Perang Bayu
Perang Bayu | |||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Monumen peringatan perang puputan Bayu yang berada di Desa Bayu, Kecamatan Songgon, Banyuwangi. | |||||||||
| |||||||||
Pihak terlibat | |||||||||
Kerajaan Blambangan |
Pasukan VOC Kesultanan Mataram | ||||||||
Tokoh dan pemimpin | |||||||||
Pangeran Jagapati Wong Agung Wilis |
Pakubuwono II Petrus Albertus van der Parra Cornelis van Biesheuvel Hendrik van Schopoff |
Perang Bayu (1771-1773) adalah perang yang diakibatkan oleh penyerahan sepihak Java’s Oosthoek (daerah Pasuruan hingga Blambangan) kepada kongsi dagang VOC yang dilakukan oleh Sunan Pakubuwono II melalui Perjanjian Ponorogo pada tahun 1743. Perang Bayu tidak bisa dilepaskan dari Perang Puputan Kabakaba dan Perang Wilis sebelumnya.
Pasukan perlawanan dipimpin oleh Mas Rempeg, atau yang biasa dikenal dengan sebutan Pangeran Jagapati adalah penerus perjuangan Wong Agung Wilis. Pasukan perlawanan Blambangan mendapatkan dukungan komunitas Bugis, Melayu, Tionghoa, dan Sumbawa yang mayoritas merupakan pedagang di Blambangan. Dukungan tersebut berupa senjata selundupan, transportasi, bahan-bahan pokok, dan Informan.
Sementara pada pihak penyerang dipimpin oleh Kepala Residen Blambangan Cornelis van Biesheuvel dan penggantinya Hendrik van Schopoff.
Asal mula
[sunting | sunting sumber]Bermula dari keputusan Sunan Pakubuwono II yang dikenal memiliki hubungan yang akrab dengan kongsi dagang VOC secara sukarela menyerahkan daerah sebelah timur Pasuruan kepada VOC. Serah Terima ini ada kaitannya dengan pemberontakan Sunan Kuning dan perjanjian Ponorogo tahun 1743. Salah satu wilayah tersebut adalah Blambangan.
Permasalahannya masyarakat Blambangan tidak pernah merasa berada di bawah kekuasaan Mataram sejak tahun 1652. Saat itu Pangeran Mas Tawangalun telah memerdekan Blambangan dari Mataram dan menyandang gelar Susuhunan Macanputih. Gelar Susuhunan ini menunjukkan bahwa dia sederajat dengan Susuhunan Mataram Amangkurat I.
Pada awalnya, VOC tidak ingin ikut campur dalam perselisihan antara Blambangan dan Mataram. Namun kemudian VOC melirik kongsi dagang Inggris yang sejak tahun 1766 telah bekerja sama dengan Blambangan dan Mengwi. Ulupampang dibawah kongsi dagang Inggris kemudian bertumbuh menjadi lokasi perdagangan yang maju.
Pada tanggal 12 Agustus 1766, Johanes Voss, selaku Gubernur VOC di Semarang, mengeluarkan surat perintah perihal pengadaan patroli di Selat Bali dan sekitarnya. Hal tersebut adalah langkah VOC untuk menanggapi agresifnya perdangangan Inggris di Blambangan, dan kacaunya keamanan jalur utama perdagangan VOC di tepi laut Jawa. Pemerintah Belanda di Batavia juga memutuskan untuk menangkapi kapal-kapal Inggris dan elemen-elemen lain yang tidak disukai , serta mengambil tindakan-tindakan pengamanan kepada batas-batas wilayah yang dianggap miliknya.
Keadaan di Blambangan yang genting tak terkendalikan menjadikan VOC mengirimkan ekspedisi militer besar-besaran di bawah pimpinan Erdwijn Blanke terdiri atas 335 serdadu Eropa, 3000 laskar Madura dan Pasuruan, 25 kapal besar dan sejumlah yang kecil lainnya. Tanggal 20 Februari 1767, ekspedisi Belanda berkumpul di Pelabuhan Kuanyar Madura. Pada tanggal 27 Februari 1767 Panarukan diduduki dan didirikan benteng. Pada tanggal 11 Maret pasukan inti di bawah komandan dari Semarang Erdwijn Blanke bergerak melalui darat sepanjang pantai. Tanggal 23 Maret 1767 ekspedisi Belanda tiba di Banyualit. Pertempuran pertama meletus. Ratusan laskar Blambangan pimpinan Gusti Kuta Beda terbunuh. VOC menguasai benteng di Banyualit. Selat Bali mulai dari Meneng sampai Grajagan diblokir.[1][2]
Mas Anom dan Mas Weka (keturunan Kerajaan Blambangan) memperoleh kesempatan memberontak terhadap penguasa Bali Gusti Ketut Kabakaba dan Gusti Kuta Beda. Orang-orang Bali dibantu orang-orang Bugis dan Mandar melakukan penyerangan terhadap orang-orang Bali-Blambangan di bawah pimpinan Mas Anom dan Mas Weka di Loh Genta (Rogojampi, Banyuwangi) yang berakhir dengan kemenangan Mas Anom. Kuta Beda ditawan dan dibunuh. Ketut Kabakaba melarikan diri ke Ulupampang. Ia beserta keluarga dan pengikutnya yang terdesak, melakukan puputan dan akhirnya Kutha Bedhah beserta semua pengikutnya terbunuh.
Atas jasanya itu, Mas Anom dan Mas Weka diangkat oleh VOC menjadi regen (bupati) pertama di Blambangan. Namun tidak berapa lama ia membelot dan mendukung perjuangan Wong Agung Wilis. peperangan kedua pun meletus. Wong Agung Wilis terlibat peperangan ini di Ulupampang, di Lateng, dan di benteng VOC di Banyualit, namun akhirnya ia kalah di Kuta Lateng pada tanggal 18 Mei 1768.[3][2]
Setelah Blambangan dikuasai, VOC mengangkat Sutanagara dengan patih Surateruna untuk Blambangan Timur (yang meliputi Kabupaten Banyuwangi saat ini) dan Wangsengsari dengan patih Jaksanegara sebagai regen di Blambangan Barat (yang meliputi Jember, Jember, Bondowoso, dan Situbondo).
Para pemimpin baru itu kemudian terlibat pemberontakan melawan VOC sehingga mereka digantikan oleh mantan patih Surabaya yang merupakan kaki-tangan VOC bernama Kertawijaya. Orang-orang Blambangan segera menolak keras pengangkatan Kertawijaya, Patih Surabaya menjadi bupati Blambangan serta meminta agar Sutanegara dan Wong Agung Wilis dikembalikan ke Blambangan..
