Hadis

tanpa link
tanpa foto
tanpa Kategori
tanpa infobox
tanpa navbox
tanpa alih
tanpa referensi
Dari wikishia

Hadis (bahasa Arab:الحديث) adalah perkataan yang berasal dari ucapan, perbuatan, atau persetujuan Nabi Islam saw dan para maksum lainnya as. Hadis, setelah Al-Quran, merupakan sumber kedua dalam memahami ajaran-ajaran agama Islam dan memainkan peran penting dalam pemahaman umat Islam terhadap agama serta dalam pembentukan ilmu-ilmu Islam seperti fiqih, ushul, ilmu kalam, dan tafsir.

Pada awalnya, proses pencatatan dan periwayatan hadis dilakukan secara lisan. Setelah itu, hadis dilakukan dengan cara ditulis dalam lembaran. Penulisan hadis dianggap sebagai faktor terpenting dalam menjaga dan meriwayatkan hadis-hadis para maksum as. Penulisan hadis sempat dilarang pada masa dua khalifah pertama karena kebijakan larangan penulisan hadis; namun seratus tahun kemudian, atas perintah Umar bin Abdul Aziz, khalifah kedelapan dinasti Umayyah, larangan ini dicabut secara resmi dan penulisan hadis pun mulai berkembang.

Namun, menurut para ahli hadis Syiah, orang-orang Syiah telah memulai mencatat hadis sejak awal berdasarkan perintah para imam as, dan mereka menyatakan bahwa kitab hadis pertama yang ditulis dalam Islam adalah Kitab Ali atau al-Jâmi'ah. Tahap-tahap kodifikasi hadis Syiah meliputi pencatatan hadis, pengklasifikasian dan pengaturan hadis, kemudian pengumpulan hadis-hadis tersebut dalam Kumpulan kitab-kitab hadis.

Sumber-sumber hadis terpenting atau kumpulan riwayat Syiah Imamiyah adalah: al-Kâfi yang ditulis oleh Kulaini (W. 329 H), Man La Yahdhuruhu Al-Faqîh yang ditulis oleh Syaikh Shaduq (305–381 H), serta Tahdzib Al-Ahkam dan Al-Istibshar yang ditulis oleh Syaikh Thusi (385–460 H). Buku-buku ini dikenal sebagai Kutub Arba'ah (empat kitab hadis utama). Kitab-kitab lain yang juga dianggap sebagai kumpulan hadis penting Syiah dan ditulis pada abad-abad berikutnya adalah: al-Wâfi yang ditulis oleh Faidh Kâsyâni (1007–1091 H), Bihâr al-Anwâr yang ditulis oleh Allamah Majlisi (1037–1110 H), dan Wasail al-Syiah yang ditulis oleh Hur Amili (1033–1104 H).

Ahlusunah mulai mengumpulkan hadis-hadis Nabi Saw sejak pertengahan abad kedua Hijriah. Pada abad ketiga Hijriah, mereka menulis Shihâh Sittah (enam kitab hadis sahih) yang merupakan kumpulan riwayat paling terkenal di kalangan Ahlusunah: Shahih Bukhari (194–256 H), Shahih Muslim (204–261 H), Jami’ Tirmidzi, Sunan Abu Dawud, Sunan Nasâ’i, dan Sunan Ibnu Majah.

Hadis memiliki berbagai macam jenis, termasuk khabar wâhid dan hadis mutawatir. Khabar wahid sendiri memiliki beberapa jenis seperti sahih, hasan, muwatstsaq, dan dha'if. Para ulama Muslim secara umum tidak menerima setiap hadis begitu saja. Mereka menganggap hadis mutawatir dan khabar wâhid yang disertai dengan qarinah (keterangan dan bukti penyerta) yang membawa kepastian sebagai sumber hukum yang sah. Namun, mengenai khabar wâhid yang tidak membawa kepastian, terdapat perbedaan pendapat. Mayoritas ulama fikih Syiah dan Sunni menerima khabar wahid tersebut jika diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya (tsiqah). Untuk menilai keabsahan hadis dan mengklasifikasikan serta memahaminya, terdapat beberapa ilmu yang dibutuhkan, seperti ilmu rijal, dirayah al-hadith, dan fiqh al-hadith.

Hadis juga memiliki pengaruh besar terhadap sastra dan seni. Dikatakan bahwa hadis banyak digunakan dalam puisi-puisi para penyair. Selain itu, hadis juga digunakan dalam seni seperti lukisan dan kaligrafi.

