambarkan keberhasilannya dalam medan peperangan, di akhir masa pemerintahannya Airlangga membagi kerajaannya menjadi dua untuk kedua putranya yaitu [[kerajaan Panjalu]] dan [[kerajaan Janggala]].


== Asal usul ==
== Asal usul ==

Revisi per 18 Juli 2023 02.17

Airlangga
Sri Maharaja Rakai Halu Sri Lokeswara Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa
Arca perwujudan Airlangga sebagai Dewa Wisnu mengendarai Garuda. Koleksi Museum Trowulan, Jawa Timur.
Raja Medang-Kahuripan
Berkuasa1019-1043
PenerusSanggramawijaya Tunggadewi
Kelahiran1000
Bali
Kematian1049
Candi Belahan
Pemakaman
Keturunan
WangsaWangsa Isyana
Wangsa Warmadewa
AyahUdayana
IbuMahendradatta
AgamaHindu Waisnawa

Airlangga (Bali, 1000 - Belahan, 1049) atau sering ditulis Erlangga adalah pendiri kerajaan Medang-Kahuripan, Janggala dan Panjalu di Jawa Timur yang memerintah pada sekitar tahun 1019-1043 M. Airlangga naik takhta dengan gelar abhiseka (wisuda) Sri Maharaja Rakai Halu Sri Lokeswara Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa.

Ia memerintahkan Mpu Kanwa untuk menggubah Kakawin Arjunawiwaha yang menggambarkan keberhasilannya dalam medan peperangan, di akhir masa pemerintahannya Airlangga membagi kerajaannya menjadi dua untuk kedua putranya yaitu kerajaan Panjalu dan kerajaan Janggala.

Asal usul

Hingga saat ini nama raja Airlangga masih dikenang di dalam ingatan masyarakat Jawa dan di berbagai cerita rakyat, juga sering diabadikan di berbagai tempat di Indonesia. Airlangga bermakna "air yang melompat", dikisahkan Airlangga berhasil lolos dari bencana Mahapralaya ("bencana besar") yang dianggap bagai air bah, sehingga Airlangga juga adalah julukan bermakna sebagai air yang melompat.[butuh rujukan] Ia lahir tahun 1000. Ayahnya bernama Udayana, raja Kerajaan Bedahulu dari wangsa Warmadewa. Ibunya bernama Mahendradatta, seorang putri wangsa Isyana dari Kerajaan Medang. Waktu itu Medang menjadi kerajaan yang cukup kuat, bahkan mengadakan penaklukan ke Bali, mendirikan koloni di Kalimantan Barat, serta mengadakan serangan ke Sriwijaya.

Airlangga memiliki dua orang adik, yaitu Marakata Pangkaja (menjadi raja Bali sepeninggal ayah mereka) dan Anak Wungsu (naik takhta sepeninggal Marakata). Dalam berbagai prasasti yang dikeluarkannya, Airlangga mengakui sebagai keturunan dari raja Mpu Sindok dari wangsa Isyana yang memindahkan pusat kekuasaan Kerajaan Medang dari bhumi Mataram di Jawa Tengah ke Jawa timur, atau lazim disebut Medang periode Jawa Timur.

Masa pelarian

Airlangga menikah dengan putri pamannya yaitu Dharmawangsa Teguh (saudara ibunya Mahendradatta) di Wwatan, ibu kota Kerajaan Medang (sekarang sekitar Maospati, Magetan, Jawa Timur). Ketika pesta pernikahan sedang berlangsung, tiba-tiba kota Wwatan diserbu Raja Wurawari yang berasal dari Lwaram (diperkirakan sekarang adalah sekitar Desa Ngloram, Cepu, Blora), yang merupakan sekutu dari Kerajaan Sriwijaya yang mendapat dukungan kuat dari wangsa Syailendra untuk memberontak. Kejadian tersebut tercatat dalam prasasti Pucangan (atau Calcutta Stone). Yang dianggap sebagai bencana Mahapralaya layaknya air bah yang mematikan, pembacaan Kern atas prasasti tersebut yang juga dikuatkan oleh de Casparis, menyebutkan bahwa penyerangan tersebut terjadi tahun 938 Saka, atau sekitar 1016 M.[1]

