Teori domino
Teori domino (domino theory) merupakan suatu teori politik yang muncul antara dekad-dekad 1950-an dan 1980-an yang menyatakan bahawa sekiranya sebuah negara itu menerima ideologi atau pengaruh komunisme, maka negara-negara yang berjiranan dalam rantaunya akan "terjerumus" laksana "domino-domino yang berjatuhan".[1] Teori ini dipakai pemerintahan Amerika Syarikat secara berterusan sepanjang berlakunya Perang Dingin bagi membenarkan campur tangan politik dalam negara-negara yang disyaki di seluruh dunia.
Teori ini pertama kali dijelaskan Presiden Amerika Syarikat Dwight D. Eisenhower dalam sebuah sidang akhbar tanggal 7 April 1954 saat membahas komunisme di Indochina, meskipun beliau sendiri tidak pernah menggunakan istilah "teori domino" secara langsungnya:
Finally, you have broader considerations that might follow what you would call the "falling domino" principle. You have a row of dominoes set up, you knock over the first one, and what will happen to the last one is the certainty that it will go over very quickly. So you could have a beginning of a disintegration that would have the most profound influences.[2]
("Akhir sekali, anda punya suatu pertimbangan luas yang boleh mengikuti prinsip "domino jatuh". Anda punya sebaris domino. Jatuhkan domino pertama, dan apa yang akan terjadi pada domino terakhir ialah kepastian bahawa ia akan jatuh dengan sangat cepat. Maka, anda akan melihat suatu perpecahan yang mendatangkan pengaruh sangat besar.")
Pembincangan dan penerapan
[sunting | sunting sumber]Di luar Asia Tenggara
[sunting | sunting sumber]Michael Lind berpendapat bahwa meski teori domino gagal di Asia Tenggara, muncul gelombang rejim komunis atau Marxis–Leninis global di Benin, Ethiopia, Guinea-Bissau, Madagaskar, Tanjung Verde, Mozambik, Angola, Afghanistan, Grenada, dan Nikaragua pada tahun 1970-an. Interpretasi efek domino global sangat bergantung pada interpretasi "prestis" dalam teori ini, artinya kesuksesan revolusi komunis di sejumlah negara turut berkontribusi pada moral dan dukungan retoris walaupun tidak membuahkan bantuan material untuk mendukung pasukan revolusi di negara-negara lain.
Revolusioner Argentina Che Guevara pernah menulis sebuah karangan berjudul Mensaje a los Pueblos del Mundo ("Pesan Untuk Rakyat Dunia") pada tahun 1967 yang menyuarakan terbentuknya "dua, tiga, ... banyak Vietnam" di seluruh dunia.[3] Sejarawan Max Boot menulis, "Pada akhir 1970-an, musuh-musuh Amerika Syarikat naik ke tampuk kekuasaan di sejumlah negara dari Mozambique sampai Iran sampai Nicaragua. Tebusan A.S. ditangkap di kapal SS Mayaguez (lepas pantai Kemboja) dan Tehran. Pasukan Merah menyerbu Afghanistan. Tidak ada hubungan yang jelas dengan Perang Vietnam, namun ada sedikit keraguan bahawa kekalahan sebuah kuasa besar akan mendorong musuh-musuh kita untuk melancarkan agresi yang sebelumnya enggan dilakukan."[4]
Selain itu, teori ini dapat didorong lebih jauh setelah meningkatnya jumlah serangan oleh kelompok pengganas sayap kiri di Eropah Barat yang didanai pemerintah negara-negara komunis antara tahun 1960-an dan 1980-an.[5][6][7] Di Itali, serangan tersebut meliputi penculikan dan pembunuhan mantan Perdana Menteri Itali Aldo Moro dan penculikan mantan Briged Jeneral A.S. James L. Dozier oleh Brigade Merah.
Di Jerman Barat, serangan terorisme dilancarkan oleh Faksi Pasukan Merah. Di Timur Jauh, Pasukan Merah Jepun melancarkan serangan serupa.
Dalam wawancara terkenal diadakan David Frost terhadap Nixon tahun 1977, Nixon mempertahankan perintahnya kepada para askar Amerika Syarikat meruntuhkan rejim Salvador Allende di Chile dengan alasan teori domino. Nixomn meminjam metafora yang permah didengarinya menyatakan bahawa Chile dan Cuba yang komunis akan menciptakan "roti lapis merah" (red sandwich) yang dapat menggencet Amerika Latin.[8] Pada 1980-an, teori ini turut digunakan untuk membenarkan campur tangan pemerintahan Reagan di Amerika Tengah dan kawasan Caribbean.
Dalam memoirnya, mantan Perdana Menteri Rhodesia Ian Smith menyebut kebangkitan pemerintahan sayap kiri autoritarian di Afrika Sub-Sahara pada era dekolonisasi sebagai "taktik domino kaum komunis".[9] Menurut Smith, pembentukan pemerintahan pro-komunis di Tanzania (1961–64) dan Zambia (1964) dan pemerintahan Marxis–Leninis di Angola (1975), Mozambique (1975), dan Rhodesia (1980)[10] merupakan bukti "penggerogotan diam-diam imperialisme Soviet di benua ini."[11]
Keadaan lain
[sunting | sunting sumber]Sejumlah pakar analiss dasar luar negeri Amerika Syarikat menyebut penyebaran teokrasi Islam dan demokrasi liberal di Timur Tengah sebagai dua kemungkinan adanya teori domino. Pada masa Perang Iran–Iraq, Amerika Syarikat dan negara-negara Barat lainnya mendukung Irak kerana khuatir teokrasi radikal Iran akan menyebar di Timur Tengah. Semasa invasi Iraq 2003, sejumlah pihak neokonservatif Amerika berpendapat bahawa apabila pemerintahan demokratis dibentuk di Iraq, demokrasi dan liberalisme akan menyebar di Timur Tengah. Hal tersebut dijuluki sebagai "teori domino terbalik"[12] kerana kesanya dianggap positif oleh Barat.
Lihat pula
[sunting | sunting sumber]Rujukan
[sunting | sunting sumber]- ^ Leeson, Peter T.; Dean, Andrea (2009). "The Democratic Domino Theory". American Journal of Political Science. 53 (3): 533–551. doi:10.1111/j.1540-5907.2009.00385.x.
- ^ "The Quotable Quotes of Dwight D. Eisenhower". National Park Service. 5 Disember 2013.
- ^ "Rough Draft of History: 'All Right, Let's Get the @#!*% Out of Here'", Richard Gott, August 11, 2005
- ^ "Another Vietnam?", Max Boot, The Wall Street Journal, August 24, 2007
- ^ KGB Active Measures
- ^ Red Army Faction
- ^ Brigate Rosse
- ^ The Last Years of the Monroe Doctrine, 1945-1993, p. 133 Gaddis Smith
- ^ Smith, Ian (2008). Bitter Harvest: Zimbabwe and the Aftermath of Its Independence. London: John Blake Publishing. m/s. 280. ISBN 978-1-84358-548-0.
- ^ Smith 2008: 147
- ^ Smith 2008: 183
- ^ "The War and the Peace", Robert Wright, Slate, April 1, 2003