Pentingnya Hadis bagi Umat Muslim

Hadis merupakan perkataan yang menceritakan ucapan, perbuatan, atau persetujuan dari seorang maksum [catatan 1], [1] seperti riwayat-riwayat yang berasal dari Nabi Saw, dan menurut keyakinan Syiah, para Imam as juga menjadi sumber riwayat -riwayat tersebut. [2] Berdasarkan tulisan - tulisan para ulama Muslim, hadis juga disebut sebagai khabar, [3] riwayat, [4] dan atsar. [5]

Sumber Kedua dalam Memahami Agama

Menurut Abdul Hâdi Fadhli (1314–1392 H), setelah Al-Quran, hadis merupakan sumber kedua bagi umat Muslim dalam memahami syariat. Selain itu, dalam hal kuantitas, hadis lebih luas cakupannya dibandingkan Al-Quran dan mencakup lebih banyak pengajaran agama. Oleh karena itu, mempelajari ilmu hadis adalah landasan utama dalam berijtihad dan menyimpulkan hukum-hukum syariat. [6]

Ketergantungan Ilmu Agama pada Hadis

Kazem Modir Shanachi (wafat: 1381 H), seorang ahli hadis, dalam pengantar buku Ilmu al-Hadits menulis bahwa semua ilmu yang muncul dalam Islam didasarkan pada hadis dan tanpa hadis ilmu-ilmu tersebut tidak akan mencapai kesempurnaan. Ilmu tafsir pada awalnya hanya berisi riwayat. Fikih dan ushul selalu berhubungan dengan hadis, dan dalam ilmu kalam serta debat antar kelompok dan mazhab Islam, hadis Nabi Saw menjadi penentu kebenaran atau kesalahan suatu pemikiran. Sejarah dan sirah (biografi) juga tidak lain hanyalah riwayat-riwayat yang dinukil dengan rantai sanad. Dalam sastra, ucapan-ucapan Nabi saw juga dijadikan sebagai rujukan penting. [7]

Sejarah Hadis

Pelarangan Penulisan Hadis

Larangan menulis hadis merujuk pada pelarangan penulisan dan penyampaian hadis Nabi Saw setelah wafatnya Nabi Saw yang dimulai pada masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar bin Khattab.[8] Larangan ini berlangsung selama seratus tahun hingga Umar bin Abdul Aziz, khalifah kedelapan dari Dinasti Umayyah, memerintahkan Abu Bakar bin Hazm, gubernur Madinah, untuk menuliskan hadis Nabi Saw karena khawatir ilmu dan para ahlinya akan punah. [9]

Para ulama Ahlusunah menyebutkan bahwa dua khalifah pertama melarang penulisan dan penyampaian hadis karena khawatir terjadi pencampuran antara hadis dan Al-Quran, [10] untuk mencegah perselisihan di kalangan umat Islam, [11] serta untuk mencegah orang-orang sibuk dengan sesuatu selain Al-Quran. [12] Namun, menurut Sayid Ali Syahrastâni, sebagian besar ulama Syiah percaya bahwa alasan pelarangan hadis adalah untuk mencegah penyebaran sabda Nabi Saw mengenai keutamaan Imam Ali as dan keturunannya serta kepemimpinan mereka. [13] Syiah percaya bahwa larangan penulisan hadis menyebabkan terjadinya banyak pemalsuan hadis, [14] hilangnya teks-teks hadis utama, [15] munculnya berbagai mazhab yang berbeda -beda, [16]  dan perubahan pada sunnah Nabi Islam.

Penulisan Hadis

Menurut para ahli hadis, pencatatan dan penyampaian hadis pada awalnya dilakukan secara lisan, kemudian dengan bentuk tulisan. [18] Mereka menganggap penulisan riwayat Nabi Saw dan Ahlul Bait as sebagai faktor penting dalam menjaga keberlangsungan riwayat Islam. [19] Nuruddin ‘Itr, seorang ahli hadis dari Ahlusunah, menulis bahwa penulisan hadis adalah sarana terpenting untuk menjaga hadis dan menyampaikannya kepada generasi mendatang. [20]

