Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1994
Karya ini berada pada domain publik di Indonesia, karena tidak dilindungi hak cipta berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Tidak ada Hak Cipta atas:
- hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara;
- peraturan perundang-undangan;
- pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah;
- putusan pengadilan atau penetapan hakim; atau
- kitab suci atau simbol keagamaan.
Karena merupakan dokumen resmi pemerintahan, karya ini juga berada pada domain publik di Amerika Serikat.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 10 TAHUN 1994
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa pelaksanaan pembangunan nasional telah menghasilkan perkembangan yang pesat dalam kehidupan nasional, khususnya di bidang perekonomian, termasuk berkembangnya bentuk-bentuk dan praktek penyelenggaraan kegiatan usaha yang belum tertampung dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991;
b. bahwa dalam upaya untuk selalu menjaga agar perkembangan perekonomian seperti tersebut di atas dapat tetap berjalan sesuai dengan kebijakan pembangunan yang bertumpu pada Trilogi Pembangunan sebagaimana diamanatkan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara, dan seiring dengan itu dapat diciptakan kepastian hukum yang berkaitan dengan aspek perpajakan bagi bentuk-bentuk dan praktek penyelenggaraan kegiatan usaha yang terus berkembang, diperlukan langkah-langkah penyesuaian yang memadai terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991;
c. bahwa untuk mewujudkan hal-hal tersebut, dipandang perlu mengubah beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3566);
3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 (Lembaran Negara Tahun 1991 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3459);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991.
Pasal I
[sunting]Mengubah beberapa ketentuan dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991, sebagai berikut :
1. Ketentuan Pasal 1 disempurnakan, sehingga berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 1
Pajak Penghasilan dikenakan terhadap Subyek Pajak atas Penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak."
2. Ketentuan Pasal 2 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 2
(1) Yang menjadi Subyek Pajak adalah : a. 1) orang pribadi; 2) warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak; b. badan, terdiri dari perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, persekutuan, perkumpulan, firma, kongsi, koperasi, yayasan atau organisasi yang sejenis, lembaga, dana pensiun, dan bentuk badan usaha lainnya; c. bentuk usaha tetap.
(2) Subyek pajak terdiri dari Subyek Pajak dalam negeri dan Subyek Pajak luar negeri.
(3) Yang dimaksud dengan Subyek Pajak dalam negeri adalah : a. orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia; b. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia; c. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak.
(4) Yang dimaksudkan dengan Subyek Pajak luar negeri adalah : a. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia; b. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
(5) Yang dimaksudkan dengan bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa : a. tempat kedudukan manajemen; b. cabang perusahaan; c. kantor perwakilan; d. gedung kantor; e. pabrik; f. bengkel; g. pertambangan dan penggalian sumber alam, wilayah kerja pengeboran yang digunakan untuk eksplorasi pertambangan; h. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan; i. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan; j. pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan; k. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas; l. agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia.
(6) Tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak menurut keadaan yang sebenarnya."
3. Menambah ketentuan baru diantara Pasal 2 dan Pasal 3 yang dijadikan Pasal 2A, yang berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 2A
(1) Kewajiban pajak subjektif orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dimulai pada saat orang pribadi tersebut dilahirkan, berada, atau berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia dan berakhir pada saat meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.
(2) Kewajiban pajak subyektif badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b dimulai pada saat badan tersebut didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia dan berakhir pada saat dibubarkan atau tidak lagi bertempat kedudukan di Indonesia.
(3) Kewajiban pajak subyektif orang pribadi atau badan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (4) huruf a dimulai pada saat orang pribadi atau badan tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) dan berakhir pada saat tidak lagi menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap.
(4) Kewajiban pajak subyektif orang pribadi atau badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) huruf b dimulai pada saat orang pribadi atau badan tersebut menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia dan berakhir pada saat tidak lagi menerima atau memperoleh penghasilan tersebut.
(5) Kewajiban pajak subyektif warisan yang belum terbagi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 2) dimulai pada saat timbulnya warisan yang belum terbagi tersebut dan berakhir pada saat warisan tersebut selesai dibagi.
(6) Apabila kewajiban pajak subyektif orang pribadi yang bertempat tinggal atau yang berada di Indonesia hanya meliputi sebagian dari tahun pajak, maka bagian tahun pajak tersebut menggantikan tahun pajak."
4. Ketentuan Pasal 3 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 3
Tidak termasuk Subyek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah : a. badan perwakilan negara asing; b. pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatannya di Indonesia serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik; c. organisasi-organisasi internasional yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan di Indonesia; d. pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan di Indonesia."
5. Ketentuan Pasal 4 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 4
(1) Yang menjadi Obyek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk : a. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang- undang ini; b. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan; c. laba usaha; d. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk : 1) Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal; 2) Keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota; 3) Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambil-alihan usaha; 4) Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan; e. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya; f. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang; g. deviden, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk deviden dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi; h. royalti; i. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta; j. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala; k. keuntungan karena pembebasan utang; l. keuntungan karena selisih kurs mata uang asing; m. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva; n. premi asuransi; o. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas, sepanjang iuran tersebut ditentukan berdasarkan volume kegiatan usaha atau pekerjaan bebas anggotanya; p. tambahan kekayaan netto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak.
(2) Atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan-tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(3) Yang tidak termasuk sebagai Obyek Pajak adalah :
a. 1) bantuan atau sumbangan; 2) harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan; sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
b. warisan;
c. harta, termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal;
d. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau pemerintah;
e. pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa;
f. deviden atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, yayasan atau organisasi yang sejenis, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia;
g. iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai, dan penghasilan dari modal yang ditanamkan dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan;
h. bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi;
i. bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksa dana;
j. penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut : 1) merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan; dan 2) sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia."
6. Ketentuan Pasal 5 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 5
(1) Yang menjadi Obyek Pajak bentuk usaha tetap adalah : a. penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai; b. penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap di Indonesia; c. penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara bentuk usaha tetap dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud.
(2) Biaya-biaya yang berkenaan dengan penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c boleh dikurangkan dari penghasilan bentuk usaha tetap.
(3) Dalam menentukan besarnya laba suatu bentuk usaha tetap : a. biaya administrasi kantor pusat yang diperbolehkan untuk dibebankan adalah biaya yang berkaitan dengan usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap, yang besarnya ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak; b. pembayaran kepada kantor pusat yang tidak diperbolehkan dibebankan sebagai biaya adalah : 1) royalti atau imbalan lainnya sehubungan penggunaan harta, paten, atau hak-hak lainnya; 2) imbalan sehubungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya; 3) bunga, kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan; c. pembayaran sebagaimana tersebut pada huruf b yang diterima atau diperoleh dari kantor pusat tidak dianggap sebagai Obyek Pajak, kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan."
7. Ketentuan Pasal 6 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 6
(1) Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi : a. biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk biaya pembelian bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang, bunga, sewa, royalti, biaya perjalanan, biaya pengolahan limbah, piutang yang nyata- nyata tidak dapat ditagih, premi asuransi, biaya administrasi, dan pajak kecuali Pajak Penghasilan; b. penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 11A; c. iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan; d. kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan; e. kerugian karena selisih kurs mata uang asing; f. biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia; g. biaya bea siswa, magang, dan pelatihan.
(2) Apabila penghasilan bruto setelah pengurangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didapat kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun.
(3) Kepada orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri diberikan pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7."
8. Ketentuan Pasal 7 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 7
(1) Penghasilan Tidak Kena Pajak diberikan sebesar : a. Rp 1.728.000,00 (satu juta tujuh ratus dua puluh delapan ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi; b. Rp 864.000,00 (delapan ratus enam puluh empat ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin; c. Rp 1.728.000,00 (satu juta tujuh ratus dua puluh delapan ribu rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1); d. Rp 864.000,00 (delapan ratus enam puluh empat ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.
(2) Penerapan ayat (1) ditentukan oleh keadaan pada awal tahun pajak atau awal bagian tahun pajak.
(3) Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak tersebut pada ayat (1) akan disesuaikan dengan suatu faktor penyesuaian yang ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan."
9. Ketentuan Pasal 8 disempurnakan dan ditambah dengan beberapa ketentuan baru, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 8
(1) Seluruh penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah kawin pada awal tahun pajak atau pada awal bagian tahun pajak, begitu pula kerugiannya yang berasal dari tahun-tahun sebelumnya yang belum dikompensasikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dianggap sebagai penghasilan atau kerugian suaminya, kecuali penghasilan tersebut semata- mata diterima atau diperoleh dari 1 (satu) pemberi kerja yang telah dipotong pajak berdasarkan ketentuan Pasal 21 dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya.
(2) Penghasilan suami-isteri dikenakan pajak secara terpisah apabila : a. suami-isteri telah hidup terpisah; b. dikehendaki secara tertulis oleh suami-istri berdasarkan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan.
(3) Penghasilan netto suami-isteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dikenakan pajak berdasarkan penggabungan penghasilan neto suami-isteri, dan besarnya pajak yang harus dilunasi oleh masing-masing suami-isteri dihitung sesuai dengan perbandingan penghasilan netto mereka.
(4) Penghasilan anak yang belum dewasa digabung dengan penghasilan orang tuanya, kecuali penghasilan dari pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan usaha orang yang mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) huruf c."
10. Ketentuan Pasal 9 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 9
(1) Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan : a. pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti deviden, termasuk deviden yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi; b. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota; c. pembentukan atau pemupukan dana cadangan kecuali cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi, cadangan untuk usaha asuransi, dan cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan yang ketentuan dan syarat-syaratnya ditetapkan oleh Menteri Keuangan; d. premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan; e. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan pemberian dalam bentuk natura dan kenikmatan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan, yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan; f. jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan; g. harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b; h. Pajak Penghasilan; i. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya; j. gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham; k. sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(2) Pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak dibolehkan untuk dibebankan sekaligus, melainkan dibebankan melalui penyusutan atau amortisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 atau Pasal 11A."
11. Ketentuan Pasal 10 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 10
(1) Harga perolehan atau harga penjualan dalam hal terjadi jual beli harta yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) adalah jumlah yang sesungguhnya dikeluarkan atau diterima, sedangkan apabila terdapat hubungan istimewa adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima.
(2) Nilai perolehan atau nilai penjualan dalam hal terjadi tukar-menukar harta adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar.
(3) Nilai perolehan atau pengalihan harta yang dialihkan dalam rangka likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar, kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan.
(4) Apabila terjadi pengalihan harta : a. yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, maka dasar penilaian bagi yang menerima pengalihan sama dengan nilai sisa buku dari pihak yang melakukan pengalihan atau nilai yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak; b. yang tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a, maka dasar penilaian bagi yang menerima pengalihan sama dengan nilai pasar dari harta tersebut.
(5) Apabila terjadi pengalihan harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf c, maka dasar penilaian harta bagi badan yang menerima pengalihan sama dengan nilai pasar dari harta tersebut.
(6) Persediaan dan pemakaian persediaan untuk penghitungan harga pokok dinilai berdasarkan harga perolehan yang dilakukan secara rata-rata atau dengan cara mendahulukan persediaan yang diperoleh pertama."
12. Ketentuan Pasal 11 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 11
(1) Penyusutan atas pengeluaran untuk pembelian, pendirian, penambahan, perbaikan, atau perubahan harta berwujud, kecuali tanah, yang memiliki dan digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang telah ditentukan bagi harta tersebut.
(2) Penyusutan atas pengeluaran harta berwujud sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selain bangunan, dapat juga dilakukan dalam bagian-bagian yang menurun selama masa manfaat, yang dihitung dengan cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku, dan pada akhir masa manfaat nilai sisa buku disusutkan sekaligus, dengan syarat dilakukan secara taat asas.
(3) Penyusutan dimulai pada tahun dilakukannya pengeluaran, kecuali untuk harta yang masih dalam proses pengerjaan, penyusutannya dimulai pada tahun selesainya pengerjaan harta tersebut.
(4) Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, Wajib Pajak diperkenankan melakukan penyusutan mulai pada tahun harta tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan atau pada tahun harta yang bersangkutan mulai menghasilkan.
(5) Apabila Wajib Pajak melakukan penilaian kembali aktiva berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, maka dasar penyusutan atas harta adalah nilai setelah dilakukan penilaian kembali aktiva tersebut.
(6) Untuk menghitung penyusutan, masa manfaat dan tarif penyusutan harta berwujud ditetapkan sebagai berikut :
Kelompok Harta Masa Manfaat Tarif Penyusutan sebagaimana berwujud dimaksud pada
Ayat (1) Ayat (2)
I. Bukan Bangunan Kelompok 1 4 Tahun 25% 50% Kelompok 2 8 Tahun 12,5% 25% Kelompok 3 16 Tahun 6,25% 12,5% Kelompok 4 20 Tahun 5% 10%
II. Bangunan Permanen 20 Tahun 5% - Tidak Permanen 10 Tahun 10% -
(7) Menyimpang dari ketentuan sebagaimana diatur pada ayat (1), ketentuan tentang penyusutan atas harta berwujud yang dimiliki dan digunakan dalam usaha tertentu, ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan.
(8) Apabila terjadi pengalihan atau penarikan harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d atau penarikan harta karena sebab lainnya, maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut dibebankan sebagai kerugian dan jumlah harga jual atau penggantian asuransinya yang diterima atau diperoleh dibukukan sebagai penghasilan pada tahun terjadinya penarikan harta tersebut.
(9) Apabila hasil penggantian asuransi yang akan diterima jumlahnya baru dapat diketahui dengan pasti di masa kemudian, maka dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak jumlah sebesar kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dibukukan sebagai beban masa kemudian tersebut.
(10) Apabila terjadi pengalihan harta yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, yang berupa harta berwujud, maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut tidak boleh dibebankan sebagai kerugian bagi pihak yang mengalihkan.
(11) Kelompok harta berwujud sesuai dengan masa manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (6) ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan.:
13. Menambah ketentuan baru diantara Pasal 11 dan Pasal 12 yang dijadikan Pasal 11A, yang berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 11A
(1) Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh harta tak berwujud dan pengeluaran lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar atau dalam bagian-bagian yang menurun selama masa manfaat, yang dihitung dengan cara menerapkan tarif amortisasi atas pengeluaran tersebut atau atas nilai sisa buku, dan pada akhir masa manfaat diamortisasi sekaligus, dengan syarat dilakukan secara taat asas.
(2) Untuk menghitung amortisasi, masa manfaat dan tarif amortisasi ditetapkan sebagai berikut :
Kelompok Harta tak Masa Manfaat Tarif Amortisasi berdasarkan Metode berwujud -------------------------------------------- Garis Lurus Garis Menurun
Kelompok 1 4 Tahun 25% 50% KelompoK 2 8 Tahun 12,5% 25% Kelompok 3 16 Tahun 6,25% 12,5% Kelompok 4 20 Tahun 5% 10%
(3) Pengeluaran untuk biaya pendirian dan biaya perluasan modal suatu perusahaan dibebankan pada tahun terjadinya pengeluaran atau diamortisasi sesuai dengan ayat (2).
(4) Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan pengeluaran lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun di bidang penambangan minyak dan gas bumi dilakukan dengan menggunakan metode satuan produksi.
(5) Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak penambangan selain yang dimaksud pada ayat (4), hak pengusahaan hutan, dan hak pengusahaan sumber alam serta hasil alam lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, dilakukan dengan menggunakan metode satuan produksi setinggi-tingginya 20 % (dua puluh persen) setahun.
(6) Pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, dikapitalisasi dan kemudian diamortisasi sesuai dengan ayat (2).
(7) Apabila terjadi pengalihan harta tak berwujud atau hak-hak seperti tersebut pada ayat (1), ayat (4), dan ayat (5), maka nilai sisa buku harta atau hak-hak tersebut dibebankan sebagai kerugian dan jumlah yang diterima sebagai penggantian merupakan penghasilan pada tahun terjadinya pengalihan tersebut.
(8) Apabila terjadi pengalihan harta yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, yang berupa harta tak berwujud, maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut tidak boleh dibebankan sebagai kerugian bagi pihak yang mengalihkan."
14. Ketentuan Pasal 12 dihapus.
15. Ketentuan Pasal 13 dihapus.
16. Ketentuan Pasal 14 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 14
(1) Norma Penghitungan Peredaran Bruto untuk menentukan peredaran bruto dan Norma Penghitungan Penghasilan Netto untuk menentukan penghasilan netto, dibuat dan disempurnakan terus-menerus serta diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak berdasarkan pegangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
(2) Wajib Pajak orang pribadi yang peredaran brutonya dalam satu tahun kurang dari Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah), boleh menghitung penghasilan netto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dengan syarat memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan.
(3) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang menghitung penghasilan nettonya dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto, wajib menyelenggarakan pencatatan sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
(4) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang tidak memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk menghitung Penghasilan Netto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto, dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan.
(5) Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan, termasuk Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), yang ternyata tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan peredaran bruto atau tidak memperlihat pembukuan atau pencatatan peredaran bruto atau bukti-bukti pendukungnya, sehingga tidak diketahui besarnya peredaran bruto yang sebenarnya, maka peredaran bruto dan penghasilan netonya dihitung berdasarkan norma penghitungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(6) Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan, termasuk Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4), yang ternyata tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan pembukuan, atau tidak memperlihatkan pembukuan atau bukti-bukti pendukungnya tetapi dapat diketahui peredaran bruto yang sebenarnya, maka penghasilan nettonya dihitung berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Netto.
(7) Besarnya peredaran bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diubah dengan keputusan Menteri Keuangan."
17. Ketentuan Pasal 15 disempurnakan, sehingga berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 15
Norma Penghitungan Khusus untuk menghitung penghasilan netto dari Wajib Pajak tertentu yang tidak dapat dihitung berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) atau ayat (3) ditetapkan Menteri Keuangan."
18. Ketentuan Pasal 16 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 16
(1) Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar penerapan tarif bagi Wajib Pajak dalam negeri dalam suatu tahun pajak dihitung dengan cara mengurangkan dari penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dengan pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 7 ayat (1), dan Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, dan huruf e.
(2) Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi dan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut, dan untuk Wajib Pajak orang pribadi dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1).
(3) Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dalam suatu tahun pajak dihitung dengan cara mengurangkan dari penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 4 ayat (1) dengan pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, dan huruf e.
(4) Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang terutang pajak dalam suatu bagian tahun pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2A ayat (6) dihitung berdasarkan penghasilan netto yang diterima atau diperoleh dalam bagian tahun pajak yang disetahunkan."
19. Ketentuan Pasal 17 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 17
(1) Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebagai berikut :
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
sampai dengan Rp 25.000.000,00 10% (dua puluh lima juta rupiah) (sepuluh persen)
di atas Rp 25.000.000,00 15 % (dua puluh lima juta rupiah) s/d (lima belas persen) Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)
di atas Rp 50.000.000,00 30 % (lima puluh juta rupiah) (tiga puluh persen)
(2) Dengan Peraturan Pemerintah, tarif tertinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diturunkan menjadi serendah-rendahnya 25 % (dua puluh lima persen).
(3) Besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan.
(4) Untuk keperluan penerapan tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jumlah Penghasilan Kena Pajak dibulatkan ke bawah dalam ribuan rupiah penuh.
(5) Besarnya pajak yang terutang bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang terutang pajak dalam bagian tahun pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4) dihitung sebanyak jumlah hari dalam bagian tahun pajak tersebut dibagi 360 (tiga ratus enam puluh) dikalikan dengan pajak yang terutang untuk 1 (satu) tahun pajak.
(6) Untuk keperluan penghitungan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5), tiap bulan yang penuh dihitung 30 (tiga puluh) hari.
(7) Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan tarif pajak tersendiri atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana tersebut pada ayat (1)."
20. Ketentuan Pasal 18 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 18
(1) Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan keputusan mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal perusahaan untuk keperluan penghitungan pajak berdasarkan Undang-undang ini.
(2) Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya deviden oleh Wajib Pajak dalam negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek, dengan ketentuan sebagai berikut : a. besarnya penyertaan modal Wajib Pajak dalam negeri tersebut sekurang-kurangnya 50 % (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor; atau b. secara bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam negeri lainnya memiliki penyertaan modal 50 % (lima puluh persen) atau lebih dari jumlah saham yang disetor.
(3) Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa.
(4) Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pasal 8 ayat (4), Pasal 9 ayat (1) huruf f, dan Pasal 10 ayat (1) dianggap ada apabila : a. Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung sebesar 25 % (dua puluh lima persen) atau lebih pada Wajib Pajak lain, atau hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan modal 25% (dua lima puluh persen) atau lebih pada dua Wajib Pajak atau lebih, demikian pula hubungan antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir; atau b. Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya, atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau c. terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat.
(5) Apabila Wajib Pajak badan dalam negeri memiliki penyertaan modal langsung atau tidak langsung sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih pada Wajib Pajak badan dalam negeri lainnya, maka lapisan tarif rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 hanya diterapkan pada 1 (satu) Wajib Pajak saja."
21. Ketentuan Pasal 19 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 19
(1) Menteri Keuangan berwenang menetapkan peraturan tentang penilaian kembali aktiva dan faktor penyesuaian apabila terjadi ketidaksesuaian antara unsur-unsur biaya dengan penghasilan karena perkembangan harga.