Dalam serangan itu, Dharmawangsa Teguh dan seluruh kerabat raja tewas, istana Wwatan turut dibakar, sedangkan Airlangga yang merupakan menantu sekaligus keponakannya beserta putri Dharmawangsa berhasil lolos dari maut ke hutan pegunungan (Vana giri) Wonogiri ditemani pembantunya yang bernama Mpu Narotama. Saat itu ia berusia 16 tahun, dan mulai menjalani hidup sebagai pertapa. Salah satu bukti petilasan Airlangga sewaktu dalam pelarian dapat dijumpai di Sendang Made, Kudu, Jombang, Jawa Timur.

Pendirian kerajaan

Pada saat pelarian dan dalam masa persembunyiannya dengan kalangan pertapa, setelah melewati tiga tahun hidup di dalam hutan pada tahun 1019, Airlangga didatangi utusan rakyat beserta senopati yang masih setia, menyampaikan permintaan agar dirinya mendirikan dan membangkitkan kembali sisa-sisa kejayaan Medang. Atas dukungan dari para pendeta dari ketiga Aliran (Siwa, Buddha, dan Mahabrahmana) ia kemudian membangun kembali sisa-sisa kerajaan Medang yang istananya telah hancur tersebut. Yang lazim dikenal sekarang dengan kerajaan Medang Koripan atau Medang Kahuripan dengan ibukota baru yang bernama Watan Mas.

15. Kemudian dalam tahun penting yaitu 941 tahun saka, tanggal 13 paro terang, bulan magha, pada hari kamis menghadaplah para abdi dan para Brahmana terpandang kepada raja di raja Erlangga, menunduk hormat disertai harapan tulus. Mereka dengan penuh ketulusan mengajukan permohonan kepadanya:“perintahlah negara ini sampai batas-batas yang paling jauh ! ...”

(Prasasti Pucangan) (1041 M)

Mengingat kota Wwatan sudah hancur, Airlangga pun membangun ibu kota baru bernama Watan Mas di lereng Gunung Penanggungan.[2] Nama ini masih dipakai sebagai nama suatu desa (Desa Wotan Mas Jedong) di Kecamatan Ngoro, Kabupaten Mojokerto. Ketika Airlangga naik tahta, wilayah kerajaannya hanya meliputi daerah Mojokerto, Sidoarjo dan Pasuruan saja, karena sepeninggal Dharmawangsa Teguh, banyak daerah bawahan yang melepaskan diri.

Pada tahun 1025, Kedatuan Sriwijaya di Sumatra yang merupakan musuh besar dari wangsa Isyana dikalahkan oleh Rajendra Coladewa raja dari Colamandala Kerajaan Chola, India. Hal ini menjadi sebuah kesempatan dan membuat Airlangga lebih leluasa dalam mempersiapkan diri untuk menaklukkan Pulau Jawa.

Perluasan wilayah

Sejak tahun 1029, periode antara tahun 1029 sampai dengan tahun 1037 adalah periode penaklukan yang dilakukan oleh Airlangga terhadap musuh-musuhnya baik yang berada wilayah barat, timur, maupun selatan. Berita pada prasasti pucangan (1042 M) memberikan keterangan tentang penyerangan-penyerangan yang dilakukan oleh raja Airlangga atas musuh-musuhnya tersebut. Airlangga mulai memperluas kekuasaan dan pengaruhnya seiring dengan melemahnya Sriwijaya. Mula-mula yang dilakukan Airlangga adalah menyusun kekuatan untuk menegakkan kembali kekuasaan wangsa Isyana atas pulau Jawa. Airlangga pertama-tama mengalahkan Raja Hasin dari selatan Wengker (sekarang daerah sungai Ngasinan, Kelurahan Kelutan, Trenggalek), menurut sumber lain berada di Jawa Tengah di wilayah bernama desa Masin sekitar Batang hingga Pekalongan.

Pada tahun 1029 (951 Saka). Airlangga mengalahkan Wisnuprabhawa raja Wuratan, yang merupakan putra dari raja yang ikut menyerang Dharmawangsa Teguh sebelumnya, selanjutnya mengalahkan Wijayawarmma raja Wengker, dan kemudian Panuda raja Lewa.

Pada tahun 1031 (953 Saka) putra Panuda, raja Lewa, mencoba membalas dendam namun dapat dikalahkan oleh Airlangga. Ibu kota Lewa dihancurkan pula.

Pada tahun 1031, seorang raja wanita dari daerah Lodoyong (sekarang daerah Tulungagung), Ratu Lodoyong, berhasil mengalahkan kekuatan pasukan Airlangga, bahkan menghancurkan pusat kekuasaan di istana Watan Mas dan memaksa Airlangga untuk melarikan diri ke desa Patakan, Sambeng, Lamongan ditemani Mapanji Tumanggala, peristiwa ini diceritakan dalam prasasti Terep (1032). Airlangga kemudian menyusun kekuatan kembali dengan mendirikan ibukota dan istana baru bernama Kahuripan (di daerah Sidoarjo sekarang). Nama Kahuripan inilah yang kemudian lazim dipakai sebagai nama kerajaan yang dipimpin Airlangga.

Satu tahun kemudian, pada tahun 1032 (954 Saka) ratu Lodoyong yang menghancurkan istana Watan Mas akhirnya dapat dikalahkan. Kemudian, pada penghujung tahun 1032 Airlangga bersama Mpu Narotama lalu mengalahkan raja Wurawari dan membalaskan dendam keluarga wangsa Isyana.

Terakhir, tahun 1035 (957 Saka) Airlangga menumpas pemberontakan Wijayawarmma, raja daerah Wengker yang pernah ditaklukannya dulu pada tahun 1029. Wijayawarmma melarikan diri dari kota Tapa namun kemudian mati dibunuh rakyatnya sendiri, peristiwa ini ditulis pada Prasasti Kamalagyan (1037).

Masa pemerintahan

Kerajaan dengan pusatnya di Kahuripan ini wilayahnya membentang dari Pasuruan di timur hingga Madiun di barat. Pantai utara Jawa, terutama Surabaya dan Tuban, menjadi pusat perdagangan yang penting untuk pertama kalinya. Airlangga naik tahta dengan gelar abhiseka (wisuda) Çri Mahãrãja Rakai Halu Çri Lokeçwara Dharmmawamça Airlangga Anãntawikramottunggadewa.

Setelah keadaan aman, Airlangga mulai mengadakan pembangunan-pembangunan demi kesejahteraan rakyatnya. Pembangunan yang dicatat dalam prasasti-prasasti peninggalannya antara lain.

  • Membangun Sri Wijaya Asrama tahun 1036.
  • Membangun bendungan Waringin Sapta tahun 1037 untuk mencegah banjir musiman.
  • Memperbaiki pelabuhan Hujung Galuh, yang letaknya di muara Kali Brantas, dekat Surabaya sekarang.
  • Membangun jalan-jalan yang menghubungkan daerah pesisir ke pusat kerajaan.
  • Meresmikan pertapaan Gunung Pucangan tahun 1041.
  • Menurut prasasti Pamwatan (1042), pusat kerajaan kemudian pindah dari Kahuripan ke Daha (daerah Kediri sekarang).

Airlangga juga menaruh perhatian terhadap seni sastra. Tahun 1035 Mpu Kanwa menulis Arjuna Wiwaha yang diadaptasi dari epik Mahabharata. Kitab tersebut menceritakan perjuangan Arjuna mengalahkan Niwatakawaca, sebagai kiasan Airlangga mengalahkan raja Wurawari.