Mayor Colmond lalu menggantikan Coop a Groen, sebagai komandan tertinggi pasukan VOC Belanda di Blambangan. Ia adalah sosok penjajah yang kejam. Tindakan-tindakannya yang keras terhadap penduduk menyebabkan kesengsaraan di mana-mana. Rakyat hidup tertekan baik secara sosial maupun ekonomi. Untuk keperluan Belanda ia berpatroli ke pelosok-pelosok kampung untuk menyita semua beras simpanan dan hasil panen, serta bahan makanan lainnya dan mengangkutnya. Kemudian dia menyuruh rakyat menanam padi kembali dengan perintah yang sangat memaksa. Setelah panen, jerih payah penduduk itupun disita lagi. Selain itu Colmond menekan penduduk untuk kerja paksa membangun dan memperkuat benteng VOC di Ulupampang dan Kota Lateng. Memerintahkan mereka membuat jalan-jalan, membersihkan pepohonan yang ada di antara laut dan benteng di Ulupampang. Membuat penangkis air dalam membangun pos pengintaian di Gunung Ikan (yaitu semenanjung yang menutupi Teluk Pangpang). Tetapi ia tidak menyediakan makanan bagi rakyat yang bekerja dengan kelaparan dan kekurangan dan kesengsaraan penyakit. Banyak warga yang akhirnya lari ke hutan untuk menghindari kerja paksa.[1][3]
Keadaan inilah yang menyebabkan bupati Sutanagara dan Wangsengsari serta Patih Surateruna mengajak Gusti Agung Menguwi untuk menyerang Kompeni. Sebelum penyerangan terjadi, rencana mereka terbongkar karena penghianatan Patih Jaksanegara sehingga ketiga orang tersebut ditangkap dan dibuang ke Ceylon (Sri Lanka).[3]
Keadaan tambah parah ketika penetrasi VOC semakin berat, misalnya setiap bekel (lurah) harus menyerahkan dua ekor kerbau. Selain itu VOC menuntut 3,5 gulden kepada setiap kepala keluarga, dan harus diserahkan setiap tahun. Sesuatu yang sangat berat di tengah sedikitnya waktu untuk pergi ke sawah dan ladang karena kewajiban kerja paksa tanpa upah dan makan.[2]
Penetrasi VOC yang sedemikian keras mengakibatkan rakyat memilih untuk menyingkir ke hutan. Tempat yang paling banyak menampung pengungsian itu adalah dusun Bayu. Sebuah tempat yang subur di lereng Gunung Raung sebelah barat Songgon dan Derwana. Di Bayu berkumpul para penentang Belanda di bawah pimpinan Mas Rempeg yang didukung oleh para guru yaitu Bapa Rapa, Bapa Endha dan Bapa Larat.[4]
Persiapan
[sunting | sunting sumber]Kepergiannya Mas Rempeg ke Bayu diperkirakan setelah tanggal 18 Mei 1768. Mas Rempek datang ke Bayu bersama seorang lurah dari Kuta Lateng.[2] Ketika menyadari bahwa kekuatan senjata yang dimiliki masih terbatas, hanya mempunyai senjata yang sedikit, yakni tombak, lembing, keris serta pedang, sedangkan senapan dan meriam yang dibanggakan waktu itu telah jatuh ke tangan VOC waktu perang Ulupampang, Banyualit dan Lateng, sedang orang Tionghoa dan Bugis yang dulunya bersedia memberikan senjata juga sudah ditangkap pada waktu Ulupampang jatuh, maka dengan cerdik untuk menambah moral dan kepercayaan rakyat, Mas Rempeg berkata kepada pengikutnya bahwa "Allah akan menganugerahkan meriam kepadanya".[5]
Maka banyak penduduk Ulupampang dan dari daerah-daerah lain di seluruh Blambangan berbondong-bondong sambil membawa senjata bergabung dengan Mas Rempeg di Bayu. Dukungan tidak hanya datang dari rakyat kecil wadwa alit, namun juga datang dari para bekel agung yaitu pembantu regen yang berkedudukan di Kuta Lateng seperti Wiramanggala dan Jagakrasa, serta Lembu Giri dari Tomogoro selain menyatakan bergabung dengan Mas Rempeg juga memberikan sejumlah senjata. Datang juga rombongan orang-orang Lateng di bawah pimpinan Lurah Manowadi dan Bapa Cele dari Grajagan di pesisir selatan.
Dukungan untuk Mas Rempeg juga datang dari para bekel dari 62 desa; 25 desa di bagian barat, 14 desa di wilayah selatan, 9 desa di wilayah timur dan 2 desa di sebelah utara. Kemudian masih datang lagi 12 bekel dari desa lainnya.
Nama desa dan lurahnya sebagaimana disebutkan dalam Babad Bayu pupuh vi 11-20 adalah sebagai berikut: Desa Dhadhap (Kidang Wulung), Rewah-Sanji (Kidang Wulung), Suba/Kuwu (Kidang Wulung), Songgon (Ki Sapi Gemarang), Tulah (Ki Lempu Putih), Kadhu (Ki Sidamarga), Derwana (Ki Kendit Mimang), Mumbul (Ki Rujak Sentul), Tembelang (Ki Lembupasangan), Bareng (Ki Kuda Kedhapan), Balungbang (Ki Sumur Gumuling), Lemahbang (Ki Suranata), Gitik (Ki Rujak Watu), Banglor (Ki Suragati), Labancina (Ki Rujak Sinte), Kabat (Ki Pandholan), Kapongpongan (Ki Kamengan), Welaran (Ki Jeladri), Tambong (Ki Reksa), Bayalangun (Ki Sukanandi), Desa Penataban (Ki Singadulan), Majarata (Ki Maesandanu), Cungking (Ki Jangkrik Suthil), Jelun (Ki Lembu Singa), Banjar (Ki Bakul). Itulah nama-nama desa di bagian utara (Banglor). Sedang desa bagian selatan adalah: Desa Pegambuiran (Ki Serandil), Ngandong (Ki Seja), Cendana (Ki Kebo Waleri), Kebakan (Ki Kebo Waluratu), Cekar (Ki Gundol), Desa Gagenteng (Ki Kudha Serati), Kadhal (Ki Jaran Sukah), Sembulung (Ki Gagak Sitra), Jajar (Ki Gajah Anguli), Benculuk (Ki Macan Jingga), Pelancahan (Ki Butangerik), Keradenan (Ki Jala Sutra), Gelintang (Ki Maesagethuk), Grajagan (Ki Caranggesing). Sedang desa diwilayah timur: Desa Dhulangan, Pruwa/Purwa (Ki Tulup Watangan), Lalerangan (Ki Menjangan Kanin), Mamelik (Ki Surya), Papencan (Ki Bantheng Kanin), Kelonthang (Ki Lembu-Ketawan), Repuwan (Ki Butānguri), Rerampan (Ki Kidang Bunto), Singalatrin (Ki Banyak Ngeremi). Wilayah utara 2 desa yaitu Desa Jongnila (Ki Gagakngalup) dan desa Konsul (Ki Maesasura). Kemudian Kepala desa yang menyusul: Desa Bubuk (Ki Marga-Supana), Gebang (Ki Jangkrik-Gondhul), Gebang (Ki Jangkrik-Gondhul), Gambor (Ki Bajuldahadhi), Gembelang (Ki Butakorean), Muncar (Ki Genok), Bama (Ki Baluran), Geladhag (Ki Margorupit), Susuhan (Ki Tambakboyo), Ngalian (Ki Kidang-Garingsing), Tamansari (Ki Gajah Metha), Danasuke (Ki Kebowadhuk), dan Kalisuca (Ki Jaransari).[6]
