Lompat ke isi

Anikonisme dalam Islam

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Hiasan keramik di Kubah Shakhrah, Yerusalem.

Anikonisme dalam Islam adalah pelarangan dalam Islam terhadap penciptaan gambar makhluk hidup yang bernyawa. Pelarangan yang paling mutlak adalah gambar Allah, diikuti oleh penggambaran Nabi Muhammad, dan kemudian nabi-nabi Islam dan kerabat Nabi Muhammad, tetapi penggambaran semua manusia dan hewan tidak dianjurkan dalam hadis dan oleh tradisi lama para ulama, terutama Sunni. Hal ini telah menyebabkan seni Islam didominasi oleh pola geometris Islam, kaligrafi, dan pola dedaunan seperti arabes, tetapi seni figuratif masih memiliki tradisi yang kuat, terutama dalam ukuran kecil dalam karya-karya pribadi dalam rumah atau istana. Perkembangan fotografi dan gambar yang difilmkan saat ini telah menimbulkan kontroversi, dengan beberapa ahli keagamaan yang menyatakan, misalnya, bahwa semua televisi tidak sesuai dengan ajaran Islam; tetapi ini bukan pendapat yang dipegang secara luas.

Pandangan teologis

[sunting | sunting sumber]

Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, tidak secara eksplisit melarang penggambaran sosok manusia, namun hanya mengutuk penyembahan berhala.[1][2] Larangan-larangan tentang penggambaran sosok terdapat dalam hadis, beberapa di antaranya tercatat selama akhir dari periode ketika hadis-hadis tersebut muncul. Karena hadis ini terkait dengan peristiwa tertentu dalam kehidupan Nabi Muhammad, hadis-hadis tersebut perlu ditafsirkan agar dapat diterapkan dengan cara umum.

Para ahli tafsir Sunni, dari abad ke-9 hingga seterusnya, semakin melihat di dalamnya larangan kategoris terhadap membuat dan menggunakan penggambaran makhluk bernyawa. Ada beragam variasi di antara mazhab-mazhab dan perbedaan yang jelas antara berbagai cabang-cabang Islam. Anikonisme berlaku umum di antara golongan Sunni fundamentalis seperti Salafi dan Wahhabisme (yang juga sering bersikap ikonoklastis), dan kurang umum di kalangan gerakan liberal. Syiah dan kelompok Sufi juga memiliki pandangan kurang ketat pada anikonisme. Pada tingkat individu, kepercayaan seorang Muslim terhadap anikonisme mungkin tergantung pada seberapa banyak ia percaya kepada hadis, dan seberapa bebas atau ketatkah dirinya dalam ibadah pribadi.

Anikonisme dalam Islam tidak hanya berkaitan dengan citra material, tetapi juga menyentuh pada representasi mental. Ini adalah 'pertanyaan menjebak', dibahas oleh para ulama akidah awal, bagaimana untuk menggambarkan sosok Allah, Nabi Muhammad, dan nabi-nabi lainnya, jika diperbolehkan sama sekali untuk melakukannya. Allah diwakili oleh atribut immaterial, seperti "Maha Suci" atau "Maha Penyayang", atau "sembilan puluh sembilan nama Allah". Walaupun begitu, penampilan fisik Nabi Muhammad dijelaskan cukup rinci, khususnya dalam tradisi pada kehidupan dan perbuatannya yang tercatat dalam biografi yang dikenal sebagai Sirah Rasulullah. Yang tidak kalah menariknya adalah kesahihan penampakan tokoh suci yang digambarkan dalam mimpi.

Titus Burckhardt meringkas peran anikonisme dalam seni Islam sebagai berikut:

"Anikon dalam Islam tidak hanya memiliki peran negatif, tetapi juga peran positif. Dengan mengecualikan semua gambar antropomorfis, setidaknya dalam bidang agama, seni Islam membantu manusia untuk sepenuhnya menjadi dirinya. Alih-alih memproyeksikan jiwanya di luar dirinya, ia bisa tetap di tengah-tengah ontologisnya sebagai khalifah dan hamba (abd') Allah. Seni Islam secara keseluruhan bertujuan untuk menciptakan suasana yang membantu manusia untuk menyadari martabat primordialnya, untuk menghindari segala sesuatu yang bisa menjadi 'berhala', bahkan dengan cara yang bersifat relatif dan sementara. Tidak ada yang harus berada di antara manusia dan kehadiran tak terlihat dari Allah. Jadi, seni Islam menciptakan kekosongan, menghilangkan semua gejolak dan sugesti hawa nafsu dunia, dan sebagai gantinya mereka menciptakan tatanan yang mengekspresikan keseimbangan, ketenangan, dan kedamaian."[3]