(2) Atas selisih penilaian kembali aktiva sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterapkan tarif pajak tersendiri dengan keputusan Menteri Keuangan sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1)."
22. Ketentuan Pasal 20 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 20
(1) Pajak yang diperkirakan akan terutang dalam suatu tahun pajak, dilunasi oleh Wajib Pajak dalam tahun pajak berjalan melalui pemotongan dan pemungutan pajak oleh pihak lain, serta pembayaran pajak oleh Wajib Pajak sendiri.
(2) Pelunasan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk setiap bulan atau masa lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
(3) Pelunasan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan angsuran pajak yang boleh dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan, kecuali untuk penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final."
23. Ketentuan Pasal 21 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 21
(1) Pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, wajib dilakukan oleh : a. pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai; b. bendaharawan pemerintah yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain, sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan; c. dana pensiun atau badan lain yang membayarkan uang pensiun dan pembayaran lain dengan nama apapun dalam rangka pensiun; d. badan yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas; e. perusahaan, badan, dan penyelenggara kegiatan yang melakukan pembayaran sehubungan dengan pelaksanaan suatu kegiatan.
(2) Tidak termasuk sebagai pemberi kerja yang wajib melakukan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah: a. badan perwakilan negara asing; b. organisasi internasional yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
(3) Penghasilan pegawai tetap atau pensiunan yang dipotong pajak untuk setiap bulan adalah jumlah penghasilan bruto setelah dikurangi dengan biaya jabatan atau biaya pensiun yang besarnya ditetapkan oleh Menteri Keuangan, iuran pensiun, dan Penghasilan Tidak Kena Pajak.
(4) Penghasilan pegawai harian, mingguan, serta pegawai tidak tetap lainnya yang dipotong pajak adalah jumlah penghasilan bruto setelah dikurangi bagian penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan yang besarnya ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
(5) Tarif pemotongan atas pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sama dengan tarif pajak sebagaimana tersebut dalam Pasal 17.
(6) Pajak yang telah dipotong atas penghasilan yang diterima atau diperoleh sehubungan dengan pekerjaan dari 1 (satu) pemberi kerja sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), merupakan pelunasan pajak yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan, kecuali pegawai atau pensiunan tersebut menerima atau memperoleh penghasilan lain yang bukan penghasilan yang pajaknya telah dibayar atau dipotong dan bersifat final menurut Undang-undang ini.
(7) Menteri Keuangan berwenang untuk menetapkan pemotongan pajak yang bersifat final atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan tertentu.
(8) Petunjuk mengenai pelaksanaan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak."
24. Ketentuan Pasal 22 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 22
(1) Menteri Keuangan dapat menetapkan bendaharawan pemerintah untuk memungut pajak sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang, dan badan-badan tertentu untuk memungut pajak dari Wajib Pajak yang melakukan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain.
(2) Ketentuan mengenai dasar pemungutan, sifat dan besarnya pungutan, tata cara penyetoran, dan tata cara pelaporan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri Keuangan."
25. Ketentuan Pasal 23 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 23
(1) Atas penghasilan tersebut dibawah ini dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, Subyek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan : a. sebesar 15 % (lima belas persen) dari jumlah bruto atas : 1) dividen; 2) bunga, termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang; 3) royalti; 4) hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf e; b. sebesar 15 % (lima belas persen) dari jumlah bruto dan bersifat final atas bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi; c. sebesar 15 % (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan netto atas : 1) sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta; 2) imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
(2) Besarnya perkiraan penghasilan neto dan jenis jasa lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(3) Orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri dapat ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk memotong pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan atas : a. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank; b. sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi; c. dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f; d. bunga obligasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf i; e. bagian laba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf j; f. sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya; g. bunga simpanan yang tidak melebihi batas yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya."
26. Ketentuan Pasal 24 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 24
(1) Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri boleh dikreditkan terhadap pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang ini dalam tahun pajak yang sama.
(2) Besarnya kredit pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri tetapi tidak boleh melebihi penghitungan pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang ini.
(3) Dalam menghitung batas jumlah pajak yang boleh dikreditkan, penentuan sumber penghasilan adalah sebagai berikut :
a. penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya adalah negara tempat badan yang menerbitkan saham atau sekuritas tersebut bertempat kedudukan; b. penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa sehubungan dengan penggunaan harta gerak adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani bunga, royalti, atau sewa tersebut bertempat kedudukan atau berada; c. penghasilan berupa sewa sehubungan dengan penggunaan harta tak gerak adalah negara tempat harta tersebut terletak; d. penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani imbalan tersebut bertempat kedudukan atau berada; e. penghasilan bentuk usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan.
(4) Penentuan sumber penghasilan selain penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menggunakan prinsip yang sama dengan prinsip yang dimaksud pada ayat tersebut.
(5) Apabila pajak atas penghasilan dari luar negeri yang dikreditkan ternyata kemudian dikurangkan atau dikembalikan, maka pajak yang terutang menurut Undang-undang ini harus ditambah dengan jumlah tersebut pada tahun pengurangan atau pengembalian itu dilakukan.
(6) Ketentuan mengenai pelaksanaan pengkreditan pajak atas penghasilan dari luar negeri ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan."
27. Ketentuan Pasal 25 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 25
(1) Besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi dengan Pajak Penghasilan yang dipotong dan/atau dipungut serta Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24, dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.
(2) Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk bulan-bulan sebelum batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, sama dengan besarnya angsuran pajak untuk bulan terakhir dari tahun pajak yang lalu, sepanjang tidak kurang dari rata-rata angsuran bulanan tahun pajak yang lalu.
(3) Apabila telah diterbitkan surat ketetapan pajak untuk 2 (dua) tahun pajak sebelum tahun Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang menghasilkan angsuran pajak yang lebih besar dari angsuran pajak berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tersebut, maka besarnya angsuran pajak dihitung berdasarkan surat ketetapan pajak tahun pajak terakhir.
(4) Apabila dalam tahun pajak berjalan diterbitkan surat ketetapan pajak untuk 2 (dua) tahun pajak sebelumnya yang menghasilkan angsuran pajak yang lebih besar daripada angsuran pajak bulan yang lalu, yang dihitung berdasarkan ketentuan pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), maka besarnya angsuran pajak dihitung kembali berdasarkan surat ketetapan pajak tahun pajak terakhir dan berlaku mulai bulan berikutnya setelah bulan penerbitan surat ketetapan pajak.
(5) Apabila Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu lebih kecil dari jumlah Pajak Penghasilan yang telah dibayar, dipotong dan/atau dipungut selama tahun pajak yang bersangkutan, maka besarnya angsuran pajak untuk setiap bulan sama dengan angsuran pajak untuk bulan terakhir dari tahun pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) sampai dikeluarkannya keputusan Direktur Jenderal Pajak, dan untuk bulan-bulan berikutnya angsuran pajak dihitung berdasarkan jumlah pajak yang terutang menurut keputusan tersebut.
(6) Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menetapkan penghitungan besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan dalam hal-hal tertentu, apabila : a. Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian; b. Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur; c. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun yang lalu disampaikan setelah lewat batas waktu yang ditentukan; d. Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan; e. Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang mengakibatkan angsuran bulanan lebih besar dari angsuran bulanan sebelum pembetulan; f. terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak.
(7) Penghitungan besarnya angsuran pajak bagi Wajib Pajak baru, bank, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan Wajib Pajak tertentu lainnya ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
(8) Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang bertolak ke luar negeri wajib membayar pajak yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah."
28. Ketentuan Pasal 26 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 26
(1) Atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan dalam bentuk apapun, yang dibayarkan atau yang terutang oleh badan pemerintah, Subyek Pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dipotong pajak sebesar 20 % (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan : a. dividen; b. bunga, termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang; c. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta; d. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan; e. hadiah dan penghargaan; f. pensiun dan pembayaran berkala lainnya.
(2) Atas penghasilan dari penjualan harta di Indonesia, kecuali yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2), yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dan premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri, dipotong pajak sebesar 20 % (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan netto.
(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
(4) Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dikenakan pajak sebesar 20 % (dua puluh persen), kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia yang ketentuannya ditetapkan lebih lanjut dengan keputusan Menteri Keuangan.
(5) Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) bersifat final, kecuali : a. pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c; b. pemotongan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan luar negeri yang berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap."
29. Ketentuan Pasal 27 dihapus.
30. Judul Bab VI diubah, sehingga menjadi sebagai berikut :
"BAB VI PERHITUNGAN PAJAK PADA AKHIR TAHUN
31. Ketentuan Pasal 28 disempurnakan dan ditambah dengan ketentuan baru, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 28
(1) Bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, pajak yang terutang dikurangi dengan kredit pajak untuk tahun pajak yang bersangkutan, berupa : a. pemotongan pajak atas penghasilan dari pekerjaan, jasa, dan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21; b. pemungutan pajak atas penghasilan dari kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22; c. pemotongan pajak atas penghasilan berupa deviden, bunga, royalti, sewa, hadiah dan penghargaan, dan imbalan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23; d. pajak yang dibayar atau terutang atas penghasilan dari luar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24; e. pembayaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25; f. pemotongan pajak atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (5).
(2) Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku tidak boleh dikreditkan dengan pajak yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)."
32. Menambah ketentuan baru diantara Pasal 28 dan Pasal 29 yang dijadikan Pasal 28 A, yang berbunyi sebagai berikut : "Pasal 28A
Apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih kecil dari jumlah kredit pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), maka setelah dilakukan pemeriksaan, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan setelah diperhitungkan dengan utang pajak berikut sanksi-sanksinya."
33. Ketentuan Pasal 29 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 29
Apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih besar daripada kredit pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), maka kekurangan pajak yang terutang harus dilunasi selambat-lambatnya tanggal 25 (dua puluh lima) bulan ketiga setelah tahun pajak berakhir, sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan disampaikan."
34. Ketentuan Pasal 30 dihapus.
35. Ketentuan Pasal 31 dihapus.
36. Menambah ketentuan baru diantara Pasal 31 dan Pasal 32 yang dijadikan Pasal 31A dalam Bab VII tentang Ketentuan Lain-lain, yang berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 31 A
Kepada Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu dapat diberikan fasilitas perpajakan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah."
37. Ketentuan Pasal 32 disempurnakan, sehingga berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 32
Tata cara pengenaan pajak dan sanksi-sanksi berkenaan dengan pelaksanaan Undang-undang ini dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan."
38. Menambah ketentuan baru diantara Pasal 33 dan Pasal 34 yang dijadikan Pasal 33A dan BAB VIII tentang Ketentuan Peralihan, yang berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 33A
(1) Wajib Pajak yang tahun bukunya berakhir setelah tanggal 30 Juni 1995 wajib menghitung pajaknya berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang ini.
(2) Wajib Pajak yang memperoleh fasilitas perpajakan dan telah mendapat keputusan tentang saat mulai berproduksi sebelum tanggal 1 Januari 1995, maka fasilitas perpajakan dimaksud dapat dinikmati sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan.
(3) Fasilitas perpajakan yang telah diberikan, berakhir pada tanggal 31 Desember 1994, kecuali fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang pertambangan minyak dan gas bumi, pertambangan umum, dan pertambangan lainnya berdasarkan Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan yang masih berlaku pada saat berlakunya Undang-undang ini, pajaknya dihitung berdasarkan ketentuan dalam Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan tersebut sampai dengan berakhirnya kontrak atau perjanjian kerjasama dimaksud."
39. Ketentuan Pasal 34 disempurnakan, sehingga berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 34
Peraturan pelaksanaan di bidang Pajak Penghasilan yang masih berlaku pada saat berlakunya Undang-undang ini dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-undang ini."
40. Ketentuan Pasal 35 disempurnakan, sehingga berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 35
Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah."
Pasal II
[sunting]Undang-undang ini dapat disebut "Undang-undang Perubahan Kedua Undang-undang Pajak Penghasilan 1984."
Pasal III
[sunting]Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1995. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta Pada tanggal 9 Nopember 1994 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 9 November 1994 MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
MOERDIONO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1994 NOMOR 60
PENJELASAN ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991
UMUM
Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak dan kewajiban setiap orang, oleh karena itu menempatkan perpajakan sebagai salah satu perwujudan kewajiban kenegaraan dalam rangka kegotong-royongan nasional sebagai peran serta masyarakat dalam pembiayaan negara dan pembangunan.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 23 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945, ketentuan-ketentuan perpajakan yang merupakan landasan pemungutan pajak harus ditetapkan dengan undang-undang. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka sebagai hasil reformasi undang-undang perpajakan tahun 1983 telah diundangkan Undang- undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, sebagai landasan hukum pengenaan Pajak Penghasilan yang berlaku sejak tahun 1984, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991.
Dengan pesatnya perkembangan sosial ekonomi sebagai hasil pembangunan nasional dan globalisasi di berbagai bidang, disadari bahwa banyak bentuk-bentuk dan praktek penyelenggaraan kegiatan usaha yang aspek perpajakannya belum diatur atau belum cukup diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991. Selain dari pada itu, Undang-undang tersebut belum sepenuhnya menampung amanat dalam Garis-garis Besar Haluan Negara 1993. Oleh karena itu, dipandang sudah masanya untuk menyempurnakan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991.
Dengan berpegang teguh pada prinsip kepastian hukum, keadilan, dan kesederhanaan, maka arah dan tujuan penyempurnaan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor. 7 Tahun 1991 adalah sebagai berikut : a. Menuju kemandirian bangsa dalam pembiayaan negara dan pembiayaan pembangunan yang sumber utamanya berasal dari penerimaan pajak; b. Lebih memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat dalam berpartisipasi dalam pembiayaan pembangunan sesuai dengan kemampuannya; c. Menunjang kebijaksanaan pemerintah dalam rangka meningkatkan pertumbuhan, pemerataan pembangunan, dan investasi di seluruh wilayah Republik Indonesia; d. Menunjang usaha peningkatan ekspor, terutama ekspor non migas, barang hasil olahan dan jasa-jasa dalam rangka meningkatkan perolehan devisa; e. Menunjang usaha pengembangan usaha kecil untuk mengoptimalkan pengembangan potensinya, dan dalam rangka pengentasan kemiskinan; f. Menunjang usaha pengembangan sumber daya manusia, ilmu pengetahuan dan teknologi, pelestarian ekosistem, sumber daya alam dan lingkungan hidup; g. Menunjang usaha terciptanya aparat perpajakan yang makin mampu dan makin bersih, peningkatan pelayanan kepada Wajib Pajak termasuk penyederhanaan dan kemudahan prosedur dalam pemenuhan kewajiban perpajakan, peningkatan pengawasan atas pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakan tersebut, termasuk peningkatan penegakan pelaksanaan ketentuan hukum yang berlaku.
Dengan berlandaskan pada arah dan tujuan penyempurnaan tersebut, perlu dilakukan perubahan terhadap beberapa ketentuan dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang- undang Nomor 7 Tahun 1991, dengan pokok-pokok sebagai berikut : a. Dalam rangka meningkatkan kemandirian bangsa dalam pembiayaan pembangunan nasional, diatur ketentuan-ketentuan yang menunjang kegiatan ekstensifikasi dan intensifikasi pengenaan pajak; b. Ketentuan mengenai Subyek Pajak diatur secara lebih luwes agar dapat mengikuti perkembangan sosial ekonomi dan perkembangan bentuk-bentuk aktifitas bisnis yang timbul dan berkembang di masyarakat; c. Kesempatan mengenai Obyek Pajak diatur dengan lebih rinci, jelas dan tegas untuk lebih memberikan kepastian hukum dan keadilan dalam pengenaan pajak; d. Dalam rangka menunjang pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pengeluaran untuk penelitian dan pengembangan perusahaan boleh dibebankan sebagai biaya; e. Untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, pengeluaran untuk biaya pelatihan, magang, dan bea siswa dapat dibebankan sebagai biaya; f. Dalam rangka menunjang kebijakan pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan dan pemerataan pembangunan nasional di segala bidang, dapat diberikan fasilitas perpajakan kepada Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu; g. Kompensasi kerugian yang lebih lama dari 5 (lima) tahun tetapi tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun yang diatur selaras dengan kebijakan pemerintah dalam pemerataan pembangunan nasional; h. Untuk menunjang program pemerintah dalam pelestarian ekosistem, sumber daya alam dan lingkungan hidup, ditegaskan bahwa biaya pengolahan limbah boleh dibebankan sebagai biaya dan diatur mengenai pembentukan atau pemupukan cadangan untuk biaya reklamasi; i. Untuk memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak dalam hal penghitungan penyusutan atas harta yang dimiliki dan digunakan dalam usaha serta lebih menyelaraskan pembukuan Wajib Pajak untuk kepentingan fiskal, maka kepada Wajib Pajak diberikan kebebasan untuk memilih metode penyusutan atas harta berwujud bukan bangunan; j. Kebijaksanaan di bidang tarif pajak dilakukan dengan mengatur kembali besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak dan besarnya lapisan tarif pajak dengan tetap mempertahankan progresivitas tarif yang diberlakukan terhadap Wajib Pajak orang pribadi dan Wajib Pajak badan, dengan mempertimbangkan kesempatan melakukan pengembangan kegiatan usaha dan persaingan dunia usaha dalam era globalisasi; k. Mencegah penghindaran pajak melalui penundaan pembagian laba dalam waktu yang tidak ditentukan atas penanaman modal di luar negeri; l. Perluasan dalam sistem pemotongan dan pemungutan pajak untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak, menggali potensi fiskal yang tersedia, dan menunjang sistem "self assessment" melalui pemanfaatan data yang lebih efektif dan efisien; m. Dalam rangka kemudahan dan kesederhanaan pengenaan pajak serta untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak, diatur pemungutan pajak yang bersifat final atas penghasilan-penghasilan tertentu.
PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Undang-undang ini mengatur pengenaan pajak penghasilan terhadap Subyek Pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Subyek Pajak tersebut dikenakan pajak apabila menerima atau memperoleh penghasilan. Subyek Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan dalam Undang-undang ini disebut Wajib Pajak. Wajib Pajak dikenakan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak atau dapat pula dikenakan pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak, apabila kewajiban pajak subjeknya dimulai atau berakhir dalam tahun pajak.
Yang dimaksud dengan tahun pajak dalam Undang-undang ini adalah tahun takwim, namun Wajib Pajak dapat menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun takwim, sepanjang tahun buku tersebut meliputi jangka waktu 12 (dua belas) bulan.
Angka 2
Pasal 2
Ayat (1)
Pengertian Subyek Pajak meliputi orang pribadi, warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, badan, dan bentuk usaha tetap.
Huruf a
Orang pribadi sebagai Subyek Pajak dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia ataupun di luar Indonesia. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan Subyek Pajak pengganti, menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris. Penunjukan warisan yang belum terbagi sebagai Subyek Pajak pengganti dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat dilaksanakan.
Huruf b
Pengertian badan sebagai Subyek Pajak terdiri dari perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah, persekutuan, perkumpulan, firma, kongsi, koperasi, yayasan atau organisasi yang sejenis, lembaga, dana pensiun, dan bentuk badan usaha lainnya.
Badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah merupakan Subyek Pajak tanpa memperhatikan nama dan bentuknya, sehingga setiap unit tertentu dari badan pemerintah, misalnya lembaga, badan, dan sebagainya yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan untuk memperoleh penghasilan merupakan Subyek Pajak.
Perkumpulan sebagai Subyek Pajak adalah perkumpulan yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan untuk memperoleh penghasilan dan/atau memberikan jasa kepada anggota. Dalam pengertian perkumpulan termasuk pula asosiasi, persatuan, perhimpunan, atau ikatan dari pihak-pihak yang mempunyai kepentingan yang sama.
Huruf c
Lihat ketentuan pada ayat (5) dan penjelasannya.
Ayat (2)
Subyek Pajak dibedakan antara Subyek Pajak dalam negeri dan Subyek Pajak luar negeri. Subyek Pajak dalam negeri menjadi Wajib Pajak apabila telah menerima atau memperoleh penghasilan, sedangkan Subjek Pajak luar negeri sekaligus menjadi Wajib Pajak sehubungan dengan penghasilan yang diterima dari sumber penghasilan di Indonesia atau diperoleh melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Dengan perkataan lain Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang telah memenuhi kewajiban subyektif dan obyektif.
Perbedaan yang penting antara Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar negeri terletak dalam pemenuhan kewajiban pajaknya, antara lain :
a. Wajib Pajak dalam negeri dikenakan pajak atas penghasilan baik yang diterima atau diperoleh dari Indonesia dan dari luar Indonesia, sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenakan pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia.
b. Wajib Pajak dalam negeri dikenakan pajak berdasarkan penghasilan netto dengan tarif umum, sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenakan pajak berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif pajak sepadan.
c. Wajib Pajak dalam negeri wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan sebagai sarana untuk menetapkan pajak yang terutang dalam suatu tahun pajak, sedangkan Wajib Pajak luar negeri tidak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan, karena kewajiban pajaknya dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat final.
Bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, pemenuhan kewajiban perpajakannya dipersamakan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini dan Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Ayat (3)
Huruf a
Pada prinsipnya orang pribadi yang menjadi Subyek Pajak dalam negeri adalah orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia. Termasuk dalam pengertian orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia adalah mereka yang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. Apakah seseorang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia ditimbang menurut keadaan.