Dengan dukungan tersebut Bayu berkembang menjadi suatu kekuatan yang tangguh dan kuat. Bayu dijadikan semacam sebuah negara. Bayu yang terletak di barat-laut dari kota Ulupampang di lereng timur Gunung Raung, dekat desa Songgon, saat itu berjarak kira-kira masih 2 jam (jalan kaki) di atas dusun Derwana. Bekas bangunan tembok yang ditemukan dekat Songgon pada sebuah peneitian merupakan sisa dari Bayunya Mas Rempek tersebut.[7] Kurang lebih 2000 orang berada di dalam naungan Benteng Bayu yang sangat kuat, di depan terdapat pagar yang terbuat dari batang-batang pohon besar yang bagian atasnya dibuat runcing dan batang-batang pohonnya berjajar sangat rapat satu sama lain yang disebut palisada. Di belakang pagar terdapat lubang-lubang perlindungan di dalam tanah. Di dalam benteng, cadangan pangan sangat melimpah serta dilengkapi dengan gamelan beserta pemainnya sebagai lambang kekuasaan dan kekuatan. Perlengkapan perang sudah lengkap untuk memulai peperangan. Atas pengaruhnya yang kuat ia oleh pengikutnya dianugerahi gelar Pangeran Jagapati.
Pengikut Pangeran Jagapati dengan demikian berasal dari seluruh wilayah Blambangan baik di ibu kota (nagari) Lateng maupun di luar ibu kota (jawikuta). Dukungan yang sangat besar dari luar terutama dari Blambangan sendiri membuat kedudukan Pangeran Jagapati sangat kuat, sehingga mampu menguasai sember daya yang lain. Pangeran Jagapati dapat menguasai daerah penghasil beras di seluruh Blambangan. Lurah Manowadi berhasil menimbun beras yang dihasilkan dari seluruh Blambangan di Tomogoro di sebelah selatan Bayu. Para pedagang yang telah memindahkan pusat kegiatannya ke pantai selatan di Nusa Barung mengirimkan telur, garam dan ikan kering yang diangkut memakai kuda ke Bayu.[8][9] Dengan dukungan ekonomi yang kuat maka dengan mudah akan membangun kekuatan militer dan cadangan logistik perang. Maka berkobarnya peperangan tinggal menunggu waktu saja.[4]
Pecahnya Perang
[sunting | sunting sumber]Perang Bayu I
[sunting | sunting sumber]Pada tanggal 2 Agustus 1771, Kertawijaya dan Jaksanegara berangkat bersama serombongan pasukan dari Ulupampang menuju Bayu. Kepergian mereka bermaksud memisahkan penduduk Blambangan dari pengaruh Mas Rempeg. Setibanya di Bayu orang-orang Blambangan pengikut kedua pemimpin itu justeru membelot dan memihak kepada Pangeran Jagapati. Kedua pemimpin ditinggal pengikutnya dan hanya ditemani beberapa orang yang berasal dari Surabaya, yaitu Mindoko, Bawalaksana dan Semedirono. Kemudian para pembelot mengamuk terhadap para Tumenggung dan pengikutnya yang tinggal beberapa itu. Kertawijaya terluka tembak di bahu kirinya dan kaki kanannya terkena tombak. Mantri Semedirono mati tertembak di kepalanya, yang lainnya terluka. Sementara rakyat Blambangan terus bergerak ke Bayu sambil membawa harta benda yang mereka miliki.[10]
Peristiwa di atas diceritakan dalam terjemahan Babad Bayu pupuh ii 5-20 sebagai berikut:
Ketika pasukan Kertawijaya dan Jaksanagara tiba di Bayu, Pangeran Jagapati bersama 30 orang pengikutnya menempatkan diri di sebelah menyebelah bagian jalan yang sempit. Jayaleksana memberikan aba-aba menembak, tapi ia dan pasukannya segera terkurung. Meskipun begitu, ia masih juga menuntut supaya Pangeran Jagapati takluk. Kalau mau takluk, orang Bayu akan diampuni dan selamat, mereka tak usah bekerja untuk Kompeni dan akan menerima hadiah sarung pedang dari baja dua warna, dan akan disambut dengan segala penghormatan apabila datang berseba. Tiba-tiba pasukan Jayalaksana kabur masuk hutan, maka para punggawa sendirilah yang harus mengangkut pulang jenazah patih. Gegerlah seluruh kota.[11]
Tanggal 5 Agustus 1771, VOC mengirim pasukan bersenjata menuju ke benteng Bayu. Di luar dugaan VOC pada waktu terjadi pertempuran awal, terdapat sebagian prajurit VOC dari pribumi membelot memihak kepada Pangeran Jagapati. Biesheuvel,Residen Blambangan, beserta pasukan VOC bergerak menyerang Benteng Bayu. Namun, mereka dikalahkan Pangeran Jagapati karena pertahanan benteng Bayu yang ternyata sangat kuat. Pada waktu yang bersamaan, Schophoff, Wakil Residen Bischeuvel masuk ke berbagai desa di Blambangan, bermaksud mempengaruhi penduduk untuk tidak memihak Pangeran Jagapati. Pada hari yang sama pasukan VOC menyerang Gambiran, sebuah dusun penghasil beras yang sangat subur yang menjadi salah satu penyangga logistik beras benteng Bayu. Tujuannya agar Pangeran Jagapati yang berkedudukan di Bayu kekurangan bahan makanan. Namun, ketika ia beserta pasukannya berada di Desa Gambiran, mereka diserang oleh sekitar 200 pasukan Blambangan sambil meneriakkan kata-kata: “Amok! Amok!” yang artinya mengamuk atau marah. Pasukan VOC kemudian menuju Tomogoro yang terletak sekitar 6 km di sebelah tenggara Bayu merupakan penghasil beras yang paling dekat dengan Bayu dan Tomogoro merupakan tempat yang sangat penting bagi Pangeran Jagapati. Selain itu Tomogoro juga menjadi tempat menimbun semua persediaan yang diperlukan sebelum diangkut ke Bayu.[2][12]
Melihat posisi Tomogoro yang strategis, VOC mendirikan kubu pertahanan dengan maksud untuk memudahkan penyerangan ke Bayu. Rakyat Blambangan yang mengetahui aktivitas VOC berusaha menghindarinya serta membawa semua perbekalan ke Bayu bergabung dengan Pangeran Jagapati. Sementara di sepanjang jalan menuju Bayu yang menanjak dan licin, Pangeran Jagapati memerintahkan pejuang Bayu untuk menebangi pohon agar menutup jalan sehingga tidak bisa dilewati. Pasukan VOC yang sudah kelelahan dalam menempuh perjalanan yang sulit dan kehabisan perbekalan terpaksa mengehentikan penyerangan dan mundur ke Ulupampang.[2]
Keadaan yang mengkhawatirkan memaksa Biesheuvel minta dikirim 300 pasukan pribumi dari Jawa Timur dan satu pasukan tentara Eropa berkekuatan 40 prajurit. Di Bayu Pangeran Jagapati membicarakan tentang pasukan-pasukan kompeni yang terpaksa berhenti di tengah jalan, mundur ke Ulupampang. Kemudian Pangeran Jagapati menyusun strategi perang dengan membagi pasukan menjadi dua sayap. Sayap kiri yang terdiri dari 3.000 orang diserahkan kepada Kebo Undha, sayap kanan dipercayakan kepada Kidang Salendhit. Kedua pemimpin pasukan ini ingin membalas kekalahan yang telah dialami di Gegenting (Gambiran dan Tomogoro).[13]
Pada tanggal 22 September 1771 malam pukul 20.00 WIB, Residen Biesheuvel menerima laporan dari Sersan Rood yang membawa berita dari Letnan Imhoff komandan VOC di Kuta Lateng yang menyatakan bahwa pagi hari, 22 September 1771, kereta VOC telah mulai bergerak maju dalam medan perang yang memuat berbagai keperluan untuk menyerang Bayu. Misi pasukan VOC itu adalah mengusir pejuang Blambangan dan memusnahkan semua yang ada. Pasukan VOC telah masuk dalam kubu pertahanan bagian luar pejuang Bayu dengan pasukan pribumi di depan, sehingga keselamatan pasukan orang Eropa VOC terjamin. Namun ternyata dukungan orang-orang prajurit pribumi tidak dapat diharapkan. VOC menambah pasukan Eropa untuk melindungi penyerangan. Yang terjadi malah pasukan pribumi VOC mengelompokkan dirinya menjadi 2 kelompok. Satu pihak berdiri di sebelah kiri pasukan VOC, sedang kelompok satunya lagi di sebelah kanan. Tiba-tiba mereka berlari-lari bersamaan masuk ke dalam hutan dan menghilang. Pimpinan pasukan VOC memanggil-manggil dan mengancam pasukannya yang masuk ke hutan itu namun tak dihiraukannya. Dengan begitu pasukan VOC ditinggal begitu saja oleh pasukan pribumi. Akibat larinya pasukan pribumi, maka serdadu VOC asal Eropa saja yang terlibat perang dalam 3 jam terus menerus. Sampai-sampai semua peluru, termasuk persediaan yang terakhir dikeluarkan dari peti penyimpanannya untuk dibagikan. Juga amunisi untuk senjata berat, semuanya telah terpakai habis untuk menembak. Banyak serdadu Eropa yang tewas dan terluka. Diantaranya yang terluka adalah Letnan Imhoff setelah 2 jam dihujani tembakan terus menerus oleh pejuang Blambangan dari tempat persembunyiannya. VOC terpaksa meninggalkan semua perlengkapannya termasuk sebuah kanon berukuran satu pon dan dua buah mortir. Serta, semua tukang pikul perbekalan mati.[10]
Hari itu juga, 22 September 1771 dilakukan penghitungan berapa sisa pasukan VOC asal pribumi. Oleh para pemimpinnya dilaporkan bahwa 13 orang tewas yang terdiri dari 5 komandan dan 8 tamtama, 94 orang terluka tembakan kena duri karena tatkala mundur mereka tergesa-gesa. Sisanya 87 orang luka kena sungga (ranjau/sunggrak). Datang kapal dari Pasuruan dengan mengangkut beras. Biesheuvel mengirim surat pada atasannya di Surabaya tertanggal Ulupangpang, 22 September 1771 guna memohon bantuan militer sebanyak 1000 laskar Sumenep dengan 150 serdadu Belanda. Juga diminta sepuluh peti peluru karena empat peti sebelumnya telah habis dalam penyerangan yang gagal. Pasukan ekspedisi bantuan itu direncanakan untuk merusak segala jenis makanan di daerah Bayu. Karena tidak ada cara lain bagi VOC selain mengadakan aksi yang membuat orang Bayu kelaparan dan kekurangan.
Babad Bayu menceritakan peristiwa di atas sebagai berikut:
Berkecamuklah perang. Tanda pertempuran dibunyikan dengan tambur, beri, kendang dan gong. Jayasengara, adipati Bangil maju berkuda, diikuti yang lain. Pasukan Kompeni membentuk segi empat. Bunyi bedil, meriam dan tiktak (meriam kecil) mereka memekakkan telinga. Udara gelap karena asapnya. Jayasengara berpendapat, mustahil orang Bayu menang. Jayasengara kena peluru meskipun kebal dan berlindung di belakang sebuah pohon. Ia melihat Kompeni kehilangan banyak prajurit, ada yang luka banyak yang mati. Dan hilanglah harapannya untuk menang. Di pihak Belanda hanya kumendanlah yang masih hidup. Orang Surabaya, apalabi orang Bangil, mendapat kekalahan dan lari tunggang-langgang, disoraki orang Bayu. Komandan Kompeni terluka perutnya oleh peluru Keboundha. Kudanya dicambuknya sehingga lari terus sampai Ulupampang. Patih Jatasengara yang paling akhir pulang meninggalkan medan perang, menyusuri kali. Orang Bayu yang mabuk kejayaan mengejar musuh di jalan-jalan sampai Gegenting, bahkan sampai Cendhana. Maka orang Bayu pulang sambil menembang atau meniru suara gamelan dan menandak.[14]
Ketika bala bantuan datang untuk VOC, bersamaan dengan itu Pangeran Jagapati mendapatkan bantuan 300 orang dari Bali lengkap dengan senjata dan bahan makanan, dan berhasil mengepung benteng VOC di Kuta Lateng. Jalan-jalan ke Panarukan oleh para pejuang Bayu dijaga dengan ketat dan diberi penghalang-penghalang dari kayu gelondongan, jembatan-jembatan dirusak untuk mempersulit transportasi pasukan dan perbekalan VOC. Penyerbuan Pangeran Jagapati ke Lateng ini mampu menangkap dan menawan banyak serdadu VOC dan merebut sepeti mesiu dan 1200 peluru serta senjata.[1] Sedangkan VOC mengerahkan seluruh kekuatannya dengan mendatangkan bantuan tentara dari garnisun-garnisun Batavia, Yogyakarta, Surakarta, Surabaya dan Pasuruan dengan pasukan Dragonders dari Semarang sebagai pasukan inti.[3]
Karena kekalahan yang ditimbulkan oleh Pangeran Jagapati dan para pejuang Bayu itu maka memaksa Gubernur Van der Burgh mengirim surat ke Pieter Luzac (gezaghebber Ujung Timur), agar penduduk Senthong (dekat Bondowoso) dicegah berhubungan dengan penduduk Blambangan dan Lumajang. Juga agar dilakukan penelitian sebab-sebab kekalahan serdadu VOC.
