Lompat ke isi

Subang, Subang

Koordinat: 6°34′03″S 107°45′39″E / 6.567426°S 107.760747°E / -6.567426; 107.760747
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Subang
Subang Kota
Subang di Kabupaten Subang
Subang
Subang
Peta lokasi Kecamatan Subang
Subang di Jawa Barat
Subang
Subang
Subang (Jawa Barat)
Subang di Jawa
Subang
Subang
Subang (Jawa)
Subang di Indonesia
Subang
Subang
Subang (Indonesia)
Koordinat: 6°34′03″S 107°45′39″E / 6.567426°S 107.760747°E / -6.567426; 107.760747
Negara Indonesia
ProvinsiJawa Barat
KabupatenSubang
Pemerintahan
 • CamatTatang Supriatna, S.Sos.
Luas
 • Total60,22 km2 (23,25 sq mi)
Populasi
 (2020)[2]
 • Total137.284 jiwa
 • Kepadatan2.279,71/km2 (590,440/sq mi)
Kode Kemendagri32.13.03 Edit nilai pada Wikidata
Desa/kelurahan8
Situs webkecsubang.subang.go.id[pranala nonaktif]
Kediaman seorang pengelola perkebunan Belanda di Subang (1930-an)

Subang (atau juga dikenal: Subang Kota; Aksara Sunda Baku: ᮞᮥᮘᮀ) adalah sebuah kecamatan yang menjadi ibu kota Kabupaten Subang, Jawa Barat, Indonesia.[3][4] Kecamatan ini memiliki penduduk sebanyak 120.346 jiwa pada tahun 2010 yang meningkat menjadi 137.284 jiwa pada Sensus 2020.[2]

Topografi Subang dataran bergelombang hingga 70%, bukit bergelombang hingga 20%, berbukit hingga bergunung 10% dan ketinggian 144 meter di atas permukaan laut.

Letak Kabupaten Subang meliputi wilayah seluas 205.176,95 ha atau 6,34% dari luas Provinsi Jawa Barat. Wilayah ini terletak di antara 107º 31′ sampai dengan 107º 54′ Bujur Timur dan 6º 11′ sampai dengan 6º 49′ Lintang Selatan.[5]

Secara administratif, Kecamatan Subang terbagi atas 8 kelurahan.

Zaman prasejarah

[sunting | sunting sumber]

Bukti adanya kelompok masyarakat pada masa prasejarah di wilayah Kabupaten Subang adalah ditemukannya kapak batu di daerah Bojongkeding (Binong), Pagaden, Kalijati dan Dayeuhkolot (Sagalaherang). Temuan benda-benda prasejarah bercorak neolitikum ini menandakan bahwa saat itu di wilayah Kabupaten Subang sudah terdapat kelompok masyarakat yang hidup dari sektor pertanian dengan pola sangat sederhana. Selain itu, dalam periode prasejarah juga berkembang pula pola kebudayaan perunggu yang ditandai dengan penemuan situs di Kampung Engkel, Sagalaherang.

Pada masa berkembangnya corak kebudayaan Hindu, wilayah Kabupaten Subang dibagi menjadi 3 bagian kerajaan, yakni Tarumanagara, Galuh, dan Pajajaran. Selama ketiga kerajaan berkuasa, wilayah Kabupaten Subang diperkirakan sudah ada kontak dengan beberapa kerajaan maritim hingga di luar kawasan Nusantara.

Peninggalan berupa pecahan-pecahan keramik asal Tiongkok di Patenggeng (Kalijati) membuktikan bahwa selama abad ke-7 hingga abad ke-15 sudah terjalin kontak perdagangan dengan wilayah yang jauh. Sumber lain menyebutkan bahwa pada masa tersebut, wilayah Subang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda. Kesaksian Tome’ Pires seorang Portugis yang mengadakan perjalanan keliling Nusantara menyebutkan bahwa saat menelusuri pantai utara Jawa, kawasan sebelah timur Sungai Cimanuk hingga Banten adalah wilayah kerajaan Sunda.

Masa datangnya pengaruh kebudayaan Islam di wilayah Subang tidak terlepas dari peran seorang tokoh ulama, yaitu Wangsa Goparana yang berasal dari Talaga, Majalengka. Sekitar tahun 1530, Wangsa Goparana membuka permukiman baru di Sagalaherang dan menyebarkan agama Islam ke berbagai pelosok Subang.