Keberadaan orang pribadi di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari tidaklah harus berturut-turut, tetapi ditentukan oleh jumlah hari orang tersebut berada di Indonesia dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak kedatangannya di Indonesia.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi sebagai Subyek Pajak dalam negeri dianggap Subyek Pajak dalam negeri dalam pengertian Undang-undang ini mengikuti status pewaris. Adapun untuk pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakannya, warisan tersebut menggantikan kewajiban ahli waris yang berhak. Apabila warisan tersebut telah dibagi, maka kewajiban perpajakannya beralih kepada ahli waris.
Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi sebagai Subyek Pajak luar negeri yang tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, tidak dianggap sebagai Subyek Pajak pengganti karena pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi dimaksud melekat pada obyeknya.
Ayat (4)
Huruf a dan huruf b
Subyek Pajak luar negeri adalah orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di luar Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia, baik melalui ataupun tanpa melalui bentuk usaha tetap. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, tetapi berada di Indonesia kurang dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, maka orang tersebut adalah Subyek Pajak luar negeri. Apabila penghasilan diterima atau diperoleh melalui bentuk usaha tetap, maka terhadap orang pribadi atau badan tersebut dikenakan pajak melalui bentuk usaha tetap, dan orang pribadi atau badan tersebut statusnya tetap sebagai Subyek Pajak luar negeri. Dengan demikian bentuk usaha tetap tersebut menggantikan orang pribadi atau badan sebagai Subyek Pajak luar negeri dalam memenuhi kewajiban perpajakannya di Indonesia.
Dalam hal penghasilan tersebut diterima atau diperoleh tanpa melalui bentuk usaha tetap, maka pengenaan pajaknya dilakukan langsung kepada Subyek Pajak luar negeri tersebut.
Ayat (5)
Suatu bentuk usaha tetap mengandung pengertian adanya suatu tempat usaha ("place of business") yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga mesin-mesin dan peralatan.
Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.
Pengertian bentuk usaha tetap mencakup pula orang pribadi atau badan selaku agen yang kedudukannya tidak bebas yang bertindak untuk dan atas nama orang pribadi atau badan yang tidak bertempat tinggal atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia.
Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tidak dapat dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila orang pribadi atau badan dalam menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia menggunakan agen, broker atau perantara yang mempunyai kedudukan bebas, asalkan agen atau perantara tersebut dalam kenyataannya bertindak sepenuhnya dalam rangka menjalankan perusahaannya sendiri.
Perusahaan asuransi yang didirikan dan bertempat kedudukan di luar Indonesia dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila perusahaan asuransi tersebut menerima pembayaran premi asuransi di Indonesia atau menanggung risiko di Indonesia melalui pegawai, perwakilan atau agennya di Indonesia. Menanggung risiko di Indonesia tidak berarti bahwa peristiwa yang mengakibatkan risiko tersebut terjadi di Indonesia. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa pihak tertanggung bertempat tinggal, berada atau bertempat kedudukan di Indonesia.
Ayat (6)
Penentuan tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan penting untuk menetapkan Kantor Pelayanan Pajak mana yang mempunyai yurisdiksi pemajakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan tersebut.
Pada dasarnya tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan ditentukan menurut keadaan yang sebenarnya. Dengan demikian penentuan tempat tinggal atau tempat kedudukan tidak hanya didasarkan pada pertimbangan yang bersifat formal, tetapi lebih didasarkan pada kenyataan. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam menentukan tempat tinggal seseorang atau tempat kedudukan badan tersebut antara lain domisili, alamat tempat tinggal, tempat tinggal keluarga, tempat menjalankan usaha pokok atau hal-hal lain yang perlu dipertimbangkan untuk memudahkan pelaksanaan pemenuhan kewajiban pajak.
Angka 3
Pasal 2A
Pajak Penghasilan merupakan jenis pajak subyektif yang kewajiban pajaknya melekat pada Subyek Pajak yang bersangkutan, artinya kewajiban pajak tersebut dimaksudkan untuk tidak dilimpahkan kepada Subyek Pajak lainnya. Oleh karena itu dalam rangka memberikan kepastian hukum, penentuan saat mulai dan berakhirnya kewajiban pajak subyektif menjadi penting.
Ayat (1)
Kewajiban pajak subyektif orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia dimulai pada saat ia lahir di Indonesia. Untuk orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, kewajiban pajak subyektifnya dimulai sejak hari pertama ia berada di Indonesia. Kewajiban pajak subyektif orang pribadi berakhir pada saat ia meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.
Pengertian meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya harus dikaitkan dengan hal-hal yang nyata pada saat orang pribadi tersebut meninggalkan Indonesia. Apabila pada saat ia meninggalkan Indonesia terdapat bukti-bukti yang nyata mengenai niatnya untuk meninggalkan Indonesia untuk selama- lamanya, maka pada saat itu ia tidak lagi menjadi Subyek Pajak dalam negeri.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Bagi orang pribadi yang tidak bertempat tinggal dan berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia melalui suatu bentuk usaha tetap, kewajiban pajak subyektifnya dimulai pada saat bentuk usaha tetap tersebut berada di Indonesia dan berakhir pada saat bentuk usaha tetap tersebut tidak lagi berada di Indonesia.
Ayat (4)
Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, adalah Subyek Pajak luar negeri sepanjang orang pribadi atau badan tersebut mempunyai hubungan ekonomis dengan Indonesia. Hubungan ekonomis dengan Indonesia dianggap ada apabila orang pribadi atau badan tersebut menerima atau memperoleh penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia.
Kewajiban pajak subyektif orang pribadi atau badan tersebut dimulai pada saat orang pribadi atau badan mempunyai hubungan ekonomis dengan Indonesia, yaitu menerima atau memperoleh penghasilan dari sumber- sumber di Indonesia dan berakhir pada saat orang pribadi atau badan tersebut tidak lagi mempunyai hubungan ekonomis dengan Indonesia.
Ayat (5)
Kewajiban pajak subyektif warisan yang belum terbagi dimulai pada saat timbulnya warisan yang belum terbagi tersebut, yaitu pada saat meninggalnya pewaris. Sejak saat itu pemenuhan kewajiban perpajakannya melekat pada warisan tersebut. Kewajiban pajak subyektif warisan berakhir pada saat warisan tersebut dibagi kepada para ahli waris. Sejak saat itu pemenuhan kewajiban perpajakannya beralih kepada para ahli waris.
Ayat (6)
Dapat terjadi orang pribadi menjadi Subyek Pajak tidak untuk jangka waktu satu tahun pajak penuh, misalnya orang pribadi yang mulai menjadi Subyek Pajak pada pertengahan tahun pajak, atau yang meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya pada pertengahan tahun pajak. Jangka waktu yang kurang dari satu tahun pajak tersebut dinamakan bagian tahun pajak yang menggantikan tahun pajak.
Angka 4
Pasal 3
Huruf a dan huruf b
Sesuai dengan kelaziman internasional, badan perwakilan negara asing beserta pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat serta pejabat- pejabat lainnya, dikecualikan sebagai Subyek Pajak di tempat mereka mewakili negaranya.
Pengecualian sebagai Subyek Pajak bagi pejabat-pejabat tersebut tidak berlaku apabila mereka memperoleh penghasilan lain di luar jabatannya atau mereka adalah warga negara Indonesia.
Dengan demikian apabila pejabat perwakilan suatu negara asing memperoleh penghasilan lain di Indonesia di luar jabatannya, maka ia termasuk Subyek Pajak yang dapat dikenakan pajak atas penghasilan lain tersebut.
Namun apabila negara asal pejabat tersebut memberikan pembebasan pajak kepada pejabat perwakilan Indonesia atas penghasilan lain di luar jabatannya, maka berlaku asas timbal balik.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Angka 5
Pasal 4
Ayat (1)
Undang-undang ini menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari manapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak tersebut.
Pengertian penghasilan dalam Undang-undang ini tidak memperhatikan adanya penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada adanya tambahan kemampuan ekonomis. Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak merupakan ukuran terbaik mengenai kemampuan Wajib Pajak tersebut untuk ikut bersama-sama memikul biaya yang diperlukan pemerintah untuk kegiatan rutin dan pembangunan.
Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib Pajak, penghasilan dapat dikelompokkan menjadi :
- penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti gaji, honorarium, penghasilan dari praktek dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara, dan sebagainya; - penghasilan dari usaha dan kegiatan; - penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak seperti bunga, deviden, royalti, sewa, keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak dipergunakan untuk usaha, dan lain sebagainya; - penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang, hadiah, dan lain sebagainya.
Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat dipakai untuk konsumsi dan dapat pula ditabung untuk menambah kekayaan Wajib Pajak. Karena Undang- undang ini menganut pengertian penghasilan yang luas maka semua jenis penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak digabungkan untuk mendapatkan dasar pengenaan pajak. Dengan demikian, apabila dalam satu tahun pajak suatu usaha atau kegiatan menderita kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan lainnya (kompensasi horizontal), kecuali kerugian yang diderita di luar negeri. Namun demikian, apabila suatu jenis penghasilan dikenakan pajak dengan tarif yang bersifat final atau dikecualikan dari Obyek Pajak, maka penghasilan tersebut tidak boleh digabungkan dengan penghasilan lain yang dikenakan tarif umum.
Contoh-contoh penghasilan yang disebut dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk memperjelas pengertian tentang penghasilan yang luas yang tidak terbatas pada contoh-contoh dimaksud.
Huruf a
Semua pembayaran atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan, seperti upah, gaji, premi asuransi jiwa dan asuransi kesehatan yang dibayar oleh pemberi kerja, atau imbalan dalam bentuk lainnya adalah Obyek Pajak.
Pengertian imbalan dalam bentuk lainnya termasuk imbalan dalam bentuk natura yang pada hakekatnya merupakan penghasilan.
Huruf b
Dalam pengertian hadiah termasuk hadiah dari undian pekerjaan, dan kegiatan seperti hadiah undian tabungan, hadiah dari pertandingan olahraga dan lain sebagainya.
Yang dimaksud dengan penghargaan adalah imbalan yang diberikan sehubungan dengan kegiatan tertentu, misalnya imbalan yang diterima sehubungan dengan penemuan benda-benda purbakala.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Apabila Wajib Pajak menjual harta dengan harga yang lebih tinggi dari nilai sisa buku atau lebih tinggi dari harga atau nilai perolehan, maka selisih harga tersebut merupakan keuntungan. Dalam hal penjualan harta tersebut terjadi antara badan usaha dengan pemegang sahamnya, maka harga jual yang dipakai sebagai dasar untuk penghitungan keuntungan dari penjualan tersebut adalah harga pasar.
Misalnya PT. S memiliki sebuah mobil yang digunakan dalam kegiatan usahanya dengan nilai sisa buku sebesar Rp 40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah). Mobil tersebut dijual sesuai dengan harga pasar sebesar Rp.60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Dengan demikian keuntungan PT. S yang diperoleh karena penjualan mobil tersebut adalah Rp. 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah). Apabila mobil tersebut dijual kepada salah seorang pemegang sahamnya dengan harga Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), maka nilai jual mobil tersebut tetap dihitung berdasarkan harga pasar sebesar Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Selisih sebesar Rp.20.000.000,00 ( dua puluh juta rupiah) merupakan keuntungan bagi PT. S, dan bagi pemegang saham yang membeli mobil tersebut selisih sebesar Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) merupakan penghasilan.
Apabila suatu badan dilikuidasi, keuntungan dari penjualan harta, yaitu selisih antara harga jual berdasarkan harga pasar dengan nilai sisa buku harta tersebut, merupakan Obyek Pajak. Demikian juga selisih lebih antara harga pasar dengan nilai sisa buku dalam hal terjadi penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambil alihan usaha merupakan penghasilan.
Dalam hal terjadi pengalihan harta sebagai pengganti saham atau penyertaan modal maka keuntungan berupa selisih antara harga pasar dari harta yang diserahkan dengan nilai bukunya merupakan penghasilan.
Keuntungan berupa selisih antara harga pasar dengan nilai perolehan atau nilai sisa buku atas pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan dianggap sebagai penghasilan bagi pihak yang mengalihkan, kecuali harta tersebut dialihkan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, serta badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial termasuk yayasan atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
Huruf e
Pengembalian pajak yang telah dibebankan sebagai biaya pada saat menghitung Penghasilan Kena Pajak, merupakan Obyek Pajak.
Sebagai contoh Pajak Bumi dan Bangunan yang sudah dibayar dan dibebankan sebagai biaya, yang karena sesuatu sebab dikembalikan, maka jumlah sebesar pengembalian tersebut merupakan penghasilan.
Huruf f
Dalam pengertian bunga termasuk pula premium, diskonto dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang.
Premium terjadi apabila misalnya surat obligasi di jual di atas nilai nominalnya sedangkan diskonto terjadi apabila surat obligasi dibeli di bawah nilai nominalnya. Premium tersebut merupakan penghasilan bagi yang menerbitkan obligasi dan diskonto merupakan penghasilan bagi yang membeli obligasi.
Huruf g
Deviden merupakan bagian laba yang diperoleh pemegang saham atau pemegang polis asuransi atau pembagian sisa hasil usaha koperasi yang diperoleh anggota koperasi. Termasuk dalam pengertian deviden adalah :
1) pembagian laba baik secara langsung ataupun tidak langsung, dengan nama dan dalam bentuk apapun;
2) pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah modal yang disetor;
3) pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran kecuali saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham baru dan revaluasi aktiva tetap;
4) pembagian laba dalam bentuk saham;
5) pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran;
6) jumlah yang melebihi jumlah setoran sahamnya yang diterima atau diperoleh pemegang saham karena pembelian kembali saham-saham oleh perseroan yang bersangkutan;
7) pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dari modal yang disetorkan, jika dalam tahun-tahun yang lampau diperoleh keuntungan, kecuali jika pembayaran kembali itu adalah akibat dari pengecilan modal dasar (statuter) yang dilakukan secara sah;
8) pembayaran sehubungan dengan tanda-tanda laba, termasuk yang diterima sebagai penebusan tanda-tanda laba tersebut;
9) bagian laba sehubungan dengan pemilikan obligasi;
10) bagian laba yang diterima oleh pemegang polis;
11) pembagian berupa sisa hasil usaha kepada anggota koperasi;
12) pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang saham yang dibebankan sebagai biaya perusahaan.
Dalam praktek sering dijumpai pembagian atau pembayaran deviden secara terselubung, misalnya dalam hal pemegang saham yang telah menyetor penuh modalnya dan memberikan pinjaman kepada perseroan dengan imbalan bunga yang melebihi kewajaran. Apabila terjadi hal yang demikian maka selisih lebih antara bunga yang dibayarkan dengan tingkat bunga yang berlaku di pasar, diperlakukan sebagai deviden. Bagian bunga yang diperlakukan sebagai deviden tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya oleh perseroan yang bersangkutan.
Huruf h
Pada dasarnya imbalan berupa royalti terdiri dari tiga kelompok, yaitu imbalan sehubungan dengan penggunaan : 1) hak atas harta tak berwujud, misalnya hak pengarang, paten, merek dagang, formula, atau rahasia perusahaan; 2) hak atas harta berwujud, misalnya hak atas alat-alat industri, komersial, dan ilmu pengetahuan. Yang dimaksud dengan alat-alat industri, komersial dan ilmu pengetahuan adalah setiap peralatan yang mempunyai nilai intelektual, misalnya peralatan-peralatan yang digunakan di beberapa industri khusus seperti anjungan pengeboran minyak ("driling rig"), dan sebagainya; 3) informasi, yaitu informasi yang belum diungkapkan secara umum, walaupun mungkin belum dipatenkan, misalnya pengalaman di bidang industri, atau bidang usaha lainnya. Ciri dari informasi dimaksud adalah bahwa informasi tersebut telah tersedia sehingga pemiliknya tidak perlu lagi melakukan riset untuk menghasilkan informasi tersebut. Tidak termasuk dalam pengertian informasi disini adalah informasi yang diberikan oleh misalnya akuntan publik, ahli hukum, atau ahli
teknik sesuai dengan bidang keahliannya, yang dapat diberikan oleh setiap orang yang mempunyai latar belakang disiplin ilmu yang sama.
Huruf i
Dalam pengertian sewa termasuk imbalan yang diterima atau diperoleh dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan penggunaan harta gerak atau harta tak gerak, misalnya sewa mobil, sewa kantor, sewa rumah, dan sewa gudang.
Huruf j
Penerimaan berupa pembayaran berkala, misalnya "alimentasi" atau tunjangan seumur hidup yang dibayar secara berulang-ulang dalam waktu tertentu.
Huruf k
Pembebasan utang oleh pihak yang berpiutang dianggap sebagai penghasilan bagi pihak yang semula berutang, sedangkan bagi pihak yang berpiutang dapat dibebankan sebagai biaya.
Huruf l
Keuntungan karena selisih kurs dapat disebabkan fluktuasi kurs mata uang asing atau adanya kebijaksanaan pemerintah di bidang moneter.
Atas keuntungan yang diperoleh karena fluktuasi kurs mata uang asing, pengenaan pajaknya dikaitkan dengan sistem pembukuan yang dianut oleh Wajib Pajak, dengan syarat dilakukan secara taat asas.
Huruf m
Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 merupakan penghasilan.
Huruf n
Dalam pengertian premi asuransi termasuk premi reasuransi.
Huruf o
Iuran yang dibayar oleh anggota kepada perkumpulan yang dihitung berdasarkan volume kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dari anggota tersebut, misalnya iuran yang besarnya ditentukan berdasarkan volume ekspor, satuan produksi atau satuan penjualan, adalah penghasilan bagi perkumpulan tersebut.
Huruf p
Tambahan kekayaan netto pada hakekatnya merupakan akumulasi penghasilan baik yang telah dikenakan pajak dan yang bukan Obyek Pajak serta yang belum dikenakan pajak. Apabila diketahui adanya tambahan kekayaan netto yang melebihi akumulasi penghasilan yang telah dikenakan pajak dan yang bukan Obyek Pajak, maka tambahan kekayaan netto tersebut merupakan penghasilan.
Ayat (2)
Sesuai dengan ketentuan pada ayat (1), penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, serta penghasilan tertentu lainnya merupakan Obyek Pajak. Tabungan masyarakat yang disalurkan melalui perbankan dan bursa efek merupakan sumber dana bagi pelaksanaan pembangunan, sehingga pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari tabungan masyarakat tersebut perlu diberikan perlakuan tersendiri dalam pengenaan pajaknya. Pertimbangan-pertimbangan yang mendasari diberikan perlakuan tersendiri dimaksud antara lain adalah kesederhanaan dalam pemungutan pajak, keadilan dan pemerataan dalam pengenaan pajaknya serta memperhatikan perkembangan ekonomi dan moneter. Pertimbangan tersebut juga mendasari perlunya pemberian perlakuan tersendiri terhadap pengenaan pajak atas penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, serta jenis-jenis penghasilan tertentu lainnya. Oleh karena itu pengenaan Pajak Penghasilan termasuk sifat, besarnya, dan tata cara pelaksanaan pembayaran, pemotongan, atau pemungutan atas jenis-jenis penghasilan tersebut diatur tersendiri dengan Peraturan Pemerintah.
Dengan mempertimbangkan kemudahan dalam pelaksanaan pengenaan serta agar tidak menambah beban administrasi baik bagi Wajib Pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak, maka pengenaan Pajak Penghasilan dalam ketentuan ini dapat bersifat final.
Ayat (3)
Huruf a
Bantuan atau sumbangan bagi pihak yang menerima bukan merupakan Obyek Pajak sepanjang diterima tidak dalam rangka hubungan kerja, hubungan usaha, hubungan kepemilikan, atau hubungan penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
Hubungan usaha antara pihak yang memberi dan yang menerima dapat terjadi, misalnya PT. A sebagai produsen suatu jenis barang yang bahan baku utamanya diproduksi oleh PT. B. Apabila PT. B memberikan sumbangan bahan baku kepada PT. A, maka sumbangan bahan baku yang diterima oleh PT. A merupakan Obyek Pajak.
Harta hibahan bagi pihak yang menerima bukan merupakan Obyek Pajak apabila diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial termasuk yayasan atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang diterima tidak dalam rangka hubungan kerja, hubungan usaha, hubungan kepemilikan atau hubungan penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Pada prinsipnya harta, termasuk setoran tunai, yang diterima oleh badan merupakan tambahan kemampuan ekonomis bagi badan tersebut. Namun karena harta tersebut diterima sebagai pengganti saham atau penyertaan modal, maka berdasarkan ketentuan ini, harta yang diterima tersebut bukan merupakan Obyek Pajak.
Huruf d
Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa merupakan tambahan kemampuan ekonomis yang diterima bukan dalam bentuk uang. Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura seperti beras, gula dan sebagainya, dan imbalan dalam bentuk kenikmatan seperti penggunaan mobil, rumah, fasilitas pengobatan dan lain sebagainya, bukan merupakan Obyek Pajak.