Biesheuvel pada bulan November 1771 meninggal ia digantikan oleh wakilnya, Hendrik Schophoff. Pada bulan itu, bantuan tentara VOC tiba di Ulupampang di bawah komando Kapten Reygers dan Heinrich. Pasukan VOC berhasil mengalahkan para pejuang Blambangan di Kuta Lateng. Sedangkan kapten Reygers berhasil menghancurkan gudang persediaan makan di Banjar (Kecamatan Glagah), menguasai Grajagan di Pantai Selatan dan membakar sekitar 300 koyan beras (1 koyan sekitar 185 kg) atau 55,5 ton. Pada waktu yang bersamaan VOC mengeluarkan surat-surat pengampunan bagi penduduk yang mau meninggalkan Bayu.[4]
Kapten Reygers setelah berhasil mendesak para pejuang Blambangan di Kuta Lateng, pada tanggal 13 Desember 1771 beserta pasukannya berangkat menyerang benteng Bayu. Pengalaman pahit VOC menyerang Bayu dari arah selatan, memaksa VOC menyerang Bayu dari arah utara, yaitu Songgon. Keesokan harinya 14 Desember 1771 Reygers memerintahkan penyerangan dengan kekuatan 2000 laskar Madura di bawah pimpinan Alapalap, sebagai laskar terdepan. Di belakangnya dilapisi oleh serdadu Eropa yang dilengkapi dengan meriam yang dipimpin oleh Sersan Mayor van Schaar. Barisan belakang menggempur Bayu sebelum Alap-alap bergerak maju. Mendengar penyerbuan VOC dari arah utara, dengan gerak cepat Pangeran Jagapati memimpin sendiri penyerangan ke Songgon pada tanggal 15 Desember 1771, bersama 1000 orang jagabela yang bersenjatakan keris, pedang dan tombak. Kekuatan jagabela yang di Bayu dikerahkan menyerang Songgon.[4]
Taktik perang pejuang Bayu yang terencana matang dan menguasai medan, menyebabkan pasukan VOC yang menyerang dari dua arah, yakni Susukan dan Songgon, telah terjebak dan disergap oleh pasukan Bayu dan dihancurkan sama sekali. Kapten Reygers terluka parah di kepalanya dan kemudian ia meninggal di Ulupampang. Puncak penyerangan para pejuang Blambangan terjadi pada tanggal 18 Desember 1771. Dalam peristiwa itu para pejuang Blambangan melakukan serangan umum dan mendadak terhadap serdadu VOC. Belanda sendiri menyatakannya sebagai “de dramatische vernietiging van Compagniesleger” (kehancuran dramatis pasukan kompeni). Prajurit Blambangan di bawah pimpinan Pangeran Jagapati maju ke medan tempur dengan membawa senjata golok, keris, pedang, tombak, dan senjata api yang diperoleh sebagai rampasan dari tentara VOC. Serangan pejuang Bayu yang mendadak, membuat pasukan VOC terdesak. Demikian juga pasukan Eropa VOC yang berada di belakang. Ketika posisinya terus terdesak, mereka mundur dan lari meninggalkan semua perlengkapan perang. Pejuang Bayu mengejar pasukan VOC. Saat itulah pasukan VOC banyak yang terjebak dalam jebakan yang dinamakan sungga (parit yang di dalamnya dipenuhi sunggrak) yang telah dibuat oleh pejuang Bayu. Pasukan VOC yang terjebak dan dihujam dari atas. Sersan Mayor van Schaar, komandan pasukan VOC, Letnan Kornet Tinne dan ratusan serdadu Eropa lainnya yang tewas dalam perang itu. Dari serdadu yang tersisa yang sempat melarikan diri, jumlahnya tidak seberapa, umumnya dalam keadaan terluka dan sakit. Namun demikian, di pihak Blambangan harus membayar mahal dengan kehilangan pemimpinnya. Pangeran Jagapati gugur karena luka-lukanya sehari berikutnya yakni tanggal 19 Desember 1771. Sebagai ungkapan balas dendam atas gugurnya Pangeran Jagapati, beberapa jagabela mencincang mayat van Schaar.[15][16]
Peristiwa ini dikisahkan dalam Babad Tawang Alun xi.5-21, sebagai berikut:
Pangeran Jagapati bertempur melawan Alap-alap dari Madura. Keduanya tak terkalahkan. Lalu ketahuan oleh Pangeran Jagapati bahwa Alap-alap memakai baju zirah. Maka dengan lembing pusakanya, Si Kelabang, dari jenis biring lanangan, ditusuknya Alapalap dari bawah. Dan Alap-alap roboh tetapi masih sempat melukai Pangeran Jagapati. Alap-alap diusung ke perkemahan, lalu meninggal. Jagapati yang luka parah dibawa ke benteng. Dengan luka parah Pangeran Jagapati masih mampu mengatur strategi peperangan dengan menunjuk Jagalara dan Sayu Wiwit sebagai wakilnya untuk melanjutkan peperangan. Keesokan harinya pertempuran dilanjutkan diiringi suara kendang, gong, beri dan tambur dan berlangsung sampai malam tiba. Setelah kembali ke benteng para prajurit Bayu mengetahui bahwa Pangeran Jagapati telah meninggal. Babad Tawang Alun xii.1-2 melanjutkan: Pangeran Sumenep dan Panembahan Bangkalan sangat marah karena kematian Alap-alap. Pasukan Madura dan Kompeni bertempur lagi dan kehilangan 2.000 orang sebagai akibat amukan orang Bayu.