Praktik anikonisme

[sunting | sunting sumber]

Intisari agama

[sunting | sunting sumber]

Dalam kenyataannya, secara konsisten inti keyakinan Islam bersifat anikonis. Perwujudannya adalah ruangan seperti masjid dan benda-benda seperti Al-Qur'an atau pakaian putih jamaah yang memasuki Mekkah, yang tidak ada gambar figuratif di dalamnya. Bidang-bidang lain agama - mistisisme, kesalehan populer, tingkatan pribadi - tampil dalam hal keragaman yang signifikan ini. Anikonisme dalam konteks sekuler bahkan lebih berfluktuasi. Secara umum, anikonisme dalam masyarakat Islam dibatasi pada zaman modern untuk konteks tertentu. Di masa lalu, anikonisme diberlakukan di beberapa waktu dan tempat.

Bergantung pada segmentasi masyarakat Islam mana saja yang dimaksud, penerapan anikonisme ditandai dengan perbedaan penting.[4] Faktor-faktornya berupa zaman, negara, orientasi keagamaan, maksud politik, keyakinan populer, manfaat pribadi, atau dikotomi antara realita dan wacana.

Saat ini, konsep Islam anikonis berdampingan dengan kehidupan sehari-hari umat Islam yang dibanjiri dengan gambar. Stasiun TV dan surat kabar (yang menampilkan representasi makhluk hidup diam dan bergerak) kadang-kadang memiliki dampak yang luar biasa pada opini publik, seperti dalam kasus Al Jazeera, dengan jangkauan global, menjangkau pemirsa berbahasa Arab dan Muslim. Potret pemimpin sekuler dan agama muncul pada muka uang kertas[5][6] dan koin, di jalan-jalan dan kantor (misalnya presiden seperti Nasir dan Mubarak, Arafat, al-Assad atau Nasrallah dari Hizbullah dan Ayatollah Khomeini). Patung antropomorfik di tempat umum dapat ditemukan di sebagian besar negara-negara Muslim (Saddam Hussein adalah yang paling terkenal[7]), begitu pula sekolah seni yang mendidik pematung dan pelukis. Di pedesaan Mesir, mereka sudah biasa menyambut kembalinya jamaah haji dari Mekkah pada dinding rumah mereka.

Gerakan Taliban di Afganistan melarang fotografi dan menghancurkan artefak non-Muslim, terutama ukiran dan patung-patung seperti patung Buddha Bamiyan, umumnya ditoleransi oleh umat Islam lainnya, dengan alasan artefak tersebut merupakan berhala yang dapat menjerumuskan pada perbuatan syirik. Namun, terkadang orang-orang yang mengaku anikonis akan melakukan representasi figuratif (lihat potret orang-orang Taliban dari studio fotografi Kandahar selama larangan fotografi yang berlaku pada mereka[8]).

Pada masa-masa awal, anikonisme dalam Islam dimaksudkan sebagai tindakan untuk menghilangkan penyembahan berhala, khususnya terhadap patung-patung yang disembah oleh orang-orang pagan (penyembah berhala). Hadis berikut menunjukkan Nabi Muhammad mengutuk gambar:

Dari Aisyah (istri Nabi):
Aku membeli bantal yang pada sarungnya terdapat gambar (hewan). Ketika Rasulullah melihatnya, beliau berdiri di pintu dan tidak masuk. Aku melihat tanda ketidaksetujuan di wajahnya dan berkata, "Wahai Rasulullah! Aku bertaubat kepada Allah dan Rasul-Nya. Apa dosa yang telah kulakukan?" Rasulullah bersabda, "Bantal apa ini?" Aku berkata, "Aku membeli ini untukmu sehingga engkau dapat duduk di atasnya dan berbaring di atasnya." Rasulullah bersabda, "Setiap pembuat gambar seperti ini akan dihukum pada Hari Kiamat, dan akan dikatakan (oleh Allah) kepada mereka, 'Hidupkan apa yang telah kalian buat!'" Nabi menambahkan," Malaikat (rahmat) tidak akan masuk ke sebuah rumah yang di dalamnya terdapat gambar (binatang)."

Dari Aisyah:
Ketika Rasulullah (ﷺ) kembali dari Perang Tabuk atau Khaibar (dia meragukannya), terangkatlah ujung tirai yang digantung di depan kamar penyimpanannya, dan terungkap beberapa boneka yang menjadi miliknya. Beliau bertanya: "Apa ini?" Dia (yang menyimpan) pun menjawab: "Bonekaku." Di antaranya, beliau melihat seekor kuda dengan sayap yang terbuat dari kain, dan bertanya, "Benda apa ini?" Dia menjawab, "Seekor kuda." Beliau bertanya: "Apa yang ada di atasnya?" Dia menjawab: "Dua sayap." Beliau bertanya: "Seekor kuda dengan dua sayap?" Dia menjawab: "Apakah kamu tidak mendengar bahwa Nabi Sulaiman memiliki kuda yang bersayap?" Kemudian Rasulullah (ﷺ) tertawa begitu riang sampai aku bisa melihat gigi gerahamnya.

— Hadis riwayat Abu Dawud, Sunan Abu Dawud[10]

Dari Ali bin Abi Thalib:
Safinah Abu Abdurrahman mengatakan bahwa seorang pria menyiapkan makanan untuk Ali bin Abi Thalib yang menjadi tamunya, dan Fatimah berkata: "Aku berharap kami diundang Rasulullah (ﷺ) dan dia makan dengan kami." Mereka mengundangnya, dan ketika ia datang ia meletakkan tangannya di sisi pintu, tetapi ketika ia melihat tirai bergambar yang telah diletakkan di ujung rumah, dia pergi. Maka Fatimah berkata kepada Ali: "Ikutilah dia dan lihat apa yang membuat dia pergi." Aku (Ali) mengikutinya dan bertanya: "Apa yang membuat engkau pergi, wahai Rasulullah?" Dia menjawab: "Tidaklah pantas untukku atau satu pun Nabi memasuki rumah yang dihiasi gambar."

— Hadis riwayat Abu Dawud, Sunan Abu Dawud[11]

Dari Aisyah:
Rasulullah kembali dari perjalanan ketika aku telah memasang tirai yang terdapat gambar, di atas (pintu) ruanganku. Ketika Rasulullah melihatnya, dia merobeknya dan bersabda, "Orang-orang yang akan menerima siksaan terberat pada Hari Kiamat adalah orang-orang yang mencoba untuk membuat seperti ciptaan Allah." Jadi kami mengubahnya (yaitu, tirai) menjadi satu atau dua bantal.

— Hadis riwayat Muhammad al-Bukhari, Shahih Bukhari[12]

Untuk menunjukkan sikap monoteisme, Nabi Muhammad menghancurkan berhala-berhala di Ka'bah. Dia juga menghapus lukisan yang menghujat Islam, sekaligus melindungi orang lain (gambar Maria dan Yesus) di dalam bangunan.[13] Hadis berikut ini menekankan bahwa anikonisme tidak hanya tergantung pada apa, tetapi juga pada bagaimana cara menggambar.

Dari Ibnu Abbas:
Ketika Rasulullah tiba di Mekah, beliau menolak untuk memasuki Ka'bah saat masih ada berhala di dalamnya. Jadi, ia memerintahkan agar mereka dikeluarkan. Gambar (Nabi) Ibrahim dan Ismail memegang anak panah di tangan mereka (untuk mengundi nasib) dihapus. Nabi bersabda, "Semoga Allah membinasakan mereka (orang-orang kafir) karena mereka tahu benar bahwa mereka (yaitu Ibrahim dan Ismail) tidak pernah mengundi nasib dengan ini (anak panah)." Kemudian Nabi memasuki Ka'bah dan berkata "Allahu Akbar" di segala penjuru lalu keluar, dan tidak salat apa pun di dalamnya.

— Hadis riwayat Muhammad al-Bukhari, Shahih Bukhari[14]

Muslim bin Subaih meriwayatkan: Aku bersama Masriuq di rumah yang memiliki gambar Maryam. Kemudian Masriuq berkata: "Ini adalah potret Kisra." Aku berkata: "Bukan, ini adalah Maryam." Masruq berkata: "Aku mendengar Abdullah bin Mas'ud mengatakan Rasulullah ﷺ bersabda: 'Orang yang diazab dengan sangat pedih pada Hari Kiamat adalah tukang gambar.'" (Muslim mengatakan): "Aku membaca ini sebelum Nashr bin Ali at-Jahdami dan ia membacanya sebelum perawi lain, yang berpangkal pada Ibnu Sa'id bin Abul Hasan bahwa seseorang datang kepada Ibnu 'Abbas dan berkata: 'Saya orang yang (sehari-hari) melukis gambar; beri saya fatwa agama tentangnya.' Dia (Ibnu 'Abbas) berkata kepadanya: 'Mendekatlah kepadaku (saat itu posisinya masih jauh).' Dia mendekatinya, lalu meletakkan tangannya di atas kepalanya dan berkata: "Aku akan menceritakan apa yang saya dengar dari sabda Rasulullah ﷺ: 'Semua pelukis yang membuat gambar akan berada di neraka. Ruh akan ditiupkan kepada setiap gambar yang dibuat olehnya dan akan menghukumnya di neraka.' Dia (Ibnu 'Abbas) mengatakan: 'Jika engkau tetap ingin melakukannya, gambarlah pohon dan apa-apa yang tidak bernyawa; dan Nasr bin Ali menegaskan hal itu.'"

Meskipun para penyembah berhala pada zaman Nabi Muhammad juga menyembah pohon dan batu, Nabi Muhammad hanya menentang gambar makhluk bernyawa — manusia dan hewan, seperti diriwayatkan hadis. Selanjutnya, ornamen geometris menjadi bentuk seni yang umum dalam Islam.

Dari Said bin Abu Al-Hasan:
Ketika aku bersama Ibnu 'Abbas seorang pria datang dan berkata, "Wahai ayah dari 'Abbas! Rezekiku berasal dari pekerjaanku dan pekerjaanku adalah membuat gambar ini." Ibnu Abbas berkata, "Aku akan memberitahumu sedikit yang kudengar dari Rasulullah. Aku mendengar beliau bersabda, 'Barang siapa menggambar akan dihukum oleh Allah sampai ia meniupkan ruh di dalamnya, dan ia tidak akan pernah bisa meniupkan ruh padanya." Mendengar ini, orang itu menghela napas dan wajahnya berubah pucat. Ibnu 'Abbas berkata kepadanya, "Sayang sekali! Jika engkau tetap bekerja sebagai pelukis, aku memberi saran untuk membuat gambar pohon dan benda-benda lainnya yang tidak bernyawa."

— Hadis riwayat Muhammad al-Bukhari, Shahih Bukhari[16]

Aisyah meriwayatkan: Kami memiliki tirai berlukiskan burung. Setiap kali tamu datang, ia dapat menemukannya di depannya. Kemudian Rasulullah ﷺ bersabda kepadaku, "Gantilah, karena setiap kali aku memasuki ruangan itu aku melihatnya dan membawa ke pikiran (kesenangan) dari kehidupan duniawiku." Aisyah mengatakan: "Kami memiliki helai sutra dengan gambar dan kami memakainya." Hadis ini telah diperiksa oleh Ibnu Mutsanna tetapi dengan penambahan ini: "Rasulullah ﷺ tidak memerintahkan kami untuk merobeknya."

— Muslim bin al-Hajjaj, Shahih Muslim[17]

Aisyah meriwayatkan: Rasulullah (ﷺ) masuk rumahku, dan aku baru menutup rumahku dengan tirai berlukis. Tak lama kemudian, beliau melihat tirai tersebut lalu merobeknya. Wajah beliau memerah dan beliau pun bersabda: "Wahai Aisyah, siksaan yang paling pedih dari tangan Allah pada Hari Kiamat adalah mereka yang meniru ciptaan (Allah)" Aisyah mengatakan: "Kami merobeknya menjadi potongan-potongan dan membuat satu atau dua bantal darinya."