Berdasarkan riwayat, para imam Syiah merekomendasikan dilakukannya penulisan hadis. [21] Menurut Sayyid Mohsen Amin, penulis buku A’yân al-Syiah, kaum Syiah dari masa Imam Ali as hingga Imam Askari as telah menulis 6.600 buku hadis. [22] Syahid Tsani, karena kurangnya buku-buku agama pada masanya, menganggap penulisan hadis sebagai kewajiban pribadi (fardhu ‘ain). [23]

Sejarah Penulisan Hadis di Kalangan Syiah

Menurut Majid Ma’ârif dalam bukunya Târikh ‘Umumi Hadits, hadis Syiah mengalami banyak pasang surut di sepanjang sejarah. Dia membagi perubahan ini menjadi dua periode: periode awal dan periode kedua . Periode awal mencakup lima abad pertama Hijriah. Pada periode ini, para imam Syiah mengeluarkan hadis-hadis dan para sahabat mereka menuliskannya. Para ulama berikutnya kemudian mengklasifikasikan hadis-hadis ini hingga "Tiga Ahli Hadis Pertama" yaitu Kulaini (wafat 329 H), Syaikh Shaduq (305-381 H), dan Syaikh Thusi (385-460 H) mengumpulkannya dalam empat kitab utama (al-kutub al-arba’ah). [24]

Periode kedua dimulai dari awal abad keenam hingga zaman kontemporer, di mana munculnya majâmi’ hadith (kumpulan hadis) pelengkap Syiah. Periode ini sebenarnya adalah fase klasifikasi, penyempurnaan, dan analisis karya-karya dari periode sebelumnya. [25]

Periode Awal

Periode awal ini dibagi menjadi empat tahap:

1. Masa Imam Ali as hingga Imam Sajjad as (Abad Pertama)

Pada periode ini, karena adanya kebijakan pelarangan hadis dan tekanan politik terhadap kaum Syiah serta praktik taqiyah oleh para imam as, hadis - hadis dari para Imam tidak terlalu berkembang pesat. [26] Namun, beberapa buku ditulis pada masa ini, termasuk Kitab Ali, [27] yang dianggap sebagai kitab hadis pertama dalam tradisi Syiah. Nahjul Balaghah, [28] yang pada masa itu dikenal dengan judul "Khuthab Amiril Mukminin" atau "Khuthab Ali" yang sebelumnya ada di tangan orang – orang Syiah serta Shahîfah Sajjâdiyah adalah buku hadis lain dari periode ini. [30]

2. Masa Imam Baqir dan Imam Shadiq (Abad Kedua)

Periode ini sangat penting dalam pembentukan hadis Syiah dan menghasilkan karya-karya hadis yang berharga. [31] Ini adalah masa pengkodifikasian ilmu dan berakhirnya pelarangan penulisan hadis. Imam Baqir as dan Imam Shadiq as memanfaatkan kesempatan ini dengan mengadakan majelis umum, mengajar di rumah, mengadakan pertemuan, debat, dan sesi pengajaran khusus fikih dan hadis, yang sangat mempengaruhi perkembangan fikih dan hadis Syiah. [32] Salah satu hasil penting dari periode ini adalah kodifikasi 400 hadis utama yang dikenal sebagai al-ushul al-arba’ami’ah. [33] Ashl adalah kitab yang dimana penulisnya secara langsung atau melalui satu perantara mendengarnya dan menuliskannya dari Maksumin as. [34]

3. Masa Imam Kazdim as hingga Akhir Ghaibah Sughra

Pada periode ini, para khalifah membatasi gerak para Imam Syiah dan juga mereka menekan kaum Syiah. [35] Karena itu, hadis yang dikeluarkan oleh para imam as lebih sedikit dibandingkan dengan periode sebelumnya.[36] Pada periode ini, perhatian lebih diberikan pada pengaturan kitab-kitab hadis dari periode sebelumnya. Para ahli hadis menyusun dan mengklasifikasikan riwayat-riwayat yang telah ada berdasarkan topik-topik fikih dan menyusun kitab-kitab hadis yang lebih rinci. [37]