Pada tanggal 20 Desember 1771 pasukan VOC turun kembali ke Kuta Lateng. Orang Eropa yang masih tersisa juga ikut turun, diantaranya Sersan Mayor Ostrousky yang terluka berat. Sebagian terbesar dari mereka sudah tidak bersenjata lagi. Mereka dalam keadaan sangat lelah, letih. Mereka berjalan berkelompok-kelompok kembali ke Kuta Lateng. Mereka menumpahkan kesalahan atas kekalahannya pada diri Sersan Mayor van Schaar yang bersikap pengecut. Ia dipersalahkan karena setalah menembak pejuang Bayu sekali saja, terus melemparkan senjatanya dan melarikan diri pertama kali. Kerugian di pihak VOC prajurit yang gugur dan hilang adalah: Sersan Mayor van Schaar, Peltu kornet Tinne, 41 prajurit Infanteri, 15 prajurit korps khusus Dragonders, para bintara dan tamtama, 1 prajurit arteleri dan sejumlah besar laskar pribumi. JR Vander Burgh, gubernur VOC urusan pantai timur Jawa pada 13 Januari 1772 di Semarang mengirim laporan pada atasannya, bahwa setelah penyerangan ke Bayu mengalami kekalahan pada 20 Desember 1771, maka banyak anggota pasukan pribumi yang melarikan diri. Bahkan pada 31 Desember 1771 terdapat 300 laskar Madura secara bersama melewati Panarukan kembali ke daerah mereka di Sumenep Madura.
Babad Bayu xvi 1-13 menceritakan:
Bambang Sutama dan Jayareca membawa pasukannya ke Panarukan lewat Watu Dodol, Bajulmati dan Banyuputih. Mereka terpaksa mengaku kepada komandan VOC di Panarukan bahwa Bayu belum jatuh, karena orang Bayu terlalu kuat. Dan bahwa Guntur Geni mati, begitu juga semua orang Belanda. Komandan itu hampir tidak percaya. Rupanya, siapapun yang menaklukkan Bayu tidak akan kembali hidup. Bambang Sutama dan Jayareca minta diri pada komandan VOC, pertama pulang ke Sumenep. Di sini penduduknya keheranan melihat mereka kembali dalam keadaan selamat. Bupati Semenep ingin tahu mengapa dia dan Sutadipa masih hidup. Kedua orang itu menundukkan kepala rendah-rendah, malu takut dapat murka tuan mereka. Adapun Bambang Sutama pergi ke Surabaya untuk menyerahkan surat CVD Biesheuvel, penguasa di Ulu Pampang pada penguasa di Surabaya, Pieter van Luzac. Selanjutnya pulang ke Madura atas izin penguasa VOC itu.[17]
Setelah Perang Bayu I dan persiapan Perang Bayu II
[sunting | sunting sumber]Kekuatan pasukan VOC telah berkurang, membuat VOC menghentikan peperangan. Kemudian para penguasa VOC mengambil sikap berhati-hati dan mendorong pasukannya untuk menggunakan cara-cara lain untuk menangkis serangan yang mendadak demi menyelamatkan bengsanya. Karena itu selama musim hujan, sebagian terbesar pasukan VOC bersikap defensif saja. Pasukan Eropa ditempatkan pada pertahanan di Ulupampang dan Kuta Lateng saja, yang dipandang tempatnya paling sehat.
Sementara itu laskar Madura, Sumenep dan Pamekasan bersama 2 kompi orang pribumi lainnya, pembentukan dan persiapannya sedang diproses. Tatkala itu 118 orang sedang dalam perjalanan ke Blambangan. Mereka ditempatkan di Ulupampang, Kuta Lateng, dan ditempatkan diberbagai benteng yang ada, dan dijalur-jalur jalan ke arah Bayu. Tujuannya adalah untuk menghalangi dan menghentikan penyaluran bahan makanan ke pusat pertahanan Bayu. Segala jenis bahan makanan yang sekiranya dapat digunakan oleh para pejuang Bayu, agar segera dimusnahkan. VOC memerintahkan untuk membunuh siapapun yang mencoba menghalangi-halangi rencananya.
Dengan kemenangan yang dicapai oleh para pejuang Bayu, penguasa VOC mengatur kembali strateginya. Karena itu, maka penguasa VOC telah memperbaharui rekomendasi kedudukannya di darat. Diadakannya patroli di laut dan di sepanjang pantai Blambangan, khususnya disekitar Meneng dan Grajagan untuk menghalangi hubungan Pejuang Bayu dengan oarang Bali. Kemudian VOC mengadakan patroli dengan ketat terhadap segala jenis kapal dan perahu melewati Selat Bali.
Akibat perang selama bulan Desember VOC banyak kehilangan sejumlah pejabat dan perwira militer yang tewas. Karena banyak kehilangan perwira dan prajurit, VOC menjadi depensif dan menarik semua pasukannya ke Kuta Lateng dan Ulupampang. VOC yang mengalami kekalahan besar membutuhkan waktu setahun untuk memulihkan kekuatannya. Dengan kenyataan benteng Bayu yang sangat kuat, VOC harus mempersiapkan pasukan yang lebih besar untuk mengalahkan laskar Blambangan. Untuk keperluan itu VOC mengadakan panggilan umum kepada semua bupati dan penguasa taklukan Belanda untuk mendatangkan bala bantuan. Semua tentara Eropa dari semua garnisum dikonsinyasikan di Blambangan. Kemudian 2000 pasukan Madura segera dikirim ke Jawa. Pada bulan Agustus 1772 Heinrich tiba di Blambangan dengan 5.000 prajurit. Heinrich menjadi komandan dan dibantu residen Schophoff dari Ulupampang. Sedangkan Van der Burgh, Gubernur Jawa Bagian Timur, secara pribadi datang sendiri ke Blambangan.
Perang Bayu II
[sunting | sunting sumber]Pada 1 Oktober 1772, setelah hampir satu tahun gagal menyerang Bayu, VOC mengadakan penyerangan lagi ke Bayu. Songgon yang tidak diduduki sisa pengikut Pangeran Jagapati kembali dijadikan benteng pertahanan untuk menyerang Bayu. Kapten Heinrich beserta pasukan Expedisi V bergerak dari kota Ulupampang. Pada 5 Oktober 1772, pagi hari pasukan VOC itu telah berkemah di Sontong. Untuk menghindari sungga Kapten Heinrich memerintahkan bawahannya membuat jalan dengan cara menumbangkan pepohanan hutan. Kemudian pada Peltu Mirop dan Peltu Dijkman ditempatkan satu pasukan sebanyak 900 orang untuk menguasai daerah ketinggian sebelah kanan dari benteng Bayu, dengan dipersenjatai meriam. Sedang Vaandrig Guttenburger dan Koegel, ditempatkan di Sontong. Kemudian Kapten Heinrich dengan 1.500 orang berikut Vaandrig Ienigen di Sentum berjaga-jaga di posisi antara ketinggian yang saling dapat berhubungan melalui satu jurang yang menganga di antaranya. Benteng Bayu terkepung secara ketat.