Apabila yang memberi imbalan berupa natura atau kenikmatan tersebut bukan Wajib Pajak, maka imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan tersebut merupakan penghasilan bagi yang menerima atau memperolehnya. Misalnya, seorang Indonesia menjadi pegawai pada suatu perwakilan diplomatik asing di Jakarta. Pegawai tersebut memperoleh kenikmatan menempati rumah yang disewa oleh perwakilan diplomatik tersebut atau kenikmatan-kenikmatan lainnya. Kenikmatan-kenikmatan tersebut merupakan penghasilan bagi pegawai tersebut, sebab perwakilan diplomatik yang bersangkutan bukan merupakan Wajib Pajak.
Huruf e
Penggantian atau santunan yang diterima oleh orang pribadi dari perusahaan asuransi sehubungan dengan polis asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa, bukan merupakan Obyek Pajak. Hal ini selaras dengan ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1) huruf d, yaitu bahwa premi asuransi yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi untuk kepentingan dirinya tidak boleh dikurangkan dalam penghitungan Penghasilan Kena Pajak.
Huruf f
Berdasarkan ketentuan ini, deviden atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, yayasan atau organisasi yang sejenis, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah, dari penyertaannya pada badan usaha lainnya yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia, tidak termasuk Obyek Pajak. Yang dimaksud dengan badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah pada ayat ini antara lain adalah perusahaan perseroan (Persero), bank pemerintah, bank pembangunan daerah, dan Pertamina.
Perlu ditegaskan bahwa dalam hal penerima deviden atau bagian laba adalah Wajib Pajak selain badan-badan tersebut di atas, seperti orang pribadi baik dalam negeri maupun luar negeri, firma, perseroan komanditer dan sebagainya, maka penghasilan berupa deviden atau bagian laba tersebut tetap merupakan Obyek Pajak.
Huruf g
Pengecualian sebagai Obyek Pajak berdasarkan ketentuan ini hanya berlaku bagi dana pensiun yang pendiriannya telah mendapat pengesahan dari Menteri Keuangan. Yang dikecualikan dari Obyek Pajak adalah:
1) iuran yang diterima dari peserta pensiun, baik atas beban sendiri maupun yang ditanggung pemberi kerja. Pada dasarnya iuran yang diterima oleh dana pensiun tersebut merupakan dana milik dari peserta pensiun, yang akan dibayarkan kembali kepada mereka pada waktunya.
Pengenaan pajak atas iuran tersebut berarti mengurangi hak para peserta pensiun, dan oleh karena itu iuran tersebut dikecualikan sebagai Obyek Pajak.
2) penghasilan dari modal yang ditanamkan di bidang-bidang tertentu berdasarkan keputusan Menteri Keuangan. Penanaman modal oleh dana pensiun dimaksudkan untuk pengembangan dan pemupukan dana untuk pembayaran kembali kepada peserta pensiun di kemudian hari, sehingga penanaman modal tersebut perlu diarahkan pada bidang- bidang yang tidak bersifat spekulatif atau yang berisiko tinggi. Oleh karena itu, penentuan bidang-bidang tertentu dimaksud ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan.
Huruf h
Untuk kepentingan pengenaan pajak, badan-badan sebagaimana disebut dalam ketentuan ini yang merupakan himpunan para anggotanya dikenakan pajak sebagai satu kesatuan, yaitu pada tingkat badan tersebut. Oleh karena itu, bagian laba yang diterima oleh para anggota badan tersebut bukan lagi merupakan Obyek Pajak.
Huruf i
Perusahaan reksa dana adalah perusahaan yang kegiatan utamanya melakukan investasi, investasi kembali, atau jual beli sekuritas. Bagi pemodal khususnya pemodal kecil, perusahaan reksa dana merupakan salah satu pilihan yang aman untuk menanamkan modalnya. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan reksa dana dari investasinya dapat berupa deviden dan bunga obligasi.
Karena perusahaan reksa dana pada umumnya berbentuk perseroan terbatas, sesuai dengan ketentuan pada ayat (3) huruf f, deviden tersebut bukan merupakan Obyek Pajak. Agar tidak mengurangi dana yang tersedia untuk dibagikan kepada para pemodal, terutama pemodal kecil, bunga obligasi juga bukan merupakan Obyek Pajak bagi perusahaan reksa dana.
Huruf j
Perusahaan modal ventura adalah suatu perusahaan yang kegiatan usahanya membiayai badan usaha (sebagai pasangan usaha) dalam bentuk penyertaan modal untuk suatu jangka waktu tertentu. Berdasarkan ketentuan ini, bagian laba yang diterima atau diperoleh dari perusahaan pasangan usaha tidak termasuk sebagai Obyek Pajak, dengan syarat perusahaan pasangan usaha tersebut merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dalam sektor-sektor tertentu yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dan saham perusahaan tersebut tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
Apabila pasangan usaha perusahaan modal ventura memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf f, maka deviden yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura bukan merupakan Obyek Pajak.
Agar kegiatan perusahaan modal ventura dapat diarahkan kepada sektor-sektor kegiatan ekonomi yang memperoleh prioritas untuk dikembangkan, misalnya untuk meningkatkan ekspor nonmigas, maka usaha atau kegiatan dari perusahaan pasangan usaha tersebut diatur oleh Menteri Keuangan. Mengingat perusahaan modal ventura merupakan alternatif pembiayaan dalam bentuk penyertaan modal, maka penyertaan modal yang akan dilakukan oleh perusahaan modal ventura diarahkan pada perusahaan-perusahaan yang belum mempunyai akses ke bursa efek.
Angka 6
Pasal 5
Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, dikenakan pajak di Indonesia melalui bentuk usaha tetap tersebut.
Ayat (1)
Huruf a
Bentuk usaha tetap dikenakan pajak atas penghasilan yang berasal dari usaha atau kegiatan dan dari harta yang dimiliki atau dikuasainya. Dengan demikian semua penghasilan tersebut dikenakan pajak di Indonesia.
Huruf b
Berdasarkan ketentuan ini penghasilan kantor pusat yang berasal dari usaha atau kegiatan, penjualan barang dan pemberian jasa, yang sejenis dengan yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap dianggap sebagai penghasilan bentuk usaha tetap, karena pada hakekatnya usaha atau kegiatan tersebut termasuk dalam ruang lingkup usaha atau kegiatan dan dapat dilakukan oleh bentuk usaha tetap.
Usaha atau kegiatan yang sejenis dengan usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap, misalnya terjadi apabila sebuah bank di luar Indonesia yang mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia, memberikan pinjaman secara langsung tanpa melalui bentuk usaha tetapnya kepada perusahaan di Indonesia.
Penjualan barang yang sejenis dengan yang dijual oleh bentuk usaha tetap, misalnya kantor pusat di luar negeri yang mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia menjual produk yang sama dengan produk yang dijual oleh bentuk usaha tetap tersebut secara langsung tanpa melalui bentuk usaha tetapnya kepada pembeli di Indonesia.
Pemberian jasa oleh kantor pusat yang sejenis dengan jasa yang diberikan oleh bentuk usaha tetap, misalnya kantor pusat perusahaan konsultan di luar Indonesia memberikan konsultasi yang sama dengan jenis jasa yang dilakukan bentuk usaha tetap tersebut secara langsung tanpa melalui bentuk usaha tetapnya kepada klien di Indonesia.
Huruf c
Penghasilan seperti dimaksud dalam Pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat dianggap sebagai penghasilan bentuk usaha tetap di Indonesia, apabila terdapat hubungan efektif antara harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dengan bentuk usaha tetap tersebut. Misalnya, X Inc. menutup perjanjian lisensi dengan PT. Y untuk mempergunakan merk dagang X Inc. Atas penggunaan hak tersebut X Inc. menerima imbalan berupa royalti dari PT. Y. Sehubungan dengan perjanjian tersebut X Inc. juga memberikan jasa manajemen kepada PT. Y melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, dalam rangka pemasaran produk PT. Y yang mempergunakan merk dagang tersebut.
Dalam hal demikian, penggunaan merk dagang oleh PT. Y mempunyai hubungan efektif dengan bentuk usaha tetap di Indonesia, dan oleh karena itu penghasilan X Inc. yang berupa royalti tersebut diperlakukan sebagai penghasilan bentuk usaha tetap.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a
Biaya-biaya administrasi yang dikeluarkan oleh kantor pusat sepanjang digunakan untuk menunjang usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap di Indonesia, boleh dikurangkan dari penghasilan bentuk usaha tetap tersebut. Jenis serta besarnya biaya yang boleh dikurangkan tersebut ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Huruf b dan huruf c
Pada dasarnya bentuk usaha tetap merupakan satu kesatuan dengan kantor pusatnya, sehingga pembayaran oleh bentuk usaha tetap kepada kantor pusatnya, seperti royalti atas penggunaan harta kantor pusat, merupakan perputaran dana dalam satu perusahaan. Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan ini pembayaran bentuk usaha tetap kepada kantor pusatnya berupa royalti, imbalan jasa, dan bunga tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bentuk usaha tetap. Namun apabila kantor pusat dan bentuk usaha tetapnya bergerak dalam bidang usaha perbankan, maka pembayaran berupa bunga pinjaman dapat dibebankan sebagai biaya.
Sebagai konsekuensi dari perlakuan tersebut, pembayaran- pembayaran yang sejenis yang diterima oleh bentuk usaha tetap dari kantor pusatnya tidak dianggap sebagai Obyek Pajak, kecuali bunga yang diterima oleh bentuk usaha tetap dari kantor pusatnya yang berkenaan dengan usaha perbankan.
Angka 7
Pasal 6
Ayat (1)
Beban-beban yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dapat dibagi dalam 2 (dua) golongan, yaitu beban atau biaya yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1 (satu) tahun dan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun. Beban yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1 (satu) tahun merupakan biaya pada tahun yang bersangkutan, misalnya gaji, biaya administrasi dan bunga, biaya rutin pengolahan limbah, dan sebagainya. Sedangkan pengeluaran yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, pembebanannya dilakukan melalui penyusutan atau melalui amortisasi.
Disamping itu, apabila dalam suatu tahun pajak didapat kerugian karena penjualan harta atau karena selisih kurs, maka kerugian-kerugian tersebut dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
Huruf a
Biaya-biaya yang dimaksud pada ayat ini lazim disebut biaya sehari- hari yang boleh dibebankan pada tahun pengeluaran. Untuk dapat dibebankan sebagai biaya, pengeluaran-pengeluaran tersebut harus mempunyai hubungan langsung dengan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan Obyek Pajak. Dengan demikian pengeluaran-pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan Obyek Pajak, tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Contoh : Dana Pensiun A yang pendiriannya telah mendapat pengesahan dari Menteri Keuangan memperoleh penghasilan bruto yang terdiri dari : a) penghasilan yang bukan merupakan Obyek Pajak sesuai Pasal 4 ayat (3) huruf g sebesar Rp 100.000.000,00 b) penghasilan bruto di luar ad. a) sebesar Rp 300.000.000,00 (+)
Jumlah penghasilan bruto Rp 400.000.000,00
==
[sunting]Apabila seluruh biaya adalah sebesar Rp 200.000.000,00 maka biaya yang boleh dikurangkan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan adalah sebesar 3/4 x Rp.200.000.000,00 = Rp 150.000.000,00.
Demikian pula bunga atas pinjaman yang dipergunakan untuk membeli saham yang sudah beredar atau untuk melakukan akuisisi saham milik pemegang saham pendiri atau lama tidak dapat dibebankan sebagai biaya sepanjang deviden yang diterimanya tidak merupakan Obyek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f, kecuali bunga atas pinjaman yang dipergunakan untuk melakukan penyertaan pada perusahaan yang baru didirikan atau mengambil bagian dalam "right issue" oleh perusahaan yang telah lama berdiri. Bunga pinjaman yang tidak boleh dibiayakan tersebut dapat dikapitalisasi.
Pengeluaran-pengeluaran yang tidak ada hubungannya dengan upaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, misalnya pengeluaran-pengeluaran untuk keperluan pribadi pemegang saham, pembayaran bunga atas pinjaman yang dipergunakan untuk keperluan pribadi peminjam serta pembayaran premi asuransi untuk kepentingan pribadi, tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dapat dibebankan sebagai biaya sepanjang Wajib Pajak telah melakukan upaya-upaya penagihan yang maksimal atau terakhir, yaitu Wajib Pajak telah menyerahkan penagihan piutang tersebut kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) atau telah mendapat keputusan Pengadilan.
Pembayaran premi asuransi oleh pemberi kerja untuk kepentingan pegawainya boleh dibebankan sebagai biaya perusahaan, namun bagi pegawai yang bersangkutan premi tersebut merupakan penghasilan. Pengeluaran-pengeluaran sehubungan dengan pekerjaan yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto harus dilakukan dalam bentuk uang. Pengeluaran yang dilakukan dalam bentuk natura atau kenikmatan, misalnya fasilitas menempati rumah dengan cuma-cuma, tidak boleh dibebankan sebagai biaya, dan bagi pihak yang menerima atau menikmati bukan merupakan penghasilan.
Namun demikian, pengeluaran dalam bentuk natura atau kenikmatan tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (1) huruf e, boleh dibebankan sebagai biaya dan bagi pihak yang menerima atau menikmati bukan merupakan penghasilan.
Pengeluaran-pengeluaran yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto harus dilakukan dalam batas-batas yang wajar sesuai dengan adat kebiasaan pedagang yang baik. Dengan demikian apabila pengeluaran yang melampaui batas kewajaran tersebut dipengaruhi oleh hubungan istimewa, maka jumlah yang melampaui batas kewajaran tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto.
Selanjutnya lihat ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1) huruf f dan Pasal 18 beserta penjelasannya.
Pajak-pajak yang menjadi beban perusahaan dalam rangka usahanya selain Pajak Penghasilan, misalnya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Meterai (BM), Pajak Pembangunan I (PP.I), dapat dibebankan sebagai biaya.
Mengenai pengeluaran untuk promosi, perlu dibedakan antara biaya yang benar-benar dikeluarkan untuk promosi dengan biaya yang pada hakekatnya merupakan sumbangan.. Biaya yang benar-benar dikeluarkan untuk promosi boleh dikurangkan dari penghasilan bruto.
Huruf b
Pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan harta tak berwujud serta pengeluaran lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, pembebanannya dilakukan melalui penyusutan atau amortisasi.
Selanjutnya lihat ketentuan Pasal 9 ayat (2), Pasal 11, dan Pasal 11A beserta penjelasannya.
Pengeluaran yang menurut sifatnya merupakan pembayaran di muka, misalnya sewa untuk beberapa tahun yang dibayar sekaligus, pembebanannya dapat dilakukan melalui alokasi.
Huruf c
Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan boleh dibebankan sebagai biaya, sedangkan iuran yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya tidak atau belum disahkan oleh Menteri Keuangan tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Huruf d
Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang menurut tujuannya semula tidak dimaksudkan untuk dijual atau dialihkan yang dimiliki dan dipergunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki tetapi tidak digunakan dalam perusahaan, atau yang dimiliki tetapi tidak digunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan, tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto.
Huruf e
Kerugian karena selisih kurs mata uang asing dapat disebabkan oleh adanya fluktuasi kurs yang terjadi sehari-hari, atau oleh adanya kebijaksanaan pemerintah di bidang moneter. Kerugian selisih kurs mata uang asing yang disebabkan oleh fluktuasi kurs, pembebanannya dilakukan berdasarkan sistem pembukuan yang dianut, dan harus dilakukan secara taat asas. Apabila Wajib Pajak menggunakan sistem pembukuan berdasarkan kurs tetap, pembebanan kerugian selisih kurs dilakukan pada saat terjadinya realisasi atas perkiraan mata uang asing tersebut. Apabila Wajib Pajak menggunakan sistem pembukuan berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia atau kurs yang sebenarnya berlaku pada akhir tahun, Pembebanannya dilakukan pada setiap akhir tahun berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia atau kurs yang sebenarnya berlaku pada akhir tahun.
Rugi selisih kurs karena kebijaksanaan pemerintah di bidang moneter dibukukan dalam perkiraan sementara di neraca dan pembebanannya dilakukan bertahap berdasarkan realisasi mata uang asing tersebut.
Huruf f
Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan dalam rangka menemukan teknologi atau sistem baru bagi pengembangan perusahaan boleh dibebankan sebagai biaya perusahaan.
Huruf g
Biaya yang dikeluarkan untuk keperluan bea siswa, magang dan pelatihan dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya manusia dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan, dengan memperhatikan kewajaran dan kepentingan perusahaan.
Ayat (2) Jika pengeluaran-pengeluaran yang diperkenankan berdasarkan ketentuan pada ayat (1) setelah dikurangkan dari penghasilan bruto didapat kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan netto atau laba fiskal selama 5 (lima) tahun berturut-turut dimulai sejak tahun berikutnya sesudah tahun didapatnya kerugian tersebut.
Contoh : PT. A dalam tahun 1995 menderita kerugian fiskal sebesar Rp 1.200.000.000,00. Dalam 5 (lima) tahun berikutnya rugi laba fiskal PT. A sebagai berikut : 1996 : laba fiskal Rp 200.000.000,00 1997 : rugi fiskal (Rp 300.000.000,00) 1998 : laba fiskal Rp N I H I L 1999 : laba fiskal Rp 100.000.000,00 2000 : laba fiskal Rp 800.000.000,00
Kompensasi kerugian dilakukan sebagai berikut : Rugi fiskal tahun 1995 (Rp 1.200.000.000,00) Laba fiskal tahun 1996 Rp 200.000.000,00
(+)
sisa rugi fiskal tahun 1995 (Rp 1.000.000.000,00) Rugi fiskal tahun 1997 (Rp 300.000.000,00)
Sisa rugi fiskal tahun 1995 (Rp 1.000.000.000,00) Laba fiskal tahun 1998 Rp N I H I L
Sisa rugi fiskal tahun 1995 (Rp 1.000.000.000,00) Laba fiskal tahun 1999 Rp 100.000.000,00
(+)
Sisa rugi fiskal tahun 1995 (Rp 900.000.000,00) Laba fiskal tahun 2000 Rp 800.000.000,00
(+)
Sisa rugi fiskal tahun 1995 (Rp 100.000.000,00)
===
[sunting]Rugi fiskal tahun 1995 sebesar Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) yang masih tersisa pada akhir tahun 2000, tidak boleh dikompensasikan lagi dengan laba fiskal tahun 2001, sedangkan rugi fiskal 1997 sebesar Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) hanya boleh dikompensasikan dengan laba fiskal tahun 2001 dan tahun 2002, karena jangka waktu 5 tahun yang dimulai sejak tahun 1998 berakhir pada akhir tahun 2002.
Ayat (3)
Dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, kepadanya diberikan pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
Angka 8
Pasal 7
Ayat (1)
Untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak dari Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, penghasilan netonya dikurangi dengan jumlah Penghasilan Tidak Kena Pajak. Disamping untuk dirinya, kepada Wajib Pajak yang sudah kawin diberikan tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak.
Bagi Wajib Pajak yang isterinya menerima atau memperoleh penghasilan yang digabung dengan penghasilannya, maka Wajib Pajak tersebut mendapat tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk seorang isteri sebesar Rp 1.728.000,00. (satu juta tujuh ratus dua puluh delapan ribu rupiah).
Wajib Pajak yang mempunyai anggota keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus yang menjadi tanggungan sepenuhnya, misalnya orang tua, mertua, anak kandung, anak angkat, diberikan tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk paling banyak 3 (tiga) orang. Yang dimaksud dengan anggota keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya adalah anggota keluarga yang tidak mempunyai penghasilan dan seluruh biaya hidupnya ditanggung oleh Wajib Pajak.
Contoh : Wajib Pajak A mempunyai seorang isteri dengan tanggungan 4 (empat) orang anak. Apabila isterinya memperoleh penghasilan dari satu pemberi kerja yang sudah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha suami atau anggota keluarga lainnya, maka besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang diberikan kepada Wajib Pajak A adalah sebesar Rp 5.184.000,00 {Rp 1.728.000,00 + Rp 864.000,00 + (3 x Rp 864.000,00)}. Sedangkan untuk isterinya, pada saat pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 oleh pemberi kerja, diberikan Penghasilan Tidak Kena Pajak sebesar Rp 1.728.000,00. Apabila penghasilan isteri harus digabung dengan penghasilan suami, maka besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang diberikan kepada Wajib Pajak A adalah sebesar Rp 6.912.000,00 (Rp 5.184.000,00 + Rp 1.728.000,00).
Ayat (2)
Penghitungan besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan menurut keadaan Wajib Pajak pada awal tahun pajak atau pada awal bagian tahun pajak.
Misalnya, pada tanggal 1 Januari 1995 Wajib Pajak B berstatus kawin dengan tanggungan 1 (satu) orang anak. Apabila anak yang kedua lahir setelah tanggal 1 Januari 1995, maka besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang diberikan kepada Wajib Pajak B untuk tahun pajak 1995 tetap dihitung berdasarkan status kawin dengan 1 (satu) anak.
Ayat (3)
Berdasarkan ketentuan ini Menteri Keuangan diberikan wewenang untuk mengubah besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan moneter serta perkembangan harga pokok setiap tahunnya.
Angka 9
Pasal 8
Sistem pengenaan pajak berdasarkan Undang-undang ini menempatkan keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis, artinya penghasilan atau kerugian dari seluruh anggota keluarga digabungkan sebagai satu kesatuan yang dikenakan pajak dan pemenuhan kewajiban pajaknya dilakukan oleh kepala keluarga. Namun, dalam hal-hal tertentu pemenuhan kewajiban pajak tersebut dilakukan secara terpisah.
Ayat (1)
Penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah kawin pada awal tahun pajak atau pada awal bagian tahun pajak dianggap sebagai penghasilan atau kerugian suaminya dan dikenakan pajak sebagai satu kesatuan. Penggabungan tersebut tidak dilakukan dalam hal penghasilan isteri diperoleh dari pekerjaan sebagai pegawai yang telah dipotong pajak oleh pemberi kerja, dengan ketentuan bahwa: a. penghasilan isteri tersebut semata-mata diperoleh dari satu pemberi kerja, dan b. penghasilan isteri tersebut berasal dari pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya.
Contoh : Wajib pajak A, yang memperoleh penghasilan dari usaha sebesar Rp.100.000.000,00, mempunyai seorang isteri yang menjadi pegawai dengan penghasilan sebesar Rp.50.000.000,00. Apabila penghasilan isteri tersebut diperoleh dari satu pemberi kerja dan telah dipotong pajak oleh pemberi kerja dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha suami atau anggota keluarga lainnya, maka penghasilan sebesar Rp 50.000.000,00 tidak digabung dengan penghasilan A dan pengenaan pajak atas penghasilan isteri tersebut bersifat final.
Apabila selain menjadi pegawai, isteri A juga menjalankan usaha, misalnya salon kecantikan dengan penghasilan sebesar Rp 75.000.000,00, maka seluruh penghasilan isteri sebesar Rp 125.000.000,00 (Rp 50.000.000,00 + Rp.75.000.000,00 ) digabungkan dengan penghasilan A. Dengan
penggabungan tersebut A dikenakan pajak atas penghasilan sebesar Rp 225.000.000,00 (Rp.100.000.000,00 + Rp 50.000.000,00 + Rp 75.000.000,00). Potongan pajak atas penghasilan isteri tidak bersifat final, artinya dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang atas penghasilan sebesar Rp 225.000.000,00 tersebut yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan suami.
Ayat (2) dan Ayat (3)
dalam hal suami-isteri telah hidup terpisah, penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan pengenaan pajaknya dilakukan sendiri-sendiri. Namun, apabila suami-isteri mengadakan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan secara tertulis, penghitungan pajaknya dilakukan berdasarkan penjumlahan penghasilan netto suami-isteri dan masing-masing memikul beban pajak sebanding dengan besarnya penghasilan netto.
Contoh : Penghitungan pajak bagi suami-isteri yang mengadakan perjanjian pemisahan penghasilan secara tertulis adalah sebagai berikut :
Dari contoh pada ayat (1), apabila isterinya menjalankan usaha salon kecantikan, pengenaan pajaknya dihitung berdasarkan jumlah penghasilan sebesar Rp.225.000.000,00.
Misalnya pajak yang terutang atas jumlah penghasilan tersebut adalah sebesar Rp.56.250.000,00, maka untuk masing-masing suami dan isteri pengenaan pajaknya dihitung sebagai berikut :
- Suami : 100.000.000,00 x Rp 56.250.000,00 =Rp 225.000.000,00
225.000.000,00
- Isteri : 125.000.000,00 x Rp 56.250.000,00 = Rp 31.250.000,00
225.000.000,00
Ayat (4)
Penghasilan anak yang belum dewasa yang tidak digabung dengan penghasilan orang tuanya hanya penghasilan yang berasal dari pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan usaha atau kegiatan dari orang yang mempunyai hubungan istimewa dengan anak tersebut.
Yang dimaksud dengan anak yang belum dewasa adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah.
Apabila seorang anak belum dewasa, yang orang tuanya telah berpisah, menerima atau memperoleh penghasilan maka pengenaan pajaknya digabungkan dengan penghasilan ayah atau ibunya berdasarkan keadaan yang sebenarnya.
Angka 10
Pasal 9
Ayat (1)
Pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan Wajib Pajak dapat dibedakan antara pengeluaran yang boleh dan yang tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Pada prinsipnya biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto adalah biaya yang mempunyai hubungan langsung dengan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan Obyek Pajak yang pembebanannya dapat dilakukan dalam tahun pengeluaran atau selama masa manfaat dari pengeluaran tersebut. Pengeluaran yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto meliputi pengeluaran yang sifatnya adalah pemakaian penghasilan, atau yang jumlahnya melebihi kewajaran.
Huruf a
Pembagian laba dengan aman dan dalam bentuk apapun, termasuk pembayaran deviden kepada pemilik modal, pembagian sisa hasil usaha koperasi kepada anggotanya, dan pembayaran deviden oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, tidak boleh dikurangkan dari penghasilan badan yang membagikannya karena pembagian laba tersebut merupakan bagian dari penghasilan badan tersebut yang akan dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang ini.
Huruf b
Tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan adalah biaya-biaya yang dikeluarkan atau dibebankan oleh perusahaan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu atau anggota, seperti perbaikan rumah pribadi, biaya perjalanan, biaya premi asuransi yang dibayar oleh perusahaan untuk kepentingan pribadi para pemegang saham atau keluarganya.
Huruf c
Pembentukan atau pemupukan dana cadangan pada prinsipnya tidak dapat dibebankan sebagai biaya dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak. Namun untuk jenis-jenis usaha tertentu yang secara ekonomis memang diperlukan adanya cadangan untuk menutup beban atau kerugian yang akan terjadi dikemudian hari, yang terbatas pada piutang tak tertagih untuk usaha bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi, dan cadangan untuk usaha asuransi, dan cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan, maka perusahaan yang bersangkutan dapat melakukan pembentukan dana cadangan yang ketentuan dan syarat-syaratnya ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Huruf d
Premi untuk asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak orang pribadi tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto, dan pada saat orang pribadi dimaksud menerima penggantian atau santunan asuransi, penerimaan tersebut bukan merupakan Obyek Pajak. Apabila premi asuransi tersebut dibayar atau ditanggung oleh pemberi kerja, maka bagi pemberi kerja pembayaran tersebut boleh dibebankan sebagai biaya dan bagi pegawai yang bersangkutan merupakan penghasilan yang merupakan Obyek Pajak.
Huruf e
Sebagaimana telah diuraikan dalam penjelasan Pasal 4 ayat (3) huruf d, penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan dianggap bukan merupakan Obyek Pajak. Selaras dengan hal tersebut maka dalam ketentuan ini, penggantian atau imbalan dimaksud dianggap bukan merupakan pengeluaran yang dapat dibebankan sebagai biaya bagi pemberi kerja. Namun, dalam rangka menunjang kebijaksanaan pemerintah untuk mendorong pembangunan di daerah terpencil, berdasarkan keputusan Menteri Keuangan, penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan yang diberikan berkenaan dengan pelaksanaan pekerjaan di daerah tersebut, boleh dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja.
Dalam hal pemberian kepada pegawai yang merupakan keharusan dalam pelaksanaan pekerjaan, seperti pakaian dan peralatan untuk keselamatan kerja, pakaian seragam, antar jemput karyawan, penyediaan makanan dan minuman serta penginapan untuk awak kapal, dan sejenisnya, pemberian tersebut bukan merupakan imbalan tetapi boleh dibebankan sebagai biaya bagi pemberi kerja.
Huruf f
Dalam hubungan pekerjaan, kemungkinan dapat terjadi pembayaran imbalan yang diberikan kepada pegawai yang juga pemegang saham. Karena pada dasarnya pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto adalah pengeluaran yang jumlahnya wajar sesuai dengan kelaziman usaha, maka berdasarkan ketentuan ini, jumlah yang melebihi kewajaran tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Misalnya seorang tenaga ahli yang adalah pemegang saham dari suatu badan, memberikan jasa kepada badan tersebut dengan memperoleh imbalan sebesar Rp.5.000.000,00 (lima juta rupiah). Apabila untuk jasa yang sama yang diberikan oleh tenaga ahli lain yang setara hanya dibayar sebesar Rp.2.000.000,00, (dua juta rupiah) maka jumlah sebesar Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah) tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Bagi tenaga ahli yang juga sebagai pemegang saham tersebut, jumlah sebesar Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dimaksud dianggap sebagai deviden.
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Yang dimaksudkan dengan Pajak Penghasilan dalam ketentuan ini adalah Pajak Penghasilan yang terutang oleh Wajib Pajak yang bersangkutan.
Huruf i
Biaya untuk keperluan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya, pada hakekatnya merupakan penggunaan penghasilan oleh Wajib Pajak yang bersangkutan. Oleh karena itu biaya tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan.
Huruf j
Anggota firma, persekutuan dan perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham diperlakukan sebagai satu kesatuan, sehingga tidak ada imbalan sebagai gaji. Dengan demikian gaji yang diterima oleh anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham, bukan merupakan pembayaran yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto badan tersebut.
Huruf k
Cukup jelas
Ayat (2)
Sesuai dengan kelaziman usaha, pengeluaran yang mempunyai peranan terhadap penghasilan untuk beberapa tahun, pembebanannya dilakukan sesuai dengan jumlah tahun lamanya pengeluaran tersebut berperan terhadap penghasilan. Sejalan dengan prinsip penyelarasan antara pengeluaran dengan penghasilan, dalam ketentuan ini pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak dapat dikurangkan sebagai biaya perusahaan sekaligus pada tahun pengeluaran, melainkan dibebankan melalui penyusutan dan amortisasi selama masa manfaatnya sebagaimana diatur dalam Pasal 11 dan Pasal 11A.
Angka 11
Pasal 10
Ketentuan ini mengatur tentang cara penilaian harta, termasuk persediaan, dalam rangka menghitung penghasilan sehubungan dengan penggunaan harta dalam perusahaan, menghitung keuntungan atau kerugian apabila terjadi penjualan atau pengalihan harta, dan penghitungan penghasilan dari penjualan barang dagangan.
Ayat (1)
Pada umumnya dalam jual beli harta, harga perolehan harta bagi pihak pembeli adalah harga yang sesungguhnya dibayar dan harga penjualan bagi pihak penjual adalah harga yang sesungguhnya diterima. Termasuk dalam harga perolehan adalah harga beli dan biaya yang dikeluarkan dalam rangka memperoleh harta tersebut, seperti bea masuk, biaya pengangkutan dan biaya pemasangan.
Dalam hal jual beli yang dipengaruhi hubungan istimewa, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4), maka bagi pihak pembeli nilai perolehannya adalah jumlah yang seharusnya dibayar dan bagi pihak penjual nilai penjualannya adalah jumlah yang seharusnya diterima. Adanya hubungan istimewa antara pembeli dan penjual dapat menyebabkan harga perolehan menjadi lebih besar atau lebih kecil dibandingkan dengan jika jual beli tersebut tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa. Oleh karena itu dalam ketentuan ini diatur bahwa nilai perolehan atau nilai penjualan harta bagi pihak-pihak yang bersangkutan adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau yang seharusnya diterima.
Ayat (2)
Harta yang diperoleh berdasarkan transaksi tukar-menukar dengan harta lain, nilai perolehan atau nilai penjualannya adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar.
Contoh :
PT. A PT. B
--------------
( Harta X ) ( Harta Y )
Nilai sisa buku Rp 10.000.000,00 Rp 12.000.000,00
Harga Pasar Rp 20.000.000,00 Rp 20.000.000,00
Antara PT. A dan PT. B terjadi pertukaran harta. Walaupun tidak terdapat realisasi pembayaran antara pihak-pihak yang bersangkutan, namun karena harga pasar harta yang dipertukarkan adalah Rp 20.000.000,00, maka jumlah sebesar Rp.20.000.000,00 merupakan nilai perolehan yang seharusnya dikeluarkan atau nilai penjualan yang seharusnya diterima.
Selisih antara harga pasar dengan nilai sisa buku harta yang dipertukarkan merupakan keuntungan yang dikenakan pajak. PT. A memperoleh keuntungan sebesar Rp 10.000.000,00 (Rp 20.000.000,00 - Rp 10.000.000,00), dan PT. B memperoleh keuntungan sebesar Rp 8.000.000,00 (Rp 20.000.000,00 - Rp.12.000.000,00).
Ayat (3)
Pada prinsipnya apabila terjadi pengalihan harta, penilaian harta yang dialihkan dilakukan berdasarkan harga pasar. Pengalihan harta tersebut dapat dilakukan dalam rangka pengembangan usaha berupa penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha. Selain itu pengalihan tersebut dapat dilakukan pula dalam rangka likuidasi usaha atau sebab lainnya.
Selisih antara harga pasar dengan nilai sisa buku harta yang dialihkan merupakan penghasilan yang dikenakan pajak.
Contoh : PT. A dan PT. B melakukan peleburan dan membentuk badan baru, yaitu PT. C. Nilai sisa buku dan harga pasar harta dari kedua badan tersebut adalah sebagai berikut :
PT A PT B Nilai sisa buku Rp 200.000.000,00 Rp 300.000.000,00 Harga Pasar Rp 300.000.000,00 Rp 450.000.000,00
Pada dasarnya, penilaian harta yang diserahkan oleh PT. A dan PT. B dalam rangka peleburan menjadi PT. C adalah harga pasar dari harta. Dengan demikian, PT. A mendapat keuntungan sebesar Rp 100.000.000,00 (Rp 300.000.000,00 - Rp.200.000.000,00) dan PT. B mendapat keuntungan sebesar Rp 150.000.000,00 (Rp 450.000.000,00 - Rp 300.000.000,00). Sedangkan PT. C membukukan semua harta tersebut dengan jumlah Rp 750.000.000,00 (Rp.300.000.000,00 + Rp 450.000.000,00).
Namun dalam rangka menyelaraskan dengan kebijakan di bidang sosial, ekonomi, investasi, moneter dan kebijakan lainnya, Menteri Keuangan diberi wewenang untuk menetapkan nilai lain selain harga pasar, misalnya atas dasar nilai sisa buku ("pooling of interest"). Dalam hal demikian PT. C membukukan penerimaan harta dari PT. A dan PT. B tersebut sebesar Rp 500.000.000,00 (Rp 200.000.000,00 + Rp 300.000.000,00).
Ayat (4)
Dalam hal terjadi penyerahan harta karena hibah, bantuan, sumbangan yang memenuhi syarat dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a atau warisan, maka nilai perolehan bagi pihak yang menerima harta adalah nilai sisa buku harta dari pihak yang melakukan penyerahan. Apabila Wajib Pajak tidak menyelenggarakan pembukuan sehingga nilai sisa buku tidak diketahui, maka nilai perolehan atas harta ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Dalam hal terjadi penyerahan harta karena hibah, bantuan, sumbangan yang tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a, maka nilai perolehan bagi pihak yang menerima harta adalah harga pasar.
Ayat (5)
Penyerahan Wajib Pajak dalam permodalan suatu badan dapat dipenuhi dengan setoran tunai atau pengalihan harta.
Ketentuan ini mengatur tentang penilaian harta yang diserahkan sebagai pengganti saham atau penyertaan modal dimaksud, yaitu dinilai berdasarkan nilai pasar dari harta yang dialihkan tersebut.
Contoh : Wajib Pajak X menyerahkan 20 unit mesin bubut yang nilai bukunya adalah Rp.25.000.000,00 kepada PT. Y sebagai pengganti penyertaan sahamnya dengan nilai nominal Rp 20.000.000,00. Harga pasar mesin-mesin bubut tersebut adalah Rp 40.000.000,00. Dalam hal ini PT. Y akan mencatat mesin bubut tersebut sebagai aktiva dengan nilai Rp 40.000.000,00 dan sebesar nilai tersebut bukan merupakan penghasilan bagi PT. Y. Selisih antara nilai nominal saham dengan nilai pasar harta, yaitu sebesar Rp 20.000.000,00 (Rp 40.000.000,00 - Rp.20.000.000,00) dibukukan sebagai agio. Bagi Wajib Pajak X selisih sebesar Rp.15.000.000,00 (Rp 40.000.000,00 - Rp 25.000.000,00) merupakan Obyek Pajak.
Ayat (6)
Pada umumnya terdapat 3 (tiga) golongan persediaan barang, yaitu barang jadi atau barang dagangan, barang dalam proses produksi, bahan baku dan bahan pembantu.
Ketentuan pada ayat ini mengatur bahwa penilaian persediaan barang hanya boleh menggunakan harga perolehan. Penilaian pemakaian persediaan untuk penghitungan harga pokok hanya boleh dilakukan dengan cara rata-rata atau dengan cara mendahulukan persediaan yang didapat pertama ("first-in first-out atau disingkat FIFO"). Sesuai dengan kelaziman, cara penilaian tersebut juga diberlakukan terhadap sekuritas.
Contoh : 1. Persediaan Awal 100 satuan @ Rp 9,00 2. Pembelian 100 satuan @ Rp 12,00 3. Pembelian 100 satuan @ Rp 11,25 4. Penjualan/dipakai 100 satuan 5. Penjualan/dipakai 100 satuan
Penghitungan harga pokok dan nilai persediaan dengan menggunakan cara rata-rata misalnya sebagai berikut :
No. Didapat Dipakai Sisa/Persediaan
1. 100s @Rp 9,00 = Rp 900,- 2. 100s @Rp. 12,00 = Rp. 1.200,- 200s @Rp. 10,50 = Rp. 2.100,- 3. 100s @Rp. 11,25 = Rp. 1.125,- 300s @Rp. 10,75 = Rp. 3.225,- 4. 100s @Rp. 10,75 = Rp. 1.075,- 200s @Rp. 10,75 = Rp. 2.150,- 5. 100s @Rp. 10,75 = Rp. 1.075,- 100s @Rp. 10,75 = Rp. 1.075,-
Penghitungan harga pokok penjualan dan nilai persediaan dengan menggunakan cara FIFO misalnya sebagai berikut :
No. Didapat Dipakai Sisa/Persediaan
1. 100s @Rp. 9,00 = Rp. 900,-
2. 100s @Rp. 12,00 = Rp. 1.200,- 100s @Rp. 9,00 = Rp. 900,- 100s @Rp. 12,00 = Rp. 1.200,-
3. 100s @Rp. 11,25 = Rp. 1.125,- 100s @Rp. 9,00 = Rp. 900,- 100s @Rp. 12,00 = Rp. 1.200,- 100s @Rp. 11,25 = Rp. 1.125,-
4. 100s @Rp. 9,00 = Rp. 900,- 100s @Rp. 12,00 = Rp. 1.200,- 100s @Rp. 11,25 = Rp. 1.125,-
5. 100s @Rp. 12,00 = Rp. 1.200,- 100s @Rp. 11,25 = Rp. 1.125,-
Sekali Wajib Pajak memilih salah satu cara penilaian pemakaian persediaan untuk penghitungan harga pokok tersebut, maka untuk tahun-tahun selanjutnya harus digunakan cara yang sama.
Angka 12
Pasal 11
Ayat (1) dan Ayat (2)
Pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun harus dibebankan sebagai biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan dengan cara mengalokasikan pengeluaran tersebut selama masa manfaat harta tersebut melalui penyusutan. Tanah tidak boleh disusutkan, kecuali apabila tanah tersebut dipergunakan dalam perusahaan atau dimiliki untuk memperoleh penghasilan dengan syarat nilai tanah tersebut berkurang karena penggunaannya untuk memperoleh penghasilan, misalnya tanah dipergunakan untuk perusahaan genteng, perusahaan keramik atau perusahaan batu bata. Metode penyusutan yang dibolehkan berdasarkan ketentuan ini adalah (a) dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang ditetapkan bagi harta tersebut (metode garis lurus atau "straight-line method"), atau (b) dalam bagian-bagian yang menurun dengan cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku (metode saldo menurun atau "declining-balance method"). Penggunaan metode penyusutan atas harta harus dilakukan secara taat asas.
Untuk harta berwujud berupa bangunan hanya dapat disusutkan dengan metode garis lurus. Harta berwujud selain bangunan dapat disusutkan dengan metode garis lurus atau metode saldo menurun.
Dalam hal Wajib Pajak memilih menggunakan metode saldo menurun, nilai sisa buku pada akhir masa manfaat harus disusutkan sekaligus.
Sesuai dengan pembukuan Wajib Pajak, alat-alat kecil ("small tools") yang sama atau sejenis dapat disusutkan dalam satu golongan.
Contoh Penggunaan metode garis lurus :
Sebuah gedung yang harga perolehannya Rp 100.000.000,00 dan masa manfaatnya 20 (dua puluh) tahun, penyusutannya setiap tahun adalah sebesar Rp.5.000.000,00 (Rp 100.000.000,00 : 20).
Contoh Penggunaan metode saldo menurun :
Sebuah mesin yang dibeli dan ditempatkan pada bulan Juni 1995 dengan harga perolehan sebesar Rp 150.000.000,00. Masa manfaat dari mesin tersebut adalah 4 (empat) tahun. Kalau tarif penyusutan misalnya ditetapkan 50% (lima puluh persen), maka penghitungan penyusutannya adalah sebagai berikut :
Tahun Tarif Penyusutan Nilai Sisa Buku
0 150.000.000,00 1 50% 75.000.000,00 75.000.000,00 2 50% 37.500.000,00 37.500.000,00 3 50% 18.750.000,00 18.750.000,00 4 disusutkan sekaligus 18.750.000,00 0
Ayat (3) dan Ayat (4)
Ketentuan ini mengatur saat mulainya penyusutan, yaitu pada tahun dilakukannya pengeluaran, atau pada tahun selesainya pengerjaan suatu harta. Namun berdasarkan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, saat mulainya penyusutan dapat dilakukan pada tahun harta tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan atau pada tahun harta tersebut mulai menghasilkan. Yang dimaksud dengan mulai menghasilkan dalam ketentuan ini dikaitkan dengan saat mulai berproduksi dan tidak dikaitkan dengan saat diterima atau diperolehnya penghasilan.