4. Masa Kemunculan Kumpulan Hadis

Pada masa ini, karena aktifnya pengajaran hadis di lembaga-lembaga ilmiah, muncul kebutuhan untuk menulis kitab-kitab hadis yang lebih komprehensif. Hal  ini menyebabkan munculnya kumpulan-kumpulan hadis yang mencakup berbagai topik agama, termasuk fikih dan akidah, seperti Al-Kafi karya Kulaini, dan beberapa yang hanya fokus pada fikih atau akidah seperti Tauhid, ‘Uyūn Akhbār ar-Ridā, dan Kamaluddin oleh Syaikh Shaduq serta Al-Ghaybah dan Al-Âmâli oleh Syaikh Thusi. [38] Kutub Arba’ah hadis Syiah ditulis pada periode ini. [39] Buku-buku yang merupakan kumpulan riwayat terpenting dalam Syiah Imamiyah, adalah Al-Kafi oleh Kulaini (wafat 329 H), Man La Yahdhuruhu Al-Faqih oleh Syaikh Shaduq (305-381 H), serta Tahdzib al-Ahkam dan Al-Istibshar oleh Syaikh Thusi (385-460 H). [40]

Periode Kemudian

Awal periode ini, dari abad keenam hingga abad kesebelas Hijriah, mengalami kemunduran dalam penulisan kitab-kitab hadis. Namun, sejak abad kesebelas, dengan munculnya Faidh Kâshâni (1007-1091 H), Allamah Majlisi (1037-1110 H), dan Hur Amili (1033-1104 H), kodifikasi kitab-kitab hadis kembali berkembang. Kumpulan hadis terpenting dari periode ini adalah Al-Wâfi karya Faidh Kashani, Bihâr al-Anwâr oleh Allamah Majlisi, dan Wasâil al-Syiah oleh Hur Amili. [41] Pada masa kontemporer, yakni dalam seratus tahun terakhir, beberapa ulama telah mengumpulkan, mengklasifikasikan, dan memilih riwayat-riwayat sahih. Kitab-kitab terpenting dari periode ini adalah Mustadrak al-Wasâil, Safînah al-Bihâr, Jâmi' Ahâdîts ash-Syi’ah, Âtsâr ash-Shâdiqîn, Mîzân al-Hikmah, dan Al-Hayât. [42]

Sejarah Penulisan Hadis di Kalangan Ahlusunah

Abdulhadi Fadhli membagi sejarah hadis Ahlusunah menjadi tiga tahap:

  •  Tahap Pengumpulan Hadis: Dimulai dari pertengahan abad kedua Hijriah. Pada masa ini, ulama-ulama besar Ahlusunah mengumpulkan riwayat-riwayat serta fatwa-fatwa sahabat dan tabi'in dalam kitab-kitab mereka. Al-Muwaththa karya Malik bin Anas ditulis pada masa ini. [43]
  •  Tahap Penulisan Musnad: Musnad adalah kitab-kitab yang hanya berisi hadis-hadis Nabi Saw. [44] Pada akhir abad kedua, beberapa ulama Ahlusunah mulai menulis musnad, seperti Musnad Ahmad bin Hanbal. [45]
  • Tahap Penulisan Shahih: Shahih adalah kitab yang hanya memuat hadis-hadis yang penulisnya menganggap sahih dalam kaitannya dengan hadis dari Nabi Saw. [46] Orang pertama yang menulis kitab dalam bidang ini adalah Muhammad bin Ismail al-Bukhari (194–256 H). Shahih Bukhari dan Shahih Muslim adalah kitab-kitab hadis dari periode ini. [47]

Metode Penulisan Hadis

Pembagian Hadis

Hadis dibagi ke dalam beberapa kategori untuk menilai kehujahan atau validitasnya. Salah satu pembagian utama adalah antara hadis ahad dan mutawatir. Hadis ahad adalah hadis yang jumlah perawinya tidak cukup banyak untuk mencapai keyakinan penuh bahwa hadis tersebut benar-benar berasal dari Imam Maksum as. [48] Ini berlawanan dengan hadis mutawatir. Hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh begitu banyak perawi sehingga menimbulkan keyakinan pasti bahwa hadis tersebut berasal dari Imam Maksum as. [49]

Hadis ahad terbagi dalam berbagai kategori. [50] Salah satu kategorinya didasarkan dengan karakteristik perawinya sehingga hadis ahad terbagi menjadi empat bentuk utama: sahih, hasan, muwaththaq, dan dha'if . [51]

Dalam pembagian lain, berdasarkan tingkat yaqini (keyakinan) atau dzani (dugaan), hadis ahad terbagi menjadi dua kategori: pertama, hadis yang disertai bukti-bukti (qara'in) yang membuat seseorang yakin bahwa hadis tersebut berasal dari Imam Maksum as, dan kedua, hadis yang tidak disertai bukti – bukti tersebut. Di antara bukti-bukti yang menurut keyakinan sebagian dari ulama Syiah yang dapat mempengaruhi hadis ahad menjadi hadis yang yaqini  adalah: kesesuaiannya dengan akal, kesesuaiannya dengan Al-Qur'an, dan kesesuaiannya dengan ijma' umat Islam atau mazhab Syiah. [53]