Dari tanggal 5 sampai 11 Oktober 1772 itu Kapten Heinrich mengadakan konsolidasi dengan elemen-elemen militer lainnya. Pada tanggal 10 Oktober 1772, Letnan Imdeken meyakinkan Kapten Heinrich bahwa Kapten Heinrich dapat menerobos, sehingga Kapten itu mengadakan perundingan. Kapten Heinrich memutuskan untuk mulai melakukan penerobosan.
Pada 11 Oktober 1772 pagi hari, VOC mengerahkan semua kekuatannya menggempur Bayu dengan tembakan-tembakan meriam. Tetapi selama dua bulan Bapa Endha dapat bertahan bersama 1000 orang pengikutnya yang setia. Pengiriman perbekalan di pihak VOC cukup lancar karena jalan dari Ulupampang menuju Songgon bebas dari halangan pejuang Bayu. Sekitar bulan Desember 1772 Bapa Endha dan pejuang Bayu mengalami kekurangan perbekalan karena bahan makanan yang ada ternyata tak mampu mencukupi kebutuhan semua laskar yang ditarik dan dipusatkan ke Bayu. Bayu sudah sulit dipertahankan lagi. Namun mereka masih mengadakan perlawanan sekuatnya. Vaandrig Mierop sesuai dengan perintah komandannya, membuat alarm tipuan pada sayap kanan dengan membuat api untuk memancing membagi kekuatan musuh supaya tepat didepan dan di sayap kiri Kapten Heinrich. Kemudian Kapten Heinrich dengan kekuatan intinya 1.500 pasukannya menerobos dan menyerang benteng Bayu dari sayap kiri tepat pukul 08.00. Benteng Bayu yang amat kuat akhirnya dapat direbut pasukan VOC. Setelah benteng Bayu dapat direbut VOC merusak dan membakarnya.
Pasukan Kapten Heinrich mendapat rampasan beberapa jenis senjata berupa 1 meriam dan 3 mortir ukuran 4 dim milik pejuang Bayu. Para prajurit pribumi VOC mendapat rampasan 100 pucuk senjata berlaras panjang dan 200 kuda serta masih banyak lainnya dari dalam benteng Bayu.
Para pejuang Bayu telah meloloskan diri ke daerah pegunungan. Kapten Heinrich telah memerintahkan mengejar mereka sampai malam hari. Semua milik para pejuang Bayu agar diambil. Pada pagi hari keesokannya juga dilakukan pengejaran dengan patroli yang kuat. Ternyata memerlukan perjalanan sehari penuh ke pegunungan.
Kapten Heinrich menyuruh bawahannya untuk membunuh para tawanan pria dan memotong kepalanya. kemudian kepala mereka yang terpotong digantung di pepohanan yang tinggi untuk membuat pejuang Bayu lainnya takut. Pengejaran terhadap musuh masih terus dilakukan bagi pejuang Bayu lainnya. Atas perintah dari Residen Schophoff, VOC di Bayu turun tanggal 24 Oktober 1772.[18]
Babad Bayu menceritakan penyerbuan ini sebagai berikut:
Panembahan Madura sanggup memenuhi permintaan VOC Surabaya sebanyak 10.000 orang Madura. Laskar ini dipimpin oleh Suradiwira. Pasukan Madura barat ini berlayar dan berlabuh di Panarukan disambut oleh pasukan VOC. Madura timur di Sumenep telah menyiapkan 3.000 orang laskarnya yang dipimpin langsung oleh Pulangjiwa. Mereka ini berangkat dari pantai Pamaringan menuju Purwasari di Pantai Jawa. Semuanya bertemu di Panarukan. Esok harinya barisan maju seperti badai. Bermalam di Bajulmati, malam berikutnya sampailah mereka di kota Ulupampang.
Di Ulupampang Raden Pulangjiwa disambut VOC. VOC menghormatinya dan menyanjung dengan tembakan meriam. Esok harinya pasukan VOC Madura bergerak maju, gong dan gendhang dipukul. Di Songgon mereka berkemah dan beristirahat.
Para pejuang Blambangan di Bayu telah mengetahui kedatangan pasukan VOC dan Madura dari mata-matanya. Raja mereka Pangeran Jagapati sudah meninggal. Pasukan dibagi menjadi dua, sayap kiri dan sayap kanan. Pimpinan di pegang Keboundha yang perkasa..
Tembakan dimulai diiringi sorak sorai dari kedua belah pihak. Orang Madura banyak yang mati, banyak yang ditawan. Pertahanan Bayu memang tangguh, tatkala R. Pulangjiwa maju sebutir peluru Bayu menyambar topinya, peluru lainnya menembus Langlangpasir. R. Pulangjiwa mundur dan memerintahkan pasukannya untuk membuat benteng bergerak dan setiap mantri diberi tunggul bambu sebagai pertahanan. Orang Madura mulai menembak lagi, namun pelurunya jauh dari sasaran. Laskar Bayu membalasnya, setiap pelurunya menewaskan orang Madura yang disasar. Suradiwira marahnya tak alang-kepalang. Laskarnya diperintahkan supaya menyerang namun terhalang sungga dan suda. Pulangjiwa dipukul mundur.
Pulangjiwa dan VOC telah menyelesaikan pertahanan mereka. Satu untuk setiap mantri, dan satu benteng bergerak untuk pasukan. Suara gong, gendhang, tambur, dan biring bergema di langit ditambah sorak sorai laskar Madura. Pasukan VOC maju di belakang pertahanan mereka yang anti tembus peluru. Medan perang dekat benteng Bayu sudah bersih dari sungga dan suda, sehingga VOC dapat membawa meriam-meriam mendekati benteng Bayu. Dengan dilindungi tembakan meriam, laskar Sumenep dan VOC berhasil memasuki beteng Bayu. Atas perintah VOC, rumah-rumah Bayu dibakar habis. Benteng Bayu diratakan dengan tanah..
Sedangkan Babad Tawang Alun memberikan gambaran peristiwa ini sebagai berikut:
Pangeran Sumenep sangat marah mendengar kematian Tumenggung (Alap-alap)nya dalam perang Bayu pertama. Demikian pula Panembahan Bangkalan juga sangat marah. Karena itu, dia segera mengerahkan balatentaranya. Baik VOC maupun Madura maju perang ke Bayu. Kedua pihak saling menombak dan saling menembak. Mengamuklah para pejuang Bayu, sehingga balatentara VOC banyak yang mati. Kemudian datang lagi 2.000 bala bantuan musuh. Pejuang Bayu kalah dalam perang. Banyak pejuangnya yang gugur. Lamanya perang Bayu itu selama 2 tahun. Maka takluklah Bayu. Banyak rakyat kecil yang mati, yang tersisa menyelamatkan diri, mengungsi kehutan belantara atau ke dalam jurang di hutan pegunungan, sedang yang tertangkap, segera diangkut. Banyak yang diangkut ke daerah Ulupampang. Selanjutnya dibawa ke barat, terutama para tokohnya dibuang ke Selong.