Contoh 1 Pengeluaran untuk pembangunan sebuah gedung adalah sebesar Rp.100.000.000,00. Pembangunan dimulai pada bulan Oktober 1995 dan selesai untuk digunakan pada bulan Maret 1996. Penyusutan atas harga perolehan bangunan gedung tersebut dimulai pada tahun pajak 1996.
Contoh 2 PT. X yang bergerak di bidang perkebunan kopi membeli traktor pada tahun 1999. Perkebunan tersebut mulai menghasilkan (panen) pada tahun 2000. Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, penyusutan traktor tersebut dapat dilakukan mulai tahun 2000.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Untuk memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak dalam melakukan penyusutan atas pengeluaran harta berwujud, ketentuan ini mengatur kelompok masa manfaat harta dan tarif penyusutan baik menurut metode garis lurus maupun saldo menurun.
Yang dimaksud bangunan tidak permanen adalah bangunan yang bersifat sementara dan terbuat dari bahan yang tidak tahan lama atau bangunan yang dapat dipindah-pindahkan, yang masa manfaatnya tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun. Misalnya, barak atau asrama yang dibuat dari kayu untuk karyawan.
Ayat (7)
Dalam rangka menyesuaikan dengan karakteristik bidang-bidang usaha tertentu, seperti pertambangan minyak dan gas bumi, perkebunan tanaman keras, perlu diberikan pengaturan tersendiri untuk penyusutan harta berwujud yang digunakan dalam usaha tersebut yang ketentuannya ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan.
Ayat (8) dan Ayat (9)
Pada dasarnya keuntungan atau kerugian karena pengalihan harta dikenakan pajak dalam tahun dilakukannya pengalihan harta tersebut.
Apabila harta tersebut dijual atau terbakar, maka penerimaan netto dari penjualan harta tersebut, yaitu selisih antara harga penjualan dengan biaya yang dikeluarkan berkenaan dengan penjualan tersebut, dan/atau penggantian asuransinya dibukukan sebagai penghasilan pada tahun terjadinya penjualan atau pada tahun diterimanya penggantian asuransi, dan nilai sisa buku dari harta tersebut dibebankan sebagai kerugian dalam tahun pajak yang bersangkutan.
Dalam hal penggantian asuransi yang diterima jumlahnya baru dapat diketahui dengan pasti di masa kemudian, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak agar jumlah sebesar kerugian tersebut dapat dibebankan dalam tahun penggantian asuransi tersebut.
Ayat (10)
Menyimpang dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (8), dalam hal pengalihan harta berwujud yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, nilai sisa bukunya tidak boleh dibebankan sebagai kerugian oleh pihak yang mengalihkan.
Ayat (11)
Dalam rangka memberikan keseragaman kepada Wajib Pajak untuk melakukan penyusutan, Menteri Keuangan diberi wewenang menetapkan jenis-jenis harta yang termasuk dalam setiap kelompok masa manfaat yang harus diikuti oleh Wajib Pajak.
Angka 13
Pasal 11A
Ayat (1)
Harga perolehan harta tak berwujud dan pengeluaran lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun, diamortisasi dengan metode (a) dalam bagian-bagian yang sama setiap tahun selama masa manfaat, atau (b) dalam bagian-bagian yang menurun setiap tahun dengan cara menerapkan tarif amortisasi atas nilai sisa buku.
Khusus untuk amortisasi harta tak berwujud yang menggunakan metode saldo menurun, pada akhir masa manfaat nilai sisa buku harta tak berwujud atau hak-hak tersebut diamortisasi sekaligus.
Ayat (2)
Penentuan masa manfaat dan tarif amortisasi atas pengeluaran harta tak berwujud dimaksudkan untuk memberikan keseragaman bagi Wajib Pajak dalam melakukan amortisasi. Wajib Pajak dapat melakukan amortisasi sesuai dengan metode yang dipilihnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan masa manfaat yang sebenarnya dari tiap harta tak berwujud. Tarif amortisasi yang diterapkan didasarkan pada kelompok masa manfaat sebagaimana yang diatur dalam ketentuan ini. Untuk harta tidak berwujud yang masa manfaatnya tidak tercantum pada kelompok masa manfaat yang ada, maka Wajib Pajak menggunakan masa manfaat yang terdekat. Misalnya harta tak berwujud dengan masa manfaat 4 (empat) tahun atau 8 (delapan) tahun. Dalam hal masa manfaat yang sebenarnya 5 (lima) tahun, maka harta tak berwujud tersebut diamortisasi dengan menggunakan kelompok masa manfaat 4 (empat) tahun.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Metode satuan produksi dilakukan dengan menerapkan persentase amortisasi yang besarnya setiap tahun sama dengan persentase perbandingan antara realisasi penambangan minyak dan gas bumi pada tahun yang bersangkutan dengan taksiran jumlah seluruh kandungan minyak dan gas bumi di lokasi tersebut yang dapat diproduksi.
Apabila ternyata jumlah produksi yang sebenarnya lebih kecil dari yang diperkirakan, sehingga masih terdapat sisa pengeluaran untuk memperoleh hak atau pengeluaran lain, maka atas sisa pengeluaran tersebut boleh dibebankan sekaligus dalam tahun pajak yang bersangkutan.
Ayat (5)
Pengeluaran untuk memperoleh hak penambangan selain minyak dan gas bumi, hak pengusahaan hutan, atau hasil alam lainnya seperti hak pengusahaan hasil laut diamortisasi berdasarkan metode satuan produksi dengan jumlah setinggi-tingginya 20 % (dua puluh persen) setahun.
Contoh : Pengeluaran untuk memperoleh hak pengusahaan hutan, yang mempunyai potensi 10.000.000 (sepuluh juta) ton kayu, sebesar Rp 500.000.000,00 diamortisasi sesuai dengan persentase satuan produksi yang direalisasikan dalam tahun yang bersangkutan. JIka dalam satu tahun pajak ternyata jumlah produksi mencapai 3.000.000 (tiga juta) ton yang berarti 30 % (tiga puluh persen) dari potensi yang tersedia, maka walaupun jumlah produksi pada tahun tersebut mencapai 30 % (tiga puluh perseratus) dari jumlah potensi yang tersedia, besarnya amortisasi yang diperkenankan untuk dikurangkan dari penghasilan bruto pada tahun tersebut adalah 20 % (dua puluh persen) dari pengeluaran atau Rp 100.000.000,00.
Ayat (6)
Dalam pengertian pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial, adalah biaya-biaya yang dikeluarkan sebelum operasi komersial, misalnya biaya studi kelayakan dan biaya produksi percobaan tetapi tidak termasuk biaya-biaya operasional yang sifatnya rutin, seperti gaji pegawai, biaya rekening listrik dan telepon, dan biaya kantor lainnya. Untuk pengeluaran operasional yang rutin ini tidak boleh dikapitalisasi tetapi dibebankan sekaligus pada tahun pengeluaran.
Ayat (7)
Contoh : PT. X mengeluarkan biaya untuk memperoleh hak penambangan minyak dan gas bumi di suatu lokasi sebesar Rp 500.000.000,00. Taksiran jumlah kandungan minyak di daerah tersebut adalah sebanyak 200.000.000 (dua ratus juta) barel. setelah produksi minyak dan gas bumi mencapai 100.000.000 (seratus juta) barel, PT. X menjual hak penambangan tersebut kepada pihak lain dengan harga sebesar Rp 300.000.000,00. Penghitungan penghasilan dan kerugian dari penjualan hak tersebut adalah sebagai berikut :
Harga perolehan Rp 500.000.000,00 Amortisasi yang telah dilakukan 100.000.000/200.000.000 barel (50 %) Rp 250.000.000,00 NIlai buku harta Rp 250.000.000,00 Harga jual harta Rp 300.000.000,00
Dengan demikian jumlah nilai buku sebesar Rp 250.000.000,00 dibebankan sebagai kerugian dan jumlah sebesar Rp 300.000.000,00 dibukukan sebagai penghasilan.
Ayat (8)
Cukup jelas
Angka 14
Pasal 12
Cukup jelas
Angka 15
Pasal 13
Cukup jelas
Angka 16
Pasal 14
Informasi yang benar dan lengkap tentang penghasilan Wajib Pajak sangat penting untuk dapat mengenakan pajak yang adil dan wajar sesuai dengan kemampuan ekonomis Wajib Pajak. Untuk dapat menyajikan informasi dimaksud, Wajib Pajak harus menyelenggarakan pembukuan. Namun disadari bahwa tidak semua Wajib Pajak mampu menyelenggarakan pembukuan.
Semua Wajib Pajak badan dan bentuk usaha tetap diwajibkan menyelenggarakan pembukuan. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau melakukan pekerjaan bebas dengan jumlah peredaran tertentu, tidak diwajibkan untuk menyelenggarakan pembukuan.
Untuk memberikan kemudahan dalam menghitung besarnya penghasilan netto bagi Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto tertentu, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan norma penghitungan.
Ayat (1)
Norma penghitungan adalah pedoman untuk menentukan besarnya peredaran bruto dan besarnya penghasilan netto yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak dengan berpedoman pada suatu pegangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan disempurnakan terus menerus. Penggunaan norma penghitungan tersebut pada dasarnya dilakukan dalam hal-hal : a. tidak terdapat dasar penghitungan yang lebih baik, yaitu pembukuan atau catatan peredaran bruto yang lengkap, atau b. pembukuan atau catatan peredaran bruto Wajib Pajak ternyata diselenggarakan secara tidak benar.
Norma penghitungan disusun sedemikian rupa berdasarkan hasil penelitian atau data lain, dan dengan memperhatikan kewajaran.
Norma penghitungan akan sangat membantu Wajib Pajak yang belum mampu menyelenggarakan pembukuan untuk menghitung penghasilan netto.
Ayat (2), Ayat (3) dan Ayat (4)
Norma Penghitungan Penghasilan Netto hanya boleh digunakan oleh Wajib Pajak orang pribadi yang peredaran brutonya kurang dari jumlah Rp 600.000.000,00. Untuk dapat menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto tersebut Wajib Pajak orang pribadi harus memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan. Wajib Pajak orang pribadi yang menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto tersebut wajib menyelenggarakan pencatatan sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, tentang peredaran brutonya. Pencatatan tersebut dimaksudkan untuk memudahkan penerapan norma dalam menghitung penghasilan netto.
Apabila Wajib Pajak orang pribadi yang berhak bermaksud untuk menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto, tetapi tidak memberitahukannya kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu yang ditentukan, maka Wajib Pajak tersebut dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan.
Ayat (5)
Ketentuan ini mengatur tentang penerapan Norma Penghitungan Peredaran Bruto dan Norma Penghitungan Penghasilan Netto terhadap Wajib Pajak yang peredaran bruto sebenarnya tidak dapat diketahui, yaitu Wajib Pajak yang :
a. Wajib menyelenggarakan pembukuan tetapi tidak bersedia memperlihatkan pembukuan atau catatan peredaran bruto atau bukti- bukti pembukuan atau bukti-bukti pencatatan peredaran bruto, sehingga peredaran bruto yang sebenarnya tidak dapat diketahui;
b. dianggap menyelenggarakan pembukuan karena tidak memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak tentang keinginannya untuk menghitung penghasilan netto dengan Norma Penghitungan Penghasilan Netto, namun ternyata tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan pembukuan sehingga peredaran bruto yang sebenarnya tidak dapat diketahui;
c. telah menyatakan keinginannya kepada Direktur Jenderal Pajak untuk menghitung penghasilan nettonya dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto, namun ternyata tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan pencatatan mengenai peredaran brutonya, sehingga peredaran bruto yang sebenarnya tidak dapat diketahui.
Ayat (6)
Ketentuan ini mengatur tentang penerapan Norma Penghitungan Penghasilan Netto dalam hal peredaran bruto Wajib Pajak yang sebenarnya dapat diketahui namun penghasilan nettonya tidak dapat dihitung, yaitu terhadap Wajib Pajak yang : a. Wajib menyelenggarakan pembukuan tetapi tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan pembukuan atau tidak memperlihatkan pembukuan atau bukti-buktinya, namun peredaran bruto yang sebenarnya dapat diketahui; b. dianggap menyelenggarakan pembukuan seperti dimaksud pada ayat (4) tetapi tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan pembukuan atau tidak memperlihatkan pembukuan atau bukti-buktinya, namun peredaran bruto yang sebenarnya dapat diketahui.
Ayat (7)
Menteri Keuangan dapat menyesuaikan besarnya batas peredaran bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan memperhatikan perkembangan ekonomi dan kemampuan masyarakat Wajib Pajak untuk menyelenggarakan pembukuan.
Angka 17
Pasal 15
Ketentuan ini mengatur tentang Norma Penghitungan Khusus untuk golongan Wajib Pajak tertentu, antara lain perusahaan pelayaran atau penerbangan internasional, perusahaan asuransi luar negeri, perusahaan pengeboran minyak, gas dan panas bumi, perusahaan dagang asing, perusahaan yang melakukan investasi dalam bentuk bangun-guna-serah ("build, operate, and transfer").
Untuk menghitung kesukaran dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi golongan Wajib Pajak tertentu tersebut, berdasarkan pertimbangan praktis atau sesuai dengan kelaziman pengenaan pajak dalam bidang-bidang usaha tersebut, Menteri Keuangan diberi wewenang untuk menetapkan Norma Penghitungan Khusus guna menghitung besarnya penghasilan netto dari Wajib Pajak tertentu tersebut.
Angka 18
Pasal 16
Penghasilan Kena Pajak merupakan dasar penghitungan untuk menentukan besarnya Pajak Penghasilan yang terutang. Dalam Undang-undang ini dikenal dua golongan Wajib Pajak, yaitu Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar negeri.
Bagi Wajib Pajak dalam negeri pada dasarnya terdapat dua cara untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak, yaitu penghitungan dengan cara biasa dan penghitungan dengan menggunakan norma penghitungan.
Disamping itu terdapat cara penghitungan dengan mempergunakan Norma Penghitungan Khusus, yang diperuntukkan bagi Wajib Pajak tertentu berdasarkan keputusan Menteri Keuangan.
Bagi Wajib Pajak luar negeri penentuan besarnya Penghasilan Kena Pajak dibedakan antara :
(1) Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia; (2) Wajib Pajak luar negeri lainnya.
Ayat (1) Bagi Wajib Pajak dalam negeri yang menyelenggarakan pembukuan, Penghasilan Kena Pajaknya dihitung dengan menggunakan cara penghitungan biasa dengan contoh sebagai berikut :
- Peredaran bruto Rp 300.000.000,00 - Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan Rp 255.000.000,00
(-)
- Laba usaha (penghasilan netto usaha ) Rp 45.000.000,00 - Penghasilan lainnya Rp 5.000.000,00 - Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan lainnya tersebut Rp 3.000.000,00
(-)
Rp 2.000.000,00
(+)
Jumlah seluruh penghasilan netto Rp 47.000.000,00 - Kompensasi kerugian Rp 2.000.000,00
(-)
- Penghasilan Kena Pajak (bagi Wajib Pajak badan) Rp 45.000.000,00 - Pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk Wajib Pajak orang pribadi (isteri + 3 anak) Rp 5.184.000,00
(-)
- Penghasilan Kena Pajak (bagi Wajib Pajak orang pribadi) Rp 39.816.000,00
==
[sunting]Ayat (2) Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang berhak untuk tidak menyelenggarakan pembukuan, Penghasilan Kena Pajaknya dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto dengan contoh sebagai berikut :
- Peredaran bruto Rp 300.000.000,00 - Penghasilan netto (menurut Norma Penghitungan) misalnya 20 % Rp 60.000.000,00 - Penghasilan netto lainnya Rp 5.000.000,00
(+)
- Jumlah seluruh penghasilan netto Rp 65.000.000,00 - Penghasilan Tidak Kena Pajak (isteri + 3 anak) Penghasilan Kena Pajak Rp 5.184.000,00
(-)
Penghasilan Kena Pajak Rp 59.816.000,00
==
[sunting]Ayat (3) Bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, cara penghitungan Penghasilan Kena Pajaknya pada dasarnya sama dengan cara penghitungan Penghasilan Kena Pajak badan dalam negeri. Oleh karena bentuk usaha tetap berkewajiban untuk menyelenggarakan pembukuan, maka Penghasilan Kena Pajaknya dihitung dengan cara penghitungan biasa.
Contoh : - Peredaran bruto Rp 400.000.000,00 - Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan Rp 275.000.000,00
(-)
Rp 125.000.000,00 - Penghasilan bunga Rp 5.000.000,00 - Penjualan langsung barang oleh kantor pusat yang sejenis dengan barang yang dijual bentuk usaha tetap Rp 200.000.000,00 - Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan Rp 150.000.000,00
(-)
Rp 50.000.000,00 - Deviden yang diterima atau diperoleh kantor pusat yang mempunyai hubungan efektif dengan bentuk usaha tetap Rp 2.000.000,00
(+)
Rp 182.000.000,00 - Biaya-biaya menurut Pasal ayat (3) Rp 7.000.000,00
(-)
- Penghasilan Kena Pajak Rp 175.000.000,00
=
[sunting]Ayat (4) Contoh : Misalnya orang pribadi tidak kawin yang kewajiban pajak subyektifnya sebagai Subyek Pajak dalam negeri adalah 3 (tiga) bulan, dan dalam jangka waktu tersebut memperoleh penghasilan sebesar Rp 10.000.000,00 maka penghitungan Penghasilan Kena Pajak adalah sebagai berikut :
Penghasilan selama 3 (tiga) bulan Rp 10.000.000,00 Penghasilan setahun sebesar : 360 x Rp 10.000.000,00 Rp 40.000.000,00
3 x 30 Penghasilan Tidak Kena Pajak (isteri + 3 anak) Rp 5.184.000,00
(-)
Penghasilan Kena Pajak Rp 34.816.000,00
===
[sunting]Angka 19
Pasal 17
Ayat (1)
Contoh : Jumlah Penghasilan Kena Pajak Rp 120.000.000,00 Pajak Penghasilan terutang : 10% x Rp 25.000.000,00 = Rp 2.500.000,00 15% x Rp 25.000.000,00 = Rp 3.750.000,00 30% x Rp 70.000.000,00 = Rp 21.000.000,00
(+)
Rp 27.250.000,00
==
[sunting]Tarif pajak bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia sama dengan tarif pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri.
Ayat (2)
Perubahan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat ini akan diberlakukan secara nasional, dimulai per 1 (satu) Januari dan diumumkan selambat- lambatnya 2 (dua) bulan sebelum tarif baru itu berlaku efektif, serta dikemukakan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, untuk dibahas dalam rangka penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Ayat (3)
Besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersebut akan disesuaikan dengan faktor penyesuaian, antara lain tingkat inflasi. Menteri Keuangan diberi wewenang mengeluarkan keputusan yang mengatur tentang faktor penyesuaian tersebut.
Ayat (4)
Contoh : Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 5.050.900,00 untuk penerapan tarif dibulatkan ke bawah menjadi Rp 5.050.000,00.
Ayat (5) dan Ayat (6)
Contoh ( berdasarkan contoh dalam Pasal 16 ayat (4)) : Penghasilan Kena Pajak Rp 34.816.000,00 Pajak Penghasilan setahun : 10% x Rp 25.000.000,00 = Rp 2.500.000,00 15% x Rp 9.816.000,00 = Rp 1.472.400,00
Rp 3.972.400,00
=
[sunting]Pajak Penghasilan terutang dalam bagian tahun pajak (3 bulan). (3 x 30) x Rp 3.972.400,00 = Rp 993.100,00
360
Ayat (7)
Ketentuan pada ayat ini memberi wewenang kepada Pemerintah untuk menentukan tarif pajak tersendiri yang dapat bersifat final atas jenis penghasilan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak lebih tinggi dari tarif pajak tertinggi sebagaimana diatur pada ayat (1). Penentuan tarif pajak tersendiri tersebut didasarkan atas pertimbangan kesederhanaan, keadilan, pemerataan, dan dalam pengenaan pajak.
Angka 20
Pasal 18
Ayat (1)
Undang-undang ini memberi wewenang kepada Menteri Keuangan untuk memberi keputusan tentang besarnya perbandingan antara utang dan modal perusahaan yang dapat dibenarkan untuk keperluan penghitungan pajak.
Dalam dunia usaha terdapat tingkat perbandingan tertentu yang wajar mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal ("debt-equity ratio"). Apabila perbandingan antara utang dan modal sangat besar yang melebihi batas-batas kewajaran, maka pada umumnya perusahaan tersebut dalam keadaan tidak sehat. Dalam hal demikian, untuk penghitungan Penghasilan Kena Pajak, Undang-undang ini menentukan adanya modal terselubung.