Kolonialisme

[sunting | sunting sumber]

Pasca runtuhnya kerajaan Pajajaran, wilayah Subang seperti halnya wilayah lain di Pulau Jawa, menjadi rebutan berbagai kekuatan. Tercatat kerajaan Banten, Mataram, Sumedanglarang, VOC, Inggris, dan Kerajaan Belanda berupaya menanamkan pengaruh di daerah yang cocok untuk dijadikan kawasan perkebunan serta strategis untuk menjangkau Batavia. Pada saat konflik Mataram-VOC, wilayah Kabupaten Subang, terutama di kawasan utara, dijadikan jalur logistik bagi pasukan Sultan Agung yang akan menyerang Batavia. Saat itulah terjadi percampuran budaya antara Jawa dengan Sunda, karena banyak tentara Sultan Agung yang urung kembali ke Mataram dan menetap di wilayah Subang.

Tahun 1771, saat berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sumedanglarang, di Subang, tepatnya di Pagaden, Pamanukan, dan Ciasem tercatat seorang bupati yang memerintah secara turun-temurun. Saat pemerintahan Sir Thomas Stamford Raffles (1811-1816) konsesi penguasaan lahan wilayah Subang diberikan kepada swasta Eropa. Tahun 1812 tercatat sebagai awal kepemilikan lahan oleh tuan-tuan tanah yang selanjutnya membentuk perusahaan perkebunan Pamanoekan en Tjiasemlanden (P & T Lands). Penguasaan lahan yang luas ini bertahan sekalipun kekuasaan sudah beralih ke tangan pemerintah Kerajaan Belanda. Lahan yang dikuasai penguasa perkebunan saat itu mencapai 212.900 ha. dengan hak eigendom. Untuk melaksanakan pemerintahan di daerah ini, pemerintah Belanda membentuk distrik-distrik yang membawahi onderdistrik. Saat itu, wilayah Subang berada di bawah pimpinan seorang kontrilor BB (bienenlandsch bestuur) yang berkedudukan di Subang.

Nasionalisme

[sunting | sunting sumber]

Tidak banyak catatan sejarah pergerakan pada awal abad ke-20 di Kabupaten Subang. Namun demikian, setelah Kongres Sarekat Islam di Bandung tahun 1916, di Subang berdiri cabang organisasi Sarekat Islam di Desa Pringkasap (Pabuaran) dan di Sukamandi (Ciasem). Selanjutnya, pada tahun 1928 berdiri Paguyuban Pasundan yang diketuai Darmodiharjo (karyawan kantor pos), dengan sekretarisnya Odeng Jayawisastra (karyawan P & T Lands). Tahun 1930, Odeng Jayawisastra dan rekan-rekannya mengadakan mogok massal di percetakan P & T Lands yang mengakibatkan aktivitas percetakan tersebut lumpuh untuk beberapa saat. Akibatnya Odeng Jayawisastra dipecat sebagai karyawan P & T Lands. Selanjutnya Odeng Jayawisastra dan Tohari mendirikan cabang Partai Nasional Indonesia yang berkedudukan di Subang. Sementara itu, Darmodiharjo tahun 1935 mendirikan cabang Nahdlatul Ulama yang diikuti oleh cabang Parindra dan Partindo di Subang. Saat Gabungan Politik Indonesia (GAPI) di Jakarta menuntut Indonesia berparlemen, di Bioskop Sukamandi digelar rapat akbar GAPI Cabang Subang untuk mengemukakan tuntutan serupa dengan GAPI Pusat.

Zaman penjajahan Jepang

[sunting | sunting sumber]

Pendaratan tentara angkatan laut Jepang di pantai Eretan Timur tanggal 1 Maret 1942 berlanjut dengan direbutnya pangkalan udara Kalijati. Direbutnya pangkalan ini menjadi catatan tersendiri bagi sejarah pemerintahan Hindia Belanda, karena tak lama kemudian terjadi kapitulasi dari tentara Hindia Belanda kepada tentara Jepang. Dengan demikian, Hindia Belanda di Nusantara serta merta jatuh ke tangan tentara pendudukan Jepang. Para pejuang pada masa pendudukan Belanda melanjutkan perjuangan melalui gerakan bawah tanah. Pada masa pendudukan Jepang ini Sukandi (guru Landschbouw), R. Kartawiguna, dan Sasmita ditangkap dan dibunuh tentara Jepang.

Kemerdekaan

[sunting | sunting sumber]

Proklamasi Kemerdekaan RI di Jakarta berimbas pada didirikannya berbagai badan perjuangan di Subang, antara lain Badan Keamanan Rakyat (BKR), API, Pesindo, Lasykar Uruh, dan lain-lain, banyak di antara anggota badan perjuangan ini yang kemudian menjadi anggota TNI. Saat tentara KNIL kembali menduduki Bandung, para pejuang di Subang menghadapinya melalui dua front, yakni front selatan (Lembang) dan front barat (Gunung Putri dan Bekasi).