Hadis mutawatir juga dibagi menjadi dua jenis lafdzi dan maknawi. Mutawatir lafdzi adalah hadis yang diriwayatkan dengan kata-kata dan ungkapan yang sama, seperti hadis “Man kuntu mawlaahu fa hadza Aliyyun mawlaahu” (Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya). Sedangkan mutawatir maknawi adalah hadis yang meskipun diriwayatkan dengan ungkapan dan kata-kata yang berbeda, [54] tetap memiliki makna yang sama . Misalnya, hadis-hadis yang berkaitan dengan kemunculan Imam Zaman as, dimana lafadznya memiliki ungkapan yang berbeda-beda dan tidak mencapai derajat mutawatir dalam kata-kata, tetapi maknanya yang berkaitan dengan kemunculan Imam Mahdi as tetap mutawatir. [55]

Verifikasi Hadis

Pembahasan mengenai kehujahan dan validitas hadis adalah bagian dari pembahasan ilmu ushul fikih. [56] Menurut Abdul Hadi Fadhli, para ulama ushul sepakat bahwa hadis mutawatir bersifat meyakinkan dan tidak ada perselisihan tentang kehujahannya. [57] Para ahli ushul juga menerima kehujahan hadis ahad yang disertai dengan bukti-bukti yang memberikan keyakinan, dan tidak ada keraguan tentang hal ini. [58] Namun, mengenai hadis ahad yang tidak disertai bukti-bukti yang memberikan keyakinan, terdapat banyak perbedaan pendapat. [59]

Sebagian ulama fikih terdahulu dari Syiah, seperti Sayyid Murtadha dan Ibnu Idris, tidak menganggap hadis seperti itu sebagai hujah. [60] Namun, menurut Syaikh Anshari, mayoritas ulama fikih Syiah menganggap hadis ahad secara umum sebagai hujah, [61] meskipun mereka menetapkan kriteria tertentu untuk menerimanya, dan terdapat perbedaan pandangan mengenai kriteria-kriteria ini. [62]

Sebagian ulama Akhbari menyatakan bahwa semua hadis ahad yang terdapat dalam kitab-kitab hadis Syiah yang muktabar adalah valid. [63] Selain itu, ada yang menambahkan syarat bahwa hadis tersebut tidak boleh bertentangan dengan pendapat yang masyhur. [64] Beberapa ulama lainnya berpendapat bahwa hadis yang diterima adalah hadis yang perawinya adil. [64] Menurut Abdul Hadi Fadli, pandangan mayoritas ulama Syiah adalah bahwa hadis ahad dapat dijadikan hujah asalkan rantai perawinya dapat dipercaya (tsiqah). [65]

Pandangan Ahlusunah

Menurut Syaukani, seorang ulama Sunni (wafat: 1250 H), para ulama Ahlusunah juga sepakat bahwa hadis mutawatir adalah sumber ilmu yang meyakinkan dan tidak ada keraguan tentang kehujahannya. [67] Namun, mengenai hadis ahad yang sahih, [68] terdapat perbedaan pendapat. Sebagian besar ulama, termasuk Ahmad bin Hanbal, [69] menganggapnya sebagai hadis yang valid. Namun, ulama lain seperti Nidzam berpendapat bahwa hadis ahad tidak dapat dijadikan hujah kecuali jika ada bukti di luar hadis itu sendiri yang menunjukkan kebenarannya. [71]

Isnad

Yang dimaksud dengan isnad adalah penyebutan seluruh rangkaian perawi hadis hingga sampai kepada imam maksum  as; dengan kata lain, sanad hadis disebutkan. [72] Isnad atau penyebutan sanad hadis sangatlah penting karena merupakan salah satu alat untuk mengetahui validitas dan keabsahan hadis. [73] Dikatakan bahwa karena alasan ini, para imam Syiah serta ulama Ahlusunah selalu menekankan pentingnya mencatat sanad hadis. [73]

Pemalsuan Hadis

Pemalsuan hadis berarti menciptakan sebuah hadis dan mengaitkannya dengan Nabi Muhammad Saw atau Imam Maksum as. [75] Hadis yang dibuat dengan cara ini disebut juga sebagai hadis maudhu' (hadis palsu). [76] Dikatakan bahwa pemalsuan hadis sering terjadi dalam hal-hal yang berkaitan dengan akidah, etika, sejarah, pengobatan, keutamaan (fadhilah), dan doa-doa. [77]

Pemalsuan hadis memiliki berbagai metode: kadang-kadang seluruh  matan hadis dibuat, kadang-kadang beberapa kata ditambahkan ke dalam hadis dari Nabi Saw atau para Imam as, dan terkadang juga kata-kata dalam hadis diubah. [78]

Salah satu contoh pemalsuan hadis adalah ketika Mansur Dawaniqi, khalifah Abbasiyah, memanipulasi sebuah hadis dari Nabi Saw yang mengatakan, "Allah akan membangkitkan seorang laki-laki dari keluargaku yang namanya seperti namaku." [79] Mansur menambahkan kalimat, "dan nama ayahnya adalah nama ayahku" untuk menyamakan hadis itu dengan putranya, Muhammad, karena nama Mansur sama dengan nama ayah Nabi, Abdullah. [80]

Sebagian orang percaya bahwa pemalsuan hadis sudah ada sejak masa kehidupan Nabi Saw. [81] Ada juga yang berpendapat bahwa pemalsuan hadis dimulai setelah masa Khalifah Rasyidin, yaitu setelah syahidnya Imam Ali as. Pada masa ini, muncul berbagai sekte yang membuat hadis palsu untuk mendukung keyakinan mereka. [82]

Dikatakan bahwa pada masa pemerintahan Muawiyah, pemalsuan hadis semakin meluas. [83] Ibn Abi al-Hadid, seorang pensyarah kitab Nahjul Balaghah pada abad ke-7, menulis bahwa Muawiyah mendukung para perawi yang membuat hadis palsu tentang keutamaan Utsman dan sahabat-sahabat lainnya, serta mencela Imam Ali as. [84]

Kitab dan Kumpulan Hadis Penting

Kumpulan hadis (jawaami'ul-hadits) secara umum mengacu pada buku-buku hadis yang mencakup semua topik agama seperti akidah, hukum, sejarah, dan tafsir. [85] Dalam definisi lain,  kumpulan tersebut mencakup semua atau sebagian besar isu dalam satu topik tertentu. [86]

Kumpulan hadis terpenting dalam Syiah adalah sebagai berikut: Al-Kâfi yang ditulis oleh Kulaini, Man La Yahdhuruhu al-Faqîh oleh Syaikh Shaduq, Tahzib al-Ahkâm dan Al-Istibsâr oleh Syaikh Tusi. [87] Buku-buku ini dikenal sebagai Kutub Arba'ah atau Usul Arba'ah (empat kitab utama). [88] Kumpulan hadis Syiah lainnya yang terkenal termasuk Al-Wâfi karya Faydh Kâsyâni, Bihâr al-Anwâr karya Allamah Majlisi, Wasâ'il al-Shi'ah oleh Hur Amili, [89] Mustadrak al-Wasâ'il karya Mirza Hussein Nuri, Mizan al-Hikmah oleh Muhammad Rey Syahri dan rekan-rekannya, Jami' Ahâdits al-Shi'ah yang disusun oleh sejumlah ulama, Al-Hayat oleh Muhammad Reza Hakimi, dan Asar al-Sadiqin karya Sadeq Ehsanbakhsh. [90]

Kitab-kitab hadis paling terkenal dan muktabar di kalangan Sunni ada delapan kitab, yakni: Muwattha’ Malik, Musnad Ahmad bin Hanbal, Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Jami' Tirmidhi, Sunan Abu Dawud, Sunan Nasa’i, dan Sunan Ibn Majah. [91] Enam kitab terakhir ini dikenal sebagai Al-Shihah al-Sittah (enam kitab shahih). [92]

Ilmu Hadis

Dikatakan bahwa sejak abad-abad pertama Islam, berbagai cabang ilmu telah berkembang untuk mempelajari hadis dari segi teks dan sanadnya. [93] Beberapa ilmu tersebut antara lain sebagai berikut:

  • Ilmu Rijal: Mengenal para perawi dan meneliti sifat-sifat mereka, seperti keadilan dan keimanan, yang berperan pada diterimanya atau ditolak sebuah hadis karena mereka. [94]
  • Dirayah al-Hadits atau Musthalah al-Hadits: Membahas tentang berbagai jenis hadis, istilah-istilah terkait sanad dan teks hadis, cara-cara dan syarat-syarat menerima hadis (mendengar dan menerima hadis), serta tata cara menyampaikan hadis. [95]
  • Mukhtalaf al-Hadits: Mempelajari hadis-hadis yang saling bertentangan dan cara-cara untuk mengatasi pertentangan tersebut. [96]
    • Nasikh dan Mansukh: Membahas hadis-hadis yang bertentangan di mana tidak ada cara untuk menyelesaikan perbedaannya. Dalam hal ini, hadis yang lebih awal disebut sebagai "mansukh" (terhapus) dan hadis yang lebih belakangan disebut sebagai "nasikh" (menghapus). [97]
  • Fiqh al-Hadits: Mempelajari prinsip-prinsip dan metode untuk memahami teks-teks hadis. [98]

Pengaruh Hadis terhadap Seni dan Sastra

Menurut Kazem Modir Shanechi, hadis memiliki pengaruh besar dalam memperkaya dan memperluas sastra Persia. Sangat jarang ditemukan seorang penyair berbahasa Persia yang tidak menggunakan hadis dalam karya-karyanya. Ungkapan sastra yang merujuk pada hadis dianggap sebagai bagian terbaik bagi sastra Persia dan memiliki nilai edukatif serta moral yang tinggi. [99]

Hadis - hadis juga telah berbaur dalam karya penyair terkenal seperti Naser Khosrow, Sanai, Attar Nishaburi, Khaqani, Nezami, Rumi, dan Saadi. Karya-karya mereka tidak bisa sepenuhnya dipahami tanpa pengetahuan tentang hadis. [100]

Sebagai contoh, Sanai dalam syair berikut merujuk pada dua hadis, yaitu "Ana Madînatul ‘Ilm" (Aku adalah kota ilmu) dan "Hadis Tsaqalain" (dua pusaka berharga):

“Karena engkau tahu bahwa pintu kota ilmu adalah Haidar,

Tidaklah pantas kecuali Haidar yang menjadi pemimpin dan penguasa...

Hanya Kitab Allah dan Ahlul Bait yang diwariskan Ahmad,

Kenangan berharga yang tetap ada hingga hari kiamat.” [101]

Selain itu, Rumi juga mengutip hadis "Man Kuntu Mawlâhu Fahadza Aliyyun Mawlâhu" dalam syairnya sebagai berikut:

“Oleh sebab itu, Nabi dengan penuh ijtihad,

menyebut dirinya dan juga Ali sebagai pemimpin.

Bersabda, barang siapa aku menjadi pemimpin dan sahabatnya,

maka sepupuku Ali adalah pemimpinnya juga.” [102]

Sementara itu, Saadi mengacu pada hadis "La Fata Illa Ali" (Tiada pemuda kecuali Ali) dalam syairnya:

“Siapa yang punya kekuatan dan keberanian untuk menggambarkan Ali?

Tuhan sendiri yang memuji keutamaannya dengan menyebut ‘Hal Ataa’.

Pahlawan yang mengalahkan benteng Khaibar,

dengan lengan ‘La Fata’, dia mematahkan kunci dengan kekuatannya.” [103]

Karya Seni

Lukisan Hadis "La Fataa illa Ali", karya Hasan Ruhulamin yang menggambarkan tentang keadaas saat Perang Uhud

Hadis-hadis juga telah digunakan dalam karya seni. Sebagai contoh, pada tahun 1396 H (2017 M), Hassan Rouh Al-Amin merancang sebuah lukisan yang mengandung hadis "La Fata Illa Ali" (Tiada pemuda selain Ali), [104] seorang penulis Kristen, Harj Hurdaq mengatakan: "Saya dibesarkan dalam keluarga Kristen. Ayah saya adalah seorang pemahat batu. Dia menggantung sebuah batu di pintu rumah kami yang terukir dengan kalimat: ‘La Fata Illa Ali La Saif Illa Dzu al-Fiqar’" (Tiada pemuda selain Ali dan tiada pedang selain Dzulfiqar) . Mossein Amirkhani, seorang kaligrafer terkenal, juga menulis hadis "Ana Madinatul ‘Ilm" (Aku adalah kota ilmu) dalam gaya kaligrafi Nasta'liq .

Catatan Kaki

Daftar Pustaka