— Hadis riwayat Muslim bin al-Hajjaj, Shahih Muslim[18]

Nabi Muhammad juga memperingatkan pengikutnya akan perilaku sebagian orang yang membangun tempat ibadah di kuburan dan menempatkan gambar di dalamnya (seperti orang-orang Kristen)

Dari Aisyah:
Ketika Nabi sakit, istri-istrinya berbicara tentang sebuah gereja yang mereka lihat di Habasyah dan gereja itu dinamakan Mariya. Ummu Salamah dan Ummu Habibah telah ke Habasyah, dan keduanya menceritakan keindahan (gereja) dan lukisan di dalamnya. Nabi mengangkat kepalanya dan bersabda, "Mereka adalah orang-orang yang setiap kali ada orang saleh meninggal di antara mereka, mereka membuat tempat ibadah di kuburnya dan kemudian mereka membuat gambar di dalamnya. Mereka adalah seburuk-buruk makhluk di mata Allah."

— Hadis riwayat Muhammad al-Bukhari, Shahih Bukhari[19]

Nabi Muhammad menyatakan dengan sangat jelas bahwa malaikat tidak menyukai gambar.

Dari Abu Thalhah:
Rasulullah bersabda, "Malaikat (rahmat) tidak masuk ke rumah yang dipajang gambar.'" Perawi Busr menambahkan: "Lalu Zaid jatuh sakit dan kami menjenguknya. Lihatlah! Di situ ada tirai dihiasi gambar, tergantung di pintunya." Aku berkata kepada 'Ubaidillah Al-Khaulani, pembantu Maimunah, istri Nabi, "Bukankah Zaid memberitahu kita tentang hukum gambar sedari awal?" 'Ubaidillah berkata, "Apa kau tidak mendengar dia bersabda: 'Kecuali gambar ukir pada kain?'"

— Hadis riwayat Muhammad al-Bukhari, Shahih Bukhari[20]

Dari Abu Salim (ayahnya Salim):
Suatu hari Jibril berjanji untuk mengunjungi Nabi, tetapi ia menunda dan Nabi khawatir akan hal itu. Akhirnya dia keluar dan menemukan Jibril dan mengeluh kepadanya tentang kesedihannya (karena Jibril tak kunjung mengunjunginya). Jibril berkata kepadanya, "Kami menolak masuk ke tempat yang ada gambar atau anjingnya."

— Hadis riwayat Muhammad al-Bukhari, Shahih Bukhari[21]

Dari Ali bin Abi Thalib:
Nabi ﷺ bersabda: "Malaikat menolak untuk memasuki rumah yang ada gambar, anjing, atau orang yang junub."

— Hadis riwayat Abu Dawud, Sunan Abu Dawud[22]

Di sisi lain, terdapat hadis yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad mengizinkan boneka milik istri dan anak perempuannya di rumahnya sendiri.

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]

Referensi

[sunting | sunting sumber]

Bacaan lanjut

[sunting | sunting sumber]
  • Jack Goody, Representations and Contradictions: Ambivalence Towards Images, Theatre, Fiction, Relics and Sexuality, London, Blackwell Publishers, 1997. ISBN 0-631-20526-8.
  • Oleg Grabar, "Postscriptum", The Formation of Islamic Art, Universitas Yale, 1987 (p209). ISBN 0-300-03969-7
  • Terry Allen, "Aniconism and Figural Representation in Islamic Art", Five Essays on Islamic Art, Occidental (CA), Solipsist, 1988. ISBN 0-944940-00-5 [1]
  • Gilbert Beaugé & Jean-François Clément, L'image dans le monde arabe [Gambar dalam dunia Arab], Paris, CNRS Éditions, 1995, ISBN 2-271-05305-6 (Prancis)
  • Rudi Paret, Das islamische Bilderverbot und die Schia [Pelarangan menggambar dalam Islam dan Syiah], Erwin Gräf (ed.), Festschrift Werner Caskel, Leiden, 1968, 224-32. (Jerman)