Setelah Perang
[sunting | sunting sumber]Pemimpin Blambangan banyak yang menyingkir ke Nusa Barung. Schophoff menyuruh mengirimkan 264 orang Blambangan ke Surabaya baik pria, wanita dan anak-anak. Sampai tanggal 7 November 1772 sudah 2.505 orang pria dan wanita yang tertangkap. Schophoff memerintahkan untuk menenggelamkan tahanan laki-laki yang dituduh telah memakan daging mayat van Schaar. Orang Madura telah merebut para wanita dan anak-anak Blambangan sebagai hasil rampasan perang. Sebagian dari mereka telah melarikan diri ke dalam hutan, telah meninggal karena kelaparan dan kesengsaraan yang mereka alami. Sehingga bau mayat-mayat yang membusuk, menggangu sampai jarak yang jauh. Mereka yang masih hidup menetap di hutan-hutan, membuka perladangan baru di Pucangkerep, Kaliagung, Petang dan lain-lain. Mereka tetap bersikeras untuk melepaskan diri dari penjajahan VOC.
Perlawanan rakyat dalam bentuk pemberontakan-pemberontakan lokal masih terjadi di berbagai daerah di Blambangan sampai sepuluh tahun kemudian. Pemberontakan-pemberontakan itu antara lain: Pemberontakan yang terjadi di Gendoh yang dipimpin oleh Hanggapati. Pemberontakan yang dipimpin oleh Ki Mus Aceh. Pemberontakan yang dipimpin oleh Pangeran Singo pada tahun 1781 dan sisa-sisa laskar Bayu yang hidupnya masih berpindah-pindah. Pemberontakan yang dipimpin oleh Mas Sekar pada tahun 1797 yang bermaskud membunuh semua orang Belanda yang ada di Blambangan. Untuk menghadapi pemberontakan ini Belanda harus mendatangkan lagi bantuan beberapa kompi tentaranya dari Surabaya dan Semarang. Pemberontakan ini gagal, Mas Sekar tertangkap dan para pengikutnya banyak yang disiksa dan dibuang ke Semarang. Pemberontakan yang dipimpin oleh Berengos Perada pada tahun 1800, yang berpusat di Rajekwesi.
Wikkerman (residen di Blambangan pada tahun 1800-1818) melaporkan bahwa sensus penduduk pertama setelah berdirinya kabupaten Banyuwangi jumlah penduduk belum mencapai 300 keluarga. Akibat perang yang menelan korban sekitar 60 ribu orang, penduduk Blambangan hanya tersisa sekitar 5 ribu jiwa.[19] Hampir habisnya penduduk Blambangan akibat perang, pihak VOC mendatangkan tenaga kerja dari luar Blambangan untuk mengolah tanah-tanah pertanian yang kosong. Mereka ditempatkan di rumah penduduk yang kosong yang ditinggalkan ketika perang. Akibat kedatangan berbagai macam penduduk dari luar Blambangan, menjadikan Blambangan berpenduduk sangat majemuk.
Akibat perang, VOC banyak kehilangan sejumlah pejabat dan perwira militernya. Mereka itu adalah Residen Cornelis van Biesheuvel, Sersan Mayor van Schaar, Letnan Kornet Tinne, Vandrig Ostrousley, Kapten Reygers, dan ratusan pasukan Eropa. Sebanyak 10 ribu pasukan yang didatangkan oleh VOC dari berbagai daerah untuk menggempur Blambangan banyak yang tewas. VOC juga mengeluarkan kebijakan untuk menarik simpati agar orang-orang yang kembali ke Blambangan diberikan hadiah 2,5 rijksdalder ( sekitar 6 gulden). Pada tahun 1773 sebanyak 12 keluarga berhasil diboyong dari Surabaya ke Banyuwangi, sedangkan sebelumnya sebanyak 285 orang telah menetap di Blambangan karena motif untuk mendapatkan hadiah uang. VOC juga membebaskan penarikan pajak selama 15 tahun. Baru pada tahun 1786, VOC bisa menerima 9600 pikul beras, persewaan tempat-tempat sarang burung walet, ikan, teripang, serta kulit mutiara.
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ a b c J.K.J. de Jonge, De Opkomst Van Het Nederlansch Gesag Over Java-XI, ML van Deventer, 1883
- ^ a b c d e f I Made Sudjana, Nagari Tawon Madu, Larasan-Sejarah, Kuta-Bali, 2001.
- ^ a b c d C. C. Lekkerkerker, Balambangan, Indische Gids II, 1932
- ^ a b c d Pangeran Jagapati dalam Perang Bayu diakses 1 Agustus 2015, 10.51 WIB
- ^ J.C. Wikkerman, Originele aparte missive van den Gouverneur van den Burg., ARA, VOC 3337
- ^ Babad Bayu (ditulis pada tahun 1826) pupuh vi 11-20 dalam Winarsih PA, op.cit., hal.153-154.
- ^ Inventaris Hindoe oudheden III, 1923:123 nomor 2547 dalam C. Leckerkerker, op.cit., hal.1056.
- ^ Eebidige voordracht…” ARA, VOC 3389 hal. 239-242
- ^ Memorie totnaricht…” ARA, VOC 3589 hal. 1040
- ^ a b J.K.J. de Jonge, op.cit., hal. 175, Surat CVD Biesheuvel (Residen) dan Hendrik Schophoff (Wakil Residen) Blambangan kepada Yang Mulia Penguasa di Surabaya tertanggal Ulupampang, 4 Agustus 1771.
- ^ Babad Bayu dalam Winarsih PA, op.cit., hal. 227.
- ^ ARA, VOC 3337 hal. 263-266; “Copie verklaring van Balem-boangsche……”
- ^ Babad Bayu pupuh v.23-28, dalam Winarsih PA, op.cit., hal. 231.
- ^ Babad Bayu pupuh v-vi.8, dalam Winarsih PA, op.cit., hal. 231-232.
- ^ J.C. van Wikkerman, “Copie resolutie…”, ARA, VOC 3416, hal. 150.
- ^ Ali, Hasan. Sekilas Perang Puputan Bayu, Pemda TK II Kabupaten Banyuwangi, 1997.
- ^ Babad Bayu dalam Winarsih PA, op.cit.., hal. 239.
- ^ J.K.J. de Jonge, Ibid., hal 228-230, Berdasarkan surat laporan Kapten Heinrich, komandan pasukan VOC di Kuta Lateng kepada pada Pieter luzac penguasa VOC di Surabaya, tertanggal Bayu, 12 Oktober 1772 yang dikirimkan dari markas utama Kompeni di Bayu.
- ^ F. Epp, Banjoewangi, TNI I/ii/1849, hal. 242-261.