Ayat (2)
Dengan semakin berkembangnya ekonomi dan perdagangan internasional sejalan dengan era globalisasi, dapat terjadi bahwa Wajib Pajak dalam negeri menanam modal di luar negeri. Untuk mengurangi kemungkinan penghindaran pajak, maka terhadap penanaman modal di luar negeri selain pada badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek, Menteri Keuangan berwenang untuk menentukan saat diperolehnya deviden.
Contoh : PT. A dan PT. B masing-masing memiliki saham sebesar 40% dan 20% pada X Ltd. yang bertempat kedudukan di negara Q. Saham X Ltd. tersebut tidak diperdagangkan di bursa efek. Dalam tahun 1995 X Ltd. memperoleh laba setelah pajak sejumlah Rp 100.000.000,00.
Dalam hal demikian, Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya deviden dan dasar penghitungannya.
Ayat (3)
Maksud diadakannya ketentuan ini adalah untuk mencegah terjadinya penghindaran pajak, yang dapat terjadi karena adanya hubungan istimewa. Apabila terdapat hubungan istimewa kemungkinan dapat terjadi penghasilan dilaporkan kurang dari semestinya ataupun pembebanan biaya melebihi dari yang seharusnya.
Dalam hal demikian, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan/atau biaya sesuai dengan keadaan seandainya diantara para Wajib Pajak tersebut tidak terdapat hubungan istimewa. Dalam menentukan kembali jumlah penghasilan dan/atau biaya tersebut dapat dipakai beberapa pendekatan, misalnya data pembanding alokasi laba berdasar fungsi atau peran serta dari Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dan indikasi serta data lainnya.
Demikian pula kemungkinan terdapat penyertaan modal secara terselubung, dengan menyatakan penyertaan modal tersebut sebagai utang, maka Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan utang tersebut sebagai modal perusahaan. Penentuan tersebut dapat dilakukan misalnya melalui indikasi mengenai perbandingan antara modal dengan utang yang lazim terjadi antara para pihak yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa atau berdasar data atau indikasi lainnya.
Dengan demikian bunga yang dibayarkan sehubungan dengan utang yang dianggap sebagai penyertaan modal itu tidak diperbolehkan untuk dikurangkan, sedangkan bagi pemegang saham yang menerima atau memperolehnya dianggap sebagai deviden yang dikenakan pajak.
Ayat (4)
Hubungan istimewa di antara Wajib Pajak dapat terjadi karena ketergantungan atau keterikatan satu dengan yang lain yang disebabkan karena : a. kepemilikan atau penyertaan modal; b. adanya penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi.
Selain karena hal-hal tersebut di atas, hubungan istimewa di antara Wajib Pajak orang pribadi dapat pula terjadi karena adanya hubungan darah atau karena perkawinan.
Huruf a
Hubungan istimewa dianggap ada apabila terdapat hubungan kepemilikan yang berupa penyertaan modal sebesar 25 % (dua puluh lima persen) atau lebih secara langsung ataupun tidak langsung.
Misalnya, PT. A mempunyai 50 % (lima puluh persen) saham PT. B, pemilikkan saham oleh PT A merupakan penyertaan langsung. Selanjutnya apabila PT.B tersebut mempunyai 50% (lima puluh persen) saham PT. C maka PT. A sebagai pemegang saham PT. B secara tidak langsung mempunyai penyertaan pada PT. C sebesar 25 % (dua puluh lima persen). Dalam hal demikian antara PT. A, PT. B dan PT. C dianggap terdapat hubungan istimewa. Apabila PT. A juga memiliki 25 % (dua puluh lima persen) saham PT. D, maka antara PT. B, PT. C, dan PT. D dianggap terdapat hubungan istimewa. Hubungan kepemilikan seperti tersebut di atas dapat juga terjadi antara orang pribadi dan badan.
Huruf b
Hubungan istimewa antara Wajib Pajak dapat juga terjadi karena penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi, kendatipun tidak terdapat hubungan kepemilikan.
Hubungan istimewa dianggap ada apabila satu atau lebih perusahaan berada di bawah penguasaan yang sama. Demikian juga hubungan antara beberapa perusahaan yang berada dalam penguasaan yang sama tersebut.
Huruf c
Yang dimaksud dengan hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat adalah ayah, ibu, dan anak, sedangkan hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan ke samping satu derajat adalah saudara.
Yang dimaksud dengan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus satu derajat adalah mertua dan anak tiri, sedangkan hubungan keluarga semenda dalam garis keturunan ke samping satu derajat adalah ipar.
Ayat (5)
Berdasarkan ketentuan ini, Wajib Pajak yang mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih pada Wajib Pajak lainnya, maka untuk penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang atas Wajib Pajak-Wajib Pajak dimaksud penerapan lapisan tarif rendah hanya diberikan satu kali saja yaitu terhadap Wajib Pajak induknya. Sedangkan terhadap Wajib Pajak lainnya dalam satu grup, Pajak Penghasilan yang terutang dihitung langsung berdasarkan tarif yang lebih tinggi yang dikenakan terhadap Wajib Pajak induk tersebut atau tarif tertinggi.
Yang dimaksud dengan lapisan tarif rendah adalah lapisan tarif di bawah lapisan tarif tertinggi yang diterapkan terhadap Penghasilan Kena Pajak dari Wajib Pajak induk dimaksud.
Contoh : PT. A memiliki saham PT. B sebesar 50 % (lima puluh persen) dan PT. B memiliki saham PT. C sebesar 60 % (enam puluh persen). Penghasilan Kena Pajak atau kerugian fiskal tahun 1995 untuk masing-masing badan misalnya sebagai berikut :
PT. A Penghasilan Kena Pajak : Rp 200.000.000,00 PT. B Rugi Fiskal : (Rp 40.000.000,00) PT. C Penghasilan Kena Pajak : Rp 70.000.000,00
Penghitungan pajak yang terutang :
PT. A : 10 % x Rp 25.000.000,00 = Rp 2.500.000,00 15 % x Rp 25.000.000,00 = Rp 3.750.000,00 30 % x Rp 125.000.000,00 = Rp 45.000.000,00
(+)
Rp 51.250.000,00
==
[sunting]PT. B : Nihil Kerugian fiskal sebesar Rp 40.000.000,00 tidak boleh diperhitungkan terhadap penghasilan netto PT. A dan PT C.
PT. C : 30 % x Rp 70.000.000,00 = Rp 21.000.000,00
==
[sunting]Atas Penghasilan Kena Pajak PT. C sebesar Rp 70.000.000,00 langsung diterapkan tarif 30 % (tiga puluh persen), karena penerapan tarif rendah hanya dilakukan pada satu Wajib Pajak yaitu PT. A.
Angka 21
Pasal 19
Ayat (1)
Adanya perkembangan harga yang mencolok atau perubahan kebijakan di bidang moneter dapat menyebabkan kekurangserasian antara biaya dan penghasilan, yang dapat mengakibatkan timbulnya beban pajak yang kurang wajar. Dalam keadaan demikian, Menteri Keuangan diberi wewenang menetapkan peraturan tentang penilaian kembali aktiva tetap (revaluasi) atau indeksasi biaya dan penghasilan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Angka 22
Pasal 20
Ayat (1)
Agar pelunasan pajak dalam tahun pajak berjalan mendekati jumlah pajak yang akan terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan, maka pelaksanaannya dilakukan melalui :
a. pemotongan pajak oleh pihak lain dalam hal diperoleh penghasilan oleh Wajib Pajak dari pekerjaan, jasa atau kegiatan sebagaimana dalam Pasal 21, pemungutan pajak atas penghasilan dari usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, dan pemotongan pajak atas penghasilan dari modal, jasa dan kegiatan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23.
b. pembayaran oleh Wajib Pajak sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25.
Ayat (2)
Pada dasarnya pelunasan pajak dalam tahun berjalan dilakukan untuk setiap bulan, namun Menteri Keuangan dapat menentukan masa lain, seperti saat dilakukannya transaksi atau saat diterima atau diperolehnya penghasilan, sehingga pelunasan pajak dalam tahun berjalan dapat dilaksanakan dengan baik.
Ayat (3)
Pelunasan pajak dalam tahun pajak berjalan merupakan angsuran pembayaran pajak yang nantinya boleh diperhitungkan dengan cara mengkreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan.
Dengan pertimbangan kemudahan, kesederhanaan, kepastian, pengenaan pajak yang tepat waktu, dan pertimbangan lainnya, maka dapat diatur pelunasan pajak dalam tahun berjalan yang bersifat final atas jenis-jenis penghasilan tertentu seperti dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), Pasal 21, Pasal 22, dan Pasal 23. Pajak Penghasilan yang bersifat final tersebut tidak dapat dikreditkan dengan Pajak Penghasilan yang terutang.
Angka 23
Pasal 21
Ayat (1)
Ketentuan ini mengatur tentang pembayaran pajak dalam tahun berjalan melalui pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan. Pihak yang wajib melakukan pemotongan, penyetoran dan pelaporan pajak adalah pemberi kerja, bendaharawan pemerintah, dana pensiun, badan, perusahaan, dan penyelenggara kegiatan.
Huruf a
Pemberi kerja yang wajib melakukan pemotongan, penyetoran dan pelaporan pajak adalah orang pribadi ataupun badan yang merupakan induk, cabang, perwakilan atau unit perusahaan, yang membayar atau terutang gaji, upah, tunjangan, honorarium, dan pembayaran lain dengan nama apapun kepada pengurus, pegawai atau bukan pegawai, sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang dilakukan. Dalam pengertian pemberi kerja termasuk juga organisasi internasional yang tidak dikecualikan dari kewajiban memotong pajak.
Yang dimaksud dengan pembayaran lain adalah pembayaran dengan nama apapun selain gaji, upah, tunjangan, dan honorarium, dan pembayaran lain seperti bonus, gratifikasi, tantiem.
Yang dimaksud dengan bukan pegawai adalah orang pribadi yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pemberi kerja sehubungan dengan ikatan kerja tidak tetap, misalnya artis yang menerima atau memperoleh honorarium dari pemberi kerja.
Huruf b
Bendaharawan pemerintah termasuk bendaharawan pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah, lembaga-lembaga negara lainnya dan Kedutaan Negara Republik Indonesia di luar negeri yang membayar gaji, upah, tunjangan, honorarium, dan pembayaran lain sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan.
Huruf c
Dana pensiun atau badan lain seperti badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja yang membayarkan uang pensiun, tunjangan hari tua, tabungan hari tua, dan pembayaran lain yang sejenis dengan nama apapun.
Dalam pengertian uang pensiun atau pembayaran lain termasuk tunjangan-tunjangan baik yang dibayarkan secara berkala atau pun tidak yang dibayarkan kepada penerima pensiun, penerima tunjangan hari tua, penerima tabungan hari tua.
Huruf d
Dalam pengertian badan termasuk organisasi internasional yang tidak dikecualikan berdasarkan ayat (2). Termasuk tenaga ahli orang pribadi misalnya dokter, pengacara, akuntan, yang melakukan pekerjaan bebas dan bertindak untuk atas namanya sendiri, bukan untuk dan atas nama persekutuannya.
Huruf e
Perusahaan, badan, atau penyelenggara kegiatan wajib memotong pajak atas pembayaran hadiah atau penghargaan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri berkenaan dengan suatu kegiatan. Dalam pengertian badan termasuk badan pemerintah, organisasi termasuk organisasi internasional, dan perkumpulan. Kegiatan yang diselenggarakan misalnya olahraga, keagamaan, kesenian dan kegiatan lain.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Bagi pegawai tetap besarnya penghasilan yang dipotong pajak adalah penghasilan bruto dikurangi dengan biaya jabatan, iuran pensiun, dan Penghasilan Tidak Kena Pajak. Dalam pengertian iuran pensiun termasuk juga iuran tunjangan hari tua atau tabungan hari tua yang dibayar oleh pegawai.
Bagi pensiunan besarnya penghasilan yang dipotong pajak adalah jumlah penghasilan bruto dikurangi dengan biaya pensiun dan Penghasilan Tidak Kena Pajak. Dalam pengertian pensiunan termasuk juga penerima tunjangan hari tua atau tabungan hari tua.
Ayat (4)
Besarnya penghasilan yang dipotong pajak bagi pegawai harian, mingguan, serta pegawai tidak tetap lainnya adalah jumlah penghasilan bruto dikurangi dengan bagian penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan yang besarnya ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dengan memperhatikan Penghasilan Tidak Kena Pajak yang berlaku.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Apabila pemberi kerja telah melakukan pemotongan dan penyetoran pajak dengan benar, maka pada akhir tahun pajak terhadap pegawai atau orang pribadi yang hanya menerima atau memperoleh penghasilan dari 1 (satu) pemberi kerja, yang pajaknya telah dipotong tidak lagi diwajibkan menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan, kecuali pegawai atau orang pribadi tersebut memperoleh penghasilan lain yang bukan penghasilan yang pajaknya telah dibayar atau dipotong dan bersifat final menurut Undang- undang ini, misalnya pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (7).
Ayat (7)
Misalnya, penghasilan tertentu dari kegiatan seperti hadiah olah raga dan undian.
Ayat (8)
Cukup jelas
Angka 24
Pasal 22
Ayat (1) dan Ayat (2)
Berdasarkan ketentuan ini yang dapat ditunjuk sebagai pemungut pajak adalah : - Bendaharawan pemerintah, termasuk bendaharawan pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya, berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan barang; - badan-badan tertentu, baik badan pemerintah maupun swasta berkenaan dengan kegiatan di bidang impor, atau kegiatan usaha di bidang lain.
Pemungutan pajak berdasarkan ketentuan ini, dimaksudkan untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengumpulan dana melalui sistem pembayaran pajak dan untuk tujuan kesederhanaan, kemudahan, dan pengenaan pajak yang tepat waktu.
Dalam hubungan ini Menteri Keuangan menetapkan besarnya pungutan tersebut bersifat final.
Pelaksanaan ketentuan ini ditetapkan oleh Menteri Keuangan dengan mempertimbangkan antara lain : - penunjukan pemungut pajak secara selektif, demi pelaksanaan pemungutan pajak secara efektif dan efisien; - tidak mengganggu kelancaran lalu lintas barang; - prosedur pemungutan, penyetoran, dan pelaporan yang sederhana sehingga mudah dilaksanakan.
Angka 25
Pasal 23
Ayat (1)
Ketentuan dalam ayat ini mengatur pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap
yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf e, yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah atau Subyek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.
Dasar pemotongan pajak dalam ayat ini dibedakan antara penghasilan bruto dan perkiraan penghasilan netto. Dasar pemotongan pajak untuk pembayaran penghasilan dalam bentuk deviden, bunga, royalti, hadiah, dan penghargaan adalah jumlah penghasilan bruto. Dasar pemotongan untuk sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta adalah perkiraan penghasilan netto.
Penghasilan berupa imbalan jasa yang wajib dilakukan pemotongan pajak adalah jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
Atas penghasilan berupa bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi dipotong pajak sebesar 15% (lima belas persen) dan bersifat final. Atas penghasilan berupa bunga simpanan koperasi yang tidak melebihi batas yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang dibayarkan koperasi kepada anggota- anggotanya tidak dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23.
Ayat (2)
Agar ketentuan ini dapat dilaksanakan dengan baik dan dinamis sesuai dengan perkembangan dunia usaha, maka Direktur Jenderal Pajak diberi wewenang untuk menetapkan jenis-jenis jasa lain dan besarnya perkiraan penghasilan netto. Dalam menetapkan besarnya perkiraan penghasilan netto, Direktur Jenderal Pajak selain memanfaatkan data dan informasi intern, dapat memperhatikan pendapat dan informasi dari pihak-pihak yang terkait.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Angka 26
Pasal 24
Pada dasarnya Wajib Pajak dalam negeri terutang pajak atas seluruh penghasilan, termasuk penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri. Untuk meringankan beban pajak ganda yang dapat terjadi karena pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri, ketentuan ini mengatur tentang perhitungan besarnya pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang atas seluruh penghasilan Wajib Pajak dalam negeri.
Ayat (1)
Pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang di Indonesia hanyalah pajak yang langsung dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak.
Contoh : PT. A di Indonesia merupakan pemegang saham tunggal dari Z Inc. di Negara X. Z Inc. tersebut dalam tahun 1995 memperoleh keuntungan sebesar US$ 100,000.00. Pajak Penghasilan yang berlaku di negara X adalah 48% dan Pajak Deviden adalah 38% penghitungan pajak atas dividen tersebut adalah sebagai berikut :
Keuntungan Z Inc. US$ 100,000.00 Pajak Penghasilan (Corporate income tax) : 48 % US$ 48,000.00
(-)
US$ 52,000.00 Pajak atas deviden (38 %) US$ 19,760.00
(-)
Deviden yang dikirim ke Indonesia US$ 32,240.00
Pajak Penghasilan yang dapat dikreditkan terhadap seluruh Pajak Penghasilan yang terutang atas PT. A adalah pajak yang langsung dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri, dalam contoh di atas yaitu jumlah sebesar US$ 19,760.00.
Pajak Penghasilan (Corporate income tax) atas Z Inc. sebesar US$ 48,000.00 tidak dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang atas PT. A, karena pajak sebesar US$ 48,000.00 tersebut tidak dikenakan langsung atas penghasilan yang diterima atau diperoleh PT. A dari luar negeri, melainkan pajak yang dikenakan atas keuntungan Z Inc. di negara X.
Ayat (2)
Untuk memberikan perlakuan pemajakan yang sama antara penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh di Indonesia, maka besarnya pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang di Indonesia tetapi tidak boleh melebihi besarnya pajak yang dihitung berdasarkan Undang- undang ini.
Cara penghitungan besarnya pajak yang dapat dikreditkan ditetapkan oleh Menteri Keuangan berdasarkan wewenang sebagaimana diatur pada ayat (6).
Ayat (3) dan Ayat (4)
Dalam perhitungan kredit pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang menurut Undang-undang ini, penentuan sumber penghasilan menjadi sangat penting. Selanjutnya, ketentuan ini mengatur tentang penentuan sumber penghasilan untuk memperhitungkan kredit pajak luar negeri tersebut.
Mengingat Undang-undang ini menganut pengertian penghasilan yang luas, maka sesuai dengan ketentuan pada ayat (4) penentuan sumber dari penghasilan selain yang tersebut pada ayat (3) dipergunakan prinsip yang sama dengan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tersebut, misalnya A sebagai Wajib Pajak dalam negeri memiliki sebuah rumah di Singapura dan dalam tahun 1995 rumah tersebut dijual. Keuntungan yang diperoleh dari penjualan rumah tersebut merupakan penghasilan yang bersumber di Singapura, karena rumah tersebut terletak di Singapura.
Ayat (5)
Apabila terjadi pengurangan atau pengembalian pajak atas penghasilan yang dibayar di luar negeri, sehingga besarnya pajak yang dapat dikreditkan di Indonesia menjadi lebih kecil dari besarnya perhitungan semula, maka selisihnya ditambahkan pada Pajak Penghasilan yang terutang menurut Undang-undang ini. Misalnya, dalam tahun 1996, Wajib Pajak mendapat pengurangan pajak atas penghasilan luar negeri tahun pajak 1995 sebesar Rp 5.000.000,00, yang semula telah termasuk dalam jumlah pajak yang dikreditkan terhadap pajak yang terutang untuk tahun pajak 1995, maka jumlah sebesar Rp 5.000.000,00 tersebut ditambahkan pada Pajak Penghasilan yang terutang dalam tahun pajak 1996.
Ayat (6)
Cukup jelas
Angka 27
Pasal 25
Ketentuan ini mengatur tentang penghitungan besarnya angsuran bulanan yang harus dibayar oleh Wajib Pajak sendiri dalam tahun berjalan.
Ayat (1)
Contoh 1 : Pajak Penghasilan yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 1994 Rp 50.000.000,00 dikurangi : a. Pajak Penghasilan yang dipotong pemberi kerja (Pasal 21) Rp 15.000.000,00 b. Pajak Penghasilan yang dipungut oleh pihak lain (Pasal 22) Rp 10.000.000,00 c. Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pihak lain (Pasal 23) Rp 2.500.000,00 d. Kredit Pajak Penghasilan luar negeri (Pasal 24) Rp 7.500.000,00
(+)
Jumlah kredit pajak Rp 35.000.000,00
(-)
Selisih Rp 15.000.000,00
==
[sunting]Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri setiap bulan untuk tahun 1995 adalah sebesar Rp 1.250.000,00 (Rp 15.000.000,00 : 12).
Contoh 2 : Apabila Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam contoh di atas berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh untuk bagian tahun pajak yang meliputi masa 6 (enam) bulan dalam tahun 1994, maka besarnya angsuran bulanan yang harus dibayar sendiri setiap bulan dalam tahun 1995 adalah sebesar Rp 2.500.000,00 (Rp 15.000.000,00 : 6).
Ayat (2)
Mengingat batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan adalah 3 (tiga) bulan setelah tahun berakhir, maka besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak sebelum batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan belum dapat dihitung sesuai dengan ketentuan ayat (1). Berdasarkan ketentuan ini, besarnya angsuran pajak untuk bulan-bulan sebelum batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tersebut adalah sama dengan angsuran pajak untuk bulan terakhir dari tahun pajak yang lalu, tetapi tidak boleh lebih kecil dari rata-rata angsuran bulanan tahun pajak yang lalu.