Selama masa pemerintahannya, Airlangga banyak melakukan perbaikan di empat sektor kehidupan bernegara: politik, ekonomi, agama, dan masyarakat. Di bidang politik, ia berhasil membuat raja-raja bawahannya mengakui kembali kedaulatannya. Ia memperluas wilayah kekuasaaannya hingga ke Bali. Bahkan Casparis menduga bahwa ia mempunyai jaringan dengan raja-raja di kawasan Asia Tenggara. Di bidang ekonomi, ia memiliki ambisi untuk menggantikan posisi Sriwijaya sebagai pelabuhan transit internasional. Dengan memanfaatkan kondisi Sriwijaya yang lemah karena serangan Raja Rajendra Chola I, kesempatan ini dimanfaatkan dengan membangun pelabuhan transit di Kambang Putih dan membenahi pelabuhan regional di Hujung Galuh untuk memperkuat perdagangan lewat laut. Di bidang agama, Airlangga menempatkan para pendta menjadi orang terdekat raja yang mendampingi raja di upacara penting. Selain itu, agama dan sekte agama lain diberikan kesempatan yang sama untuk berkembang. Di bidang sosial, Airlangga mengembangkan pemberian hak-hak istimewa pada orang-orang yang pernah berjasa kepadanya.[3]

Pembagian kerajaan

Pada tahun 1042, Airlangga lalu membagi dua wilayah kerajaannya. Mpu Bharada ditugasi menetapkan perbatasan antara bagian barat dan timur. Peristiwa pembelahan ini tercatat dalam Serat Calon Arang, Nagarakretagama, prasasti Wurare dan prasasti Turun Hyang II. Maka berdiri dan terciptalah dua kerajaan baru. Kerajaan barat di wilayah Panjalu berpusat di ibu kota baru, yaitu Daha, diberikan kepada Sri Samarawijaya. Sedangkan kerajaan timur di wilayah Janggala berpusat di ibu kota lama, yaitu Kahuripan, diberikan kepada Mapanji Garasakan.

Dalam Prasasti Pamwatan, 20 November 1042, Airlangga masih bergelar Maharaja, sedangkan dalam prasasti Gandhakuti, 24 November 1042, ia sudah bergelar Resi Aji Paduka Mpungku. Dengan demikian, peristiwa pembagian kerajaan diperkirakan terjadi di antara kedua tanggal tersebut. Menurut Kitab Nagarakretagama, Airlangga sudah berpindah dan memerintah dari Daha wilayah Panjalu atau Kadiri.[4][5]

... 1. Nahan tatwanikaɳ kamal/ widita deniɳ sampradaya sthiti, mwaɳ çri pañjalunatha riɳ daha te- (122a) wekniɳ yawabhumy/ apalih, çri airlanghya sirandani ryyasihiran/ panak/ ri saɳ rwa prabhu, ...

... 1. Demikian sejarah Kamal menurut tutur yang dipercaya, Dan Sri Nata Panjalu di Daha, waktu bumi Jawa dibelah, Karena cinta raja Airlangga kepada dua puteranya, ...
— (Kakawin Nagarakretagama, Pupuh 68).

Kemudian pada tahun 1042 pula, Airlangga turun takhta menjadi pendeta. Menurut Serat Calon Arang ia kemudian bergelar Resi Erlangga Jatiningrat, sedangkan menurut Babad Tanah Jawi ia bergelar Resi Gentayu. Namun yang paling dapat dipercaya adalah prasasti Gandhakuti (1042) yang menyebut gelar kependetaan Airlangga adalah Resi Aji Paduka Mpungku Sang Pinaka Catraning Bhuwana.

Berdasarkan cerita rakyat, putri mahkota Airlangga mengundurkan diri menjadi raja dan memilih hidup sebagai pertapa bernama Dewi Kili Suci. Nama asli putri tersebut dalam prasasti Cane (1021) sampai prasasti Pasar Legi (1043) adalah Sanggramawijaya Tunggadewi. Menurut Serat Calon Arang, Airlangga kemudian bingung memilih pengganti karena kedua putranya bersaing memperebutkan takhta. Mengingat dirinya juga putra raja Bali, maka ia pun berniat menempatkan salah satu putranya di pulau itu. Gurunya yang bernama Mpu Bharada berangkat ke Bali mengajukan niat tersebut namun mengalami kegagalan. Fakta sejarah menunjukkan Udayana digantikan putra keduanya yang bernama Marakata Pangkaja sebagai raja Bali, dan Marakata kemudian digantikan adik yang lain yaitu Anak Wungsu.

Menurut prasasti Pasar Legi (1043 M), baik Airlangga maupun Sanggramawijaya Tunggadewi masih aktif menjalankan pemerintahan. Mengikuti gelar kependetaan Airlangga yaitu Resi Aji yang juga berarti sebagai raja pendeta. Hal ini dapat ditafsirkan bahwa Airlangga dan putrinya masih memegang kekuasaan tertinggi sekalipun hidupnya sudah terbagi dengan kegiatan non-duniawi.

Akhir hayat

Pada Prasasti Sumengka (1059) peninggalan Kerajaan Janggala hanya menyebutkan Resi Aji Paduka Mpungku dimakamkan di tirtha atau pemandian. Kolam pemandian yang paling sesuai dengan berita prasasti Sumengka adalah Candi Belahan di lereng Gunung Penanggungan. Pada kolam tersebut ditemukan arca Wisnu disertai dua dewi. Berdasarkan prasasti Pucangan (1041) diketahui Airlangga adalah penganut Hindu Wisnu yang taat. Maka, ketiga patung tersebut dapat diperkirakan sebagai lambang Airlangga dengan dua istrinya, yaitu ibu Sri Samarawijaya dan ibu Mapanji Garasakan.

Pada Candi Belahan ditemukan angka tahun 1049. Tidak diketahui dengan pasti apakah tahun itu adalah tahun kematian Airlangga, ataukah tahun pembangunan candi pemandian tersebut.

Silsilah

Pemakaian nama Airlangga

Nama Airlangga pada masa sekarang diabadikan menjadi beberapa nama, antara lain:

  1. Nama sebuah kelurahan di Surabaya.
  2. Di Surabaya juga terdapat Universitas Airlangga, sebuah perguruan tinggi negeri tertua dan ternama di Indonesia.
  3. Di Kota Kediri terdapat Museum Airlangga.
  4. Di Jakarta terdapat Penerbit Erlangga.
  5. Sebuah layanan kereta api penumpang yang dioperasikan oleh Kereta Api Indonesia untuk rute Surabaya-Jakarta.
  6. Selain itu beberapa kota juga menggunakannya sebagai nama jalan.

Kepustakaan

  • Babad Tanah Jawi. 2007. (terj.). Yogyakarta: Narasi
  • Poesponegoro & Notosusanto (ed.). 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka.
  • Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara

Referensi

  1. ^ de Casparis, J.G., Airlangga, The Threshold of the Second Millennium, IIAS Newsletter Online, No. 18. Diakses 8 Juli 2008 (alamat baru diakses 3 Des 2013).
  2. ^ Nama kota ini tercatat dalam prasasti Cane (1021).
  3. ^ Susanti, Ninie (2013). "Airlangga: His Relations to Kings in South and South-East Asia". Paradigma: Jurnal Kajian Budaya. 4 (1): 1–14. doi:10.17510/paradigma.v4i1.155. ISSN 2503-0868. 
  4. ^ Wignjosoebroto, Wiranto. MENCARI JEJAK KAHURIPAN; Kerajaan Hindu Tertua dan Terlama di Tanah Jawa. Penerbit K-Media. ISBN 978-602-6287-19-9. 
  5. ^ http://www.spaetmittelalter.uni-hamburg.de/java-history/JavaNK/Java1365.Nagara-Kertagama.Canto.63-69.html
Didahului oleh:
Dharmawangsa Teguh
Raja Kahuripan
1019-1042
Diteruskan oleh:
Sri Samarawijaya dan Mapanji Garasakan

Pranala luar