Tahun 1946, Karesidenan Jakarta berkedudukan di Subang. Pemilihan wilayah ini tentunya didasarkan atas pertimbangan strategi perjuangan. Residen pertama adalah Sewaka yang kemudian menjadi Gubernur Jawa Barat. Kemudian Kusnaeni menggantikannya. Bulan Desember 1946 diangkat Kosasih Purwanegara, tanpa pencabutan Kusnaeni dari jabatannya. Tak lama kemudian diangkat pula Mukmin sebagai wakil residen. Pada masa gerilya selama Agresi Militer Belanda I, residen tak pernah jauh meninggalkan Subang, sesuai dengan garis komando pusat. Bersama para pejuang, saat itu residen bermukim di daerah Songgom, Surian, dan Cimenteng. Tanggal 26 Oktober 1947 Residen Kosasih Purwanagara meninggalkan Subang dan pejabat Residen Mukmin yang meninggalkan Purwakarta tanggal 6 Februari 1948 tidak pernah mengirim berita ke wilayah perjuangannya.

Hal ini mendorong diadakannya rapat pada tanggal 5 April 1948 di Cimanggu, Desa Cimenteng. Di bawah pimpinan Karlan, rapat memutuskan:

  1. Wakil Residen Mukmin ditunjuk menjadi Residen yang berkedudukan di daerah gerilya Purwakarta,
  2. Wilayah Karawang Timur menjadi Kabupaten Karawang Timur dengan bupati pertamanya Danta Gandawikarma,
  3. Wilayah Karawang Barat menjadi Kabupaten Karawang Barat dengan bupati pertamanya Syafei.

Wilayah Kabupaten Karawang Timur adalah wilayah Kabupaten Subang dan Kabupaten Purwakarta sekarang. Saat itu, kedua wilayah tersebut bernama Kabupaten Purwakarta dengan ibu kotanya Subang. Penetapan nama Kabupaten Karawang Timur pada tanggal 5 April 1948 dijadikan momentum untuk kelahiran Kabupaten Subang yang kemudian ditetapkan melalui Keputusan DPRD No.: 01/SK/DPRD/1977.

Batas wilayah

[sunting | sunting sumber]

Kecamatan Subang berbatasan dengan:

Utara Kecamatan Pagaden
Timur Kecamatan Cibogo
Selatan Kecamatan Cijambe
Barat Kecamatan Dawuan dan Kecamatan Kalijati

Subang mempunyai batas antara iklim hutan hujan tropis (Af) dan iklim muson tropis (Am) dengan curah hujan 60 milimeter (2,4 in) pada bulan terkering, Agustus. Curah hujan sedang dari bulan Juni sampai September dan curah hujan lebat hingga sangat lebat dari bulan Oktober sampai Mei.

Data iklim Subang, Subang
Bulan Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Tahun
Rata-rata tertinggi °C (°F) 30.2
(86.4)
30.3
(86.5)
30.8
(87.4)
31.5
(88.7)
31.8
(89.2)
31.7
(89.1)
31.8
(89.2)
32.5
(90.5)
33.1
(91.6)
33.2
(91.8)
32.0
(89.6)
31.1
(88)
31.67
(89)
Rata-rata harian °C (°F) 26.1
(79)
26.2
(79.2)
26.4
(79.5)
26.9
(80.4)
27.0
(80.6)
26.5
(79.7)
26.4
(79.5)
26.8
(80.2)
27.2
(81)
27.4
(81.3)
27.0
(80.6)
26.6
(79.9)
26.71
(80.08)
Rata-rata terendah °C (°F) 22.1
(71.8)
22.1
(71.8)
22.1
(71.8)
22.3
(72.1)
22.2
(72)
21.4
(70.5)
21.1
(70)
21.1
(70)
21.3
(70.3)
21.7
(71.1)
22.1
(71.8)
22.2
(72)
21.81
(71.27)
Curah hujan mm (inci) 468
(18.43)
398
(15.67)
411
(16.18)
325
(12.8)
237
(9.33)
118
(4.65)
94
(3.7)
60
(2.36)
70
(2.76)
166
(6.54)
304
(11.97)
398
(15.67)
3.049
(120,06)
Sumber: Climate-Data.org[6]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Badan Pusat Statistik, Jakarta, 2023.
  2. ^ a b Badan Pusat Statistik, Jakarta, 2021.
  3. ^ "Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 137 Tahun 2017 tentang Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan". Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 29 Desember 2018. Diakses tanggal 7 Juli 2023. 
  4. ^ "Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 72 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Permendagri nomor 137 Tahun 2017 tentang Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan". Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 25 Oktober 2019. Diakses tanggal 7 Juli 2023. 
  5. ^ "Website Resmi Pemerintah Daerah Subang". 
  6. ^ "Climate: Subang". Climate-Data.org. Diakses tanggal 12 November 2020. 

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]