Contoh : Pajak pada bulan Maret 1995, maka besarnya angsuran pajak yang harus dibayar Wajib Pajak untuk bulan Januari dan Pebruari 1995 adalah sebesar angsuran pajak bulan Desember 1994, misalnya sebesar Rp 1.000.000,00.
Namun apabila dalam bulan September 1994 diterbitkan keputusan pengurangan angsuran pajak menjadi nihil, sehingga angsuran pajak sejak bulan Oktober sampai dengan Desember 1994 menjadi nihil, maka besarnya angsuran pajak yang harus dibayar Wajib Pajak setiap bulan untuk bulan Januari dan Pebruari 1995 adalah berdasarkan perhitungan rata-rata angsuran bulanan tahun lalu, yaitu sebesar Rp 750.000,00 (9 x Rp 1.000.000,00 : 12).
Ayat (3) dan Ayat (4)
apabila telah diterbitkan surat ketetapan pajak sebelum tahun Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang menghasilkan angsuran pajak lebih besar dari pada angsuran pajak berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu, maka angsuran bulanan dihitung menurut surat ketetapan pajak terakhir.
Apabila dalam tahun berjalan diterbitkan surat ketetapan pajak untuk 2 (dua) tahun pajak sebelumnya yang menghasilkan jumlah angsuran pajak yang lebih besar dari jumlah angsuran pajak bulan sebelumnya, maka angsuran pajak dihitung berdasarkan surat ketetapan pajak terakhir. Perubahan angsuran pajak tersebut berlaku mulai bulan berikutnya diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak.
Contoh : Berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan 1994 yang disampaikan Wajib Pajak dalam bulan Maret 1995, perhitungan besarnya angsuran pajak yang harus dibayar adalah sebesar Rp 1.250.000,00. Dalam bulan Juni 1994 telah diterbitkan surat ketetapan pajak tahun pajak 1992 yang menghasilkan besarnya angsuran pajak setiap bulan sebesar Rp 2.000.000,00. Selanjutnya dalam bulan Oktober 1994 diterbitkan surat ketetapan pajak tahun pajak 1993 yang menghasilkan besarnya angsuran pajak setiap bulan sebesar Rp 1.500.000,00.
Berdasarkan ketentuan pada ayat (3), maka besarnya angsuran pajak mulai bulan Maret 1995 adalah sebesar Rp 1.500.000,00 dengan perhitungan angsuran pajak berdasarkan surat ketetapan pajak tahun 1993, sedangkan besarnya angsuran pajak untuk bulan Januari dan Pebruari 1995 dihitung berdasarkan ketentuan pada ayat (2).
Selanjutnya apabila dalam bulan Oktober 1995 diterbitkan surat ketetapan pajak untuk tahun pajak 1994 yang menghasilkan besarnya angsuran pajak untuk setiap bulan sebesar Rp 1.750.000,00, maka berdasarkan ketentuan pada ayat (4), besarnya angsuran pajak mulai bulan Nopember 1995 adalah sebesar Rp.1.750.000,00
Ayat (5)
Apabila pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang disampaikan lebih kecil dari pada pajak yang telah dibayar, dipotong, dan dipungut selama tahun pajak yang bersangkutan, dan oleh karena itu Wajib Pajak mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak atau permohonan untuk memperhitungkan dengan utang pajak lain, sebelum Direktur Jenderal Pajak memberikan keputusan mengenai pengembalian atau perhitungan kelebihan pajak tersebut, besarnya angsuran bulanan adalah sama dengan angsuran pajak bulan terakhir dari tahun pajak yang lalu, tetapi tidak boleh lebih kecil dari rata-rata angsuran bulanan tahun pajak yang lalu.
Setelah adanya keputusan Direktur Jenderal Pajak, maka angsuran bulanan dari bulan berikutnya setelah tanggal keputusan itu, dihitung berdasarkan keputusan tersebut.
Contoh : Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan 1994 yang disampaikan Wajib Pajak dalam bulan Maret 1995 menunjukkan kelebihan pembayaran pajak sebesar Rp 40.000.000,00, sedangkan angsuran bulanan dalam tahun 1994 sebesar Rp 1.000.000,00.
Atas permohonan pengembalian pembayaran pajak tahun 1994 tersebut, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan keputusan bulan Agustus 1995 yang menghasilkan besarnya angsuran untuk setiap bulan menjadi nihil. Berdasarkan ketentuan ini besarnya angsuran pajak setiap bulan untuk bulan Januari sampai dengan bulan Agustus 1995 sebesar Rp 1.000.000,00 dan mulai bulan September 1995 adalah nihil.
Ayat (6)
Pada dasarnya besarnya pembayaran angsuran pajak oleh Wajib Pajak sendiri dalam tahun berjalan sedapat mungkin diupayakan mendekati jumlah pajak yang akan terutang pada akhir tahun. Oleh karena itu berdasarkan ketentuan ini, dalam hal-hal tertentu Direktur Jenderal Pajak diberikan wewenang untuk menyesuaikan penghitungan besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak dalam tahun berjalan, apabila terdapat kompensasi kerugian, Wajib Pajak menerima atau memperoleh penghasilan tidak teratur, atau terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak.
Contoh 1 : - Penghasilan PT. X tahun 1994 Rp 120.000.000,00 - Sisa kerugian tahun sebelumnya yang masih dapat dikompensasikan Rp 150.000.000,00 - Sisa kerugian yang belum di- kompensasikan tahun 1994 Rp 30.000.000,00
Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 25 tahun 1995 adalah: - Penghasilan yang dipakai dasar penghitungan angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 = Rp 120.000.000,00 - Rp 30.000.000,00 = Rp 90.000.000,00 - Pajak Penghasilan terutang : 10 % x Rp 25.000.000,00 = Rp 2.500.000,00 15 % x Rp 25.000.000,00 = Rp 3.750.000,00 30 % x Rp 40.000.000,00 = Rp 12.000.000,00
(+)
Rp 18.250.000,00
==
[sunting]Apabila pada tahun 1994 tidak ada Pajak Penghasilan yang dipotong atau dipungut oleh pihak lain dan pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 24, maka besarnya angsuran pajak bulanan PT. X tahun 1995 = 1/12 x Rp 18.250.000,00 = Rp 1.520.833,33 (dibulatkan Rp.1.520.833,00 ).
Contoh 2 : Penghasilan teratur Wajib Pajak A dari usaha dagang dalam tahun 1994 Rp 48.000.000,00 dan penghasilan tidak teratur dari pengontrakkan rumah selama 3 (tiga) tahun yang dibayar sekaligus pada tahun 1994 sebesar Rp 72.000.000,00. Mengingat penghasilan yang tidak teratur tersebut sekaligus diterima pada tahun 1994, maka penghasilan yang dipakai sebagai dasar penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 25 dari Wajib Pajak A pada tahun 1995 adalah hanya dari penghasilan teratur tersebut.
Contoh 3 : Perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak dapat terjadi karena penurunan atau peningkatan usaha. PT. B yang bergerak di bidang produksi benang dalam tahun 1995 membayar angsuran bulanan sebesar Rp.15.000.000,00.
Dalam bulan Juni 1995 pabrik milik PT. B terbakar, oleh karena itu berdasarkan keputusan Direktur Jenderal Pajak mulai bulan Juli 1995 angsuran bulanan PT. B dapat disesuaikan menjadi lebih kecil dari Rp 15.000.000,00.
Sebaliknya apabila PT. B mengalami peningkatan usaha, misalnya adanya peningkatan penjualan dan diperkirakan Penghasilan Kena Pajaknya akan lebih besar dibandingkan dengan tahun sebelumnya maka kewajiban angsuran bulanan PT. B dapat disesuaikan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Ayat (7)
Pada prinsipnya penghitungan besarnya angsuran bulanan dalam tahun berjalan didasarkan pada Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun yang lalu. Namun berdasarkan ketentuan ini, Menteri Keuangan diberi wewenang untuk menetapkan dasar penghitungan besarnya angsuran bulanan selain berdasarkan prinsip tersebut dengan tujuan agar lebih mendekati kewajaran berdasarkan data yang dapat dipakai untuk menentukan besarnya pajak yang akan terutang pada akhir tahun serta sebagai dasar penghitungan jumlah (besarnya) angsuran pajak dalam tahun berjalan.
Bagi Wajib Pajak baru yang mulai menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dalam tahun pajak berjalan, perlu diatur untuk menentukan besarnya angsuran pajak, karena Wajib Pajak belum memasukkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
Penentuan besarnya angsuran pajak didasarkan atas kenyataan usaha atau kegiatan Wajib Pajak.
Bagi Wajib Pajak yang bergerak dalam bidang perbankan, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah, terdapat kewajiban menyampaikan kepada Pemerintah laporan yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan dalam suatu periode tertentu, yang dapat dipakai sebagai dasar penghitungan untuk menentukan besarnya angsuran pajak dalam tahun berjalan.
Dalam perkembangan dunia usaha, kemungkinan terdapat bidang usaha atau Wajib Pajak tertentu yang angsuran pajaknya dapat dihitung berdasarkan data atau kenyataan yang ada, sehingga mendekati kewajaran.
Ayat (8)
Pajak yang dibayar Wajib Pajak orang pribadi yang bertolak ke luar negeri merupakan pembayaran angsuran pajak dalam tahun berjalan yang dapat dikreditkan dengan jumlah Pajak Penghasilan yang terutang pada akhir tahun. Berdasarkan pertimbangan tertentu, misalnya tugas negara, pertimbangan sosial, budaya, pendidikan, keagamaan, dan kelaziman internasional, dengan Peraturan Pemerintah diatur tentang pengecualian dari kewajiban membayar pajak sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini.
Angka 28
Pasal 26
Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri dari Indonesia, Undang-undang ini menganut dua sistem pengenaan pajak, yaitu pemenuhan sendiri kewajiban perpajakannya bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, dan pemotongan oleh pihak yang wajib membayar bagi Wajib Pajak luar negeri lainnya.
Ketentuan ini mengatur tentang pemotongan atas penghasilan yang bersumber di Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap.
Ayat (1)
Pemotongan pajak berdasarkan ketentuan ini wajib dilakukan oleh badan pemerintah, Subyek Pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya yang melakukan pembayaran kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dengan tarif sebesar 20 % (dua puluh persen) dari jumlah bruto.
Jenis-jenis penghasilan yang wajib dilakukan pemotongan dapat digolongkan dalam : 1. penghasilan yang bersumber dari modal dalam bentuk deviden, bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang, royalti, dan sewa serta penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta; 2. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, atau kegiatan; 3. hadiah dan penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun; 4. pensiun dan pembayaran berkala lainnya.
Sesuai dengan ketentuan ini, misalnya suatu badan Subyek Pajak dalam negeri membayarkan royalti sebesar Rp 100.000.000,00 kepada Wajib Pajak luar negeri, maka Subyek Pajak dalam negeri tersebut berkewajiban untuk memotong Pajak Penghasilan sebesar 20 % (dua puluh persen) dari Rp 100.000.000,00.
Sebagai contoh lain misalnya seorang atlit dari luar negeri yang ikut mengambil bagian dalam perlombaan lari maraton di Indonesia, dan kemudian merebut hadiah uang, maka atas hadiah tersebut dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan sebesar 20 % (dua puluh persen).
Ayat (2) dan Ayat (3)
Ketentuan ini mengatur tentang pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri yang bersumber di Indonesia, selain dari penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu penghasilan dari penjualan harta dan premi asuransi, termasuk premi reasuransi. Atas penghasilan tersebut dipotong pajak sebesar 20 % (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan netto dan bersifat final. Menteri Keuangan diberikan wewenang untuk menetapkan besarnya perkiraan penghasilan netto dimaksud, serta hal-hal lain dalam rangka pelaksanaan pemotongan pajak tersebut.
Ketentuan ini tidak ditetapkan dalam hal Wajib Pajak luar negeri tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, atau apabila penghasilan dari penjualan harta tersebut telah dikenakan pajak berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2).
Ayat (4)
Atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari bentuk usaha tetap di Indonesia dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen).
Contoh : Penghasilan Kena Pajak bentuk usaha tetap di Indonesia Rp 17.500.000.000,00
Pajak Penghasilan : 10 % x Rp 25.000.000,00 = Rp 2.500.000,00 15 % x Rp 25.000.000,00 = Rp 3.750.000,00 30 % x Rp 17.425.000.000,00 = Rp 5.235.000.000,00
(+)
Rp 5.241.250.000,00
(-)
Penghasilan Kena Pajak setelah dikurangi pajak Rp 12.258.750.000,00 Pajak Penghasilan yang dipotong sebesar 20 % Rp. 2.451.750.000,00
===
[sunting]Namun apabila penghasilan setelah dikurangi pajak tersebut sebesar Rp.12.258.750.000,00 ditanamkan kembali di Indonesia sesuai dengan keputusan Menteri Keuangan, maka atas penghasilan tersebut tidak dipotong pajak.
Ayat (5)
Pada prinsipnya pemotongan pajak atas Wajib Pajak luar negeri bersifat final, namun atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c, dan atas penghasilan Wajib Pajak orang pribadi atau badan luar negeri yang berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, pemotongan pajaknya tidak bersifat final sehingga potongan pajak tersebut dapat dikreditkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
Contoh : A sebagai tenaga asing orang pribadi membuat perjanjian kerja dengan PT. B sebagai Wajib Pajak dalam negeri untuk bekerja di Indonesia untuk jangka waktu 5 (lima) bulan terhitung mulai tanggal 1 Januari 1995. Pada tanggal 20 April 1995 perjanjian kerja tersebut diperpanjang menjadi 8 (delapan) bulan sehingga akan berakhir pada tanggal 31 Agustus 1995. Jika perjanjian kerja tersebut tidak diperpanjang maka status A adalah tetap sebagai Wajib Pajak luar negeri. Dengan diperpanjangnya perjanjian kerja tersebut, maka status A berubah dari Wajib Pajak luar negeri menjadi Wajib Pajak dalam negeri terhitung sejak tanggal 1 Januari 1995. Selama bulan Januari sampai dengan Maret 1995 atas penghasilan bruto A telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 26 oleh PT. B.
Berdasarkan ketentuan ini, maka untuk menghitung Pajak Penghasilan yang terutang atas penghasilan A untuk masa Januari sampai dengan Agustus 1995, Pajak Penghasilan Pasal 26 yang telah dipotong dan disetor PT. B atas penghasilan A sampai dengan Maret tersebut, dapat dikreditkan terhadap pajak A sebagai Wajib Pajak dalam negeri.
Angka 29
Pasal 27
Cukup jelas
Angka 30
Judul Bab VI diganti menjadi "PERHITUNGAN PAJAK PADA AKHIR TAHUN".
Angka 31
Pasal 28
Ayat (1)
Pajak yang telah dilunasi dalam tahun berjalan, baik yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak ataupun yang dipotong serta dipungut oleh pihak lain, dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang pada akhir tahun pajak yang bersangkutan.
Contoh : Pajak Penghasilan yang terutang Rp 80.000.000,00 Kredit pajak : Pemotongan pajak dari pekerjaan (Pasal 21) Rp 5.000.000,00 Pemungutan pajak oleh pihak lain (Pasal 22) Rp 10.000.000,00 Pemotongan pajak dari modal (Pasal 23) Rp 5.000.000,00 Kredit pajak luar negeri (Pasal 24) Rp 15.000.000,00 Dibayar sendiri oleh Wajib Pajak (Pasal 25) Rp 10.000.000,00
(+)
Jumlah Pajak Penghasilan yang dapat dikreditkan Rp 45.000.000,00
(-)
Pajak Penghasilan yang masih harus dibayar Rp 35.000.000,00
=
[sunting]Ayat (2)
Cukup jelas
Angka 32
Pasal 28 A
Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 17 B ayat (1) Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Direktur Jenderal Pajak atau pejabat yang ditunjuk berwenang untuk mengadakan pemeriksaan sebelum dilakukan pengembalian atau perhitungan kelebihan pajak.
Hal-hal yang harus menjadi pertimbangan sebelum dilakukan pengembalian atau perhitungan kelebihan pajak adalah : a. kebenaran materiil tentang besarnya Pajak Penghasilan yang terutang; b. keabsahan bukti-bukti pungutan dan bukti-bukti potongan pajak serta bukti pembayaran pajak oleh Wajib Pajak sendiri selama dan untuk tahun pajak yang bersangkutan.
Oleh karena itu untuk kepentingan pemeriksaan, Direktur Jenderal Pajak atau pejabat lain yang ditunjuk diberi wewenang untuk mengadakan pemeriksaan atas laporan keuangan, buku-buku, dan catatan lainnya serta pemeriksaan lain yang berkaitan dengan penentuan besarnya Pajak Penghasilan yang terutang, kebenaran jumlah pajak dan jumlah pajak yang telah dikreditkan dan untuk menentukan besarnya kelebihan pembayaran pajak yang harus dikembalikan.
Maksud pemeriksaan ini untuk memastikan bahwa uang yang akan dibayar kembali kepada Wajib Pajak sebagai restitusi itu adalah benar merupakan hak Wajib Pajak.
Angka 33
Pasal 29
Ketentuan Pasal ini mewajibkan Wajib Pajak untuk melunasi kekurangan pembayaran pajak yang terutang menurut ketentuan Undang-undang ini sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan. Apabila tahun buku sama dengan tahun takwim maka kekurangan pajak tersebut wajib dilunasi selambat-lambatnya tanggal 25 Maret setelah tahun pajak berakhir, sedangkan apabila tahun buku tidak sama dengan tahun takwim, misalnya dimulai tanggal 1 Juli sampai dengan 30 Juni, maka kekurangan pajak wajib dilunasi selambat-lambatnya tanggal 25 September.
Angka 34
Pasal 30
Cukup jelas
Angka 35
Pasal 31
Cukup jelas
Angka 36
Pasal 31 A
Salah satu prinsip yang perlu dipegang teguh di dalam undang-undang perpajakan adalah diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang hakekatnya sama, dengan berpegang pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Karena itu setiap kemudahan dalam bidang perpajakan jika benar-benar diperlukan harus mengacu pada kaidah di atas dan perlu dijaga agar di dalam penerapannya tidak menyimpang dari maksud dan tujuan diberikannya kemudahan tersebut.
Tujuan dan maksud diberikannya kemudahan pada hakekatnya terutama untuk berhasilnya sektor-sektor kegiatan ekonomi yang berprioritas tinggi dalam skala nasional, khususnya penggalakan ekspor. Selain itu kemudahan ini dapat pula diberikan untuk mendorong perkembangan daerah yang terpencil, seperti yang banyak terdapat di kawasan timur Indonesia, dalam rangka pemerataan pembangunan
Kemudahan yang diberikan terbatas dalam bentuk : a. penyusutan dan amortisasi yang lebih dipercepat; b. kompensasi kerugian yang lebih lama tetapi tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun; c. pengurangan Pajak Penghasilan atas deviden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26.
Demikian pula ketentuan ini dapat digunakan untuk menampung kemungkinan perjanjian dengan negara atau negara-negara lain dalam bidang perdagangan, investasi, dan bidang lainnya.
Angka 37
Pasal 32
Cukup jelas
Angka 38
Pasal 33 A
Ayat (1)
Apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang berakhir tanggal 30 Juni 1995 atau sebelumnya (tidak sama dengan tahun takwim), maka tahun buku tersebut adalah tahun pajak 1994. Pajak yang terutang dalam tahun tersebut tetap dihitung berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991. Sedangkan bagi Wajib Pajak yang tahun bukunya berakhir setelah tanggal 30 Juni 1995, wajib menghitung pajaknya mulai tahun pajak 1995 berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang ini.
Ayat (2) dan Ayat (3)
Wajib Pajak yang telah memperoleh Keputusan Menteri Keuangan mengenai fasilitas perpajakan tentang saat mulai berproduksi yang diterbitkan sebelum tanggal 1 Januari 1995 dapat menikmati fasilitas perpajakan yang diberikan sampai dengan jangka waktu yang ditetapkan dalam keputusan yang bersangkutan. Dengan demikian sejak 1 Januari 1995 keputusan tentang saat mulai berproduksi tidak diterbitkan lagi.
Ayat (4)
Ketentuan pajak dalam kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerja sama pengusahaan pertambangan yang masih berlaku pada saat berlakunya Undang-undang ini, dinyatakan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerja sama pengusahaan pertambangan tersebut. Walaupun Undang-undang ini sudah mulai berlaku, namun kewajiban pajak bagi Wajib Pajak yang terikat dengan kontrak bagi hasil, kontrak karya atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan tetap dihitung berdasar kontrak atau perjanjian dimaksud.
Dengan demikian, ketentuan Undang-undang ini baru diberlakukan untuk pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak di bidang pengusahaan pertambangan minyak dan gas bumi dan pengusahaan pertambangan umum lainnya yang dilakukan dalam bentuk kontrak karya, kontrak bagi hasil, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan, yang ditanda tangani setelah berlakunya Undang-undang ini.
Angka 39
Pasal 34
Cukup jelas
Angka 40
Pasal 35
Dengan Peraturan Pemerintah diatur lebih lanjut hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang ini, yaitu semua peraturan yang diperlukan agar Undang- undang ini dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, termasuk pula peraturan peralihan.
Pasal II
Cukup jelas
Pasal III
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3567