Perdagangan seks
Perdagangan seks merupakan bentuk dari perdagangan manusia yang melibatkan eksploitasi seksual terhadap kaum perempuan maupun laki-laki dewasa dan anak-anak di bawah umur.[1] Perdagangan seks didefinisikan sebagai tindakan kejahatan yang terjadi ketika perempuan, laki-laki, dan atau anak-anak terlibat secara paksa dalam tindakan seks secara komersial yang berdampak negatif pada kesejahteraan individu, keluarga, dan masyarakat.[2]
Gambaran umum
[sunting | sunting sumber]Diantara bentuk utama perdagangan manusia, menurut definsi dari Departemen Luar Negeri Amerika serikat, salah satunya ialah perdagangan seks, selain kerja paksa, pekerja anak paksa, prajurit anak, eksploitasi seksual komersial anak, dan pariwisata seks anak.[3] Banyak dari korban yang memasuki kehidupan gelap ini sebagai anak-anak dan remaja. Para korban perdagangan seks umumnya berusia antara 10 hingga 17 tahun ketika awal mula masuk, dengan latar belakang masa kecil yang sama seperti pelecehan seksual, kekerasan fisik, penelantaran, hