Lompat ke isi

Mukim (Aceh)

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Peta Aceh Besar dan Pidie pada tahun 1898, dibuat oleh Belanda, tampak daerah Sagi 22,25, dan 26 Mukim

Mukim adalah sebuah tingkatan dalam pembagian daerah berdasarkan kekuasaan feodal Uleebalang. Sistem ini diterapkan pada zaman Kesultanan Aceh.[butuh rujukan] Mukim dianggap sebagai kesatuan masyarakat hukum dibawah Kecamatan yang terdiri atas gabungan beberapa Gampong yang mempunyai batas wilayah tertentu yang dipimpin oleh Imum Mukim dan berkedudukan langsung dibawah Camat.[1]

Latar belakang

[sunting | sunting sumber]

Mukim berasal dari bahasa Arab, dan diartikan sebagai suatu distrik yang terdapat satu mesjid yang dipakai bersama-sama untuk Sembahyang Jumat.

Menurut KBBI Mukim dapat berarti orang yang tetap tinggal di Mekkah, penduduk tetap;Tempat tinggal, kediaman; Daerah (dalam lingkungan suatu Masjid; Kawasan.[2]

Setelah Nota Kesepahaman atau lebih dikenal dengan MoU Helsinki antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka ditanda tangani pada tanggal 15 Agustus 2005, Mukim kembali digunakan dalam struktur Pemerintahan Aceh.[3] Pemimpin Mukim disebut Imum Mukim. Imum Mukim dipilih secara Musyawarah Mukim.

Pemilih yang mempunyai hak untuk memilih mukim adalah:[4]

  1. Imum Chik
  2. Geuchik Gampong (kepala desa) dalam wilayah mukim yang bersangkutan
  3. Tuha Peuët Mukim
  4. Imum Meunasah
  5. Ketua lembaga adat yang ada di mukim bersangkutan
  6. Tiga orang tokoh masyarakat perwakilan ulama, tokoh pemuda dan tokoh perempuan

Mukim terbentuk dari minimal empat gampong. Setiap mukim dipimpin oleh seorang Ulèëbalang atau seorang Imum. Beberapa mukim membentuk suatu "Nanggroë" yang dipimpin oleh Ulèëbalang.

Dalam bekas Kesultanan Aceh, di Aceh Besar sekitarnya, dibentuklah federasi mukim yang disebut Sagoë Mukim atau Sagi Mukim. Federasi ini disebut juga dengan Aceh Lhèë Sagoë. Mukim Sagoë dipimpin oleh seorang Panglima Sagoë atau Panglima Sagi.

Ketiga Sagoë Mukim itu adalah:

  1. Sagi XXV Mukim, dibentuk dari 25 mukim
  2. Sagi XXVI Mukim, dibentuk dari 26 mukim
  3. Sagi XXII Mukim, dibentuk dari 22 mukim

Sagi XXV Mukim dan Sagi XXVI Mukim daerahnya dipisahkan oleh Krueng Aceh. Sagi XXV Mukim di kiri dan berpusat di mesjid Indrapurwa Pancu.[5] Sagi XXVI Mukim dikanan dan berpusat di mesjid Ladong. Sagi XXII Mukim menguasai daerah di bagian selatan dan berpusat di mesjid Indrapuri.[6]

Sejarah Aceh Lhèè Sagoë

[sunting | sunting sumber]

Pada masa Sultanah Tajul Alam Safiatuddin memimpin,[7] Syeikh Abdur Rauf mengajukan sebuah konsepsi reformasi tata negara Kerajaan Aceh untuk merombak sistem pewarisan jabatan Sultan. Dikarenakan ada kejadian di mana Aceh pernah dipimpin oleh Sultan/Sultanah yang tidak cakap, sehingga menimbulkan konflik-konflik.
Konsepsi tersebut mengatur berbagai hal, salah satunya tentang pembagian kekuasaan Wilayah Aceh Besar menjadi tiga sagi, yang dikenal dengan Aceh Lhèè Sagoë.

Dalam konsepsi itu, Syeikh Abdur Rauf mengatur, ketiga pemimpin Sagi (Sagoë) bersama Qadhi Malikul Adil berhak mengangkat dan menurunkan sultan dari jabatannya. Sementara daerah di luar Aceh Lhèè Sagoë diberi hak otonomi yang luas, di mana kepala daerahnya bertindak sebagai sultan kecil yang tunduk kepada Sultan Aceh

Lihat juga

[sunting | sunting sumber]
  • Kawedanan, bentuk wilayah administrasi pemerintahan setingkat di Jawa
  1. ^ Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006, Bab 1 Pasal 1 ayat 20
  2. ^ Setiawan, Ebta. "Arti kata mukim – Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online". kbbi.kemdikbud.go.id. Diakses tanggal 2017-11-16. 
  3. ^ "Salinan arsip" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2017-10-31. Diakses tanggal 2017-11-16. 
  4. ^ "QANUN ACEH NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PEMILIHAN DAN PEMBERHENTIAN IMUM MUKIM DI ACEH". jdih.acehprov.go.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-11-16. Diakses tanggal 2017-11-16. 
  5. ^ http://www.acehselatankab.go.id/index.php?view=article&catid=38%3Aumum&id=209%3Asejarah-mukim-di-aceh&tmpl=component&print=1&page=&option=com_content&Itemid=83
  6. ^ "Verandah of violence: the background to the Aceh problem by Anthony Reidh, page 30-31". 
  7. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-03-07. Diakses tanggal 2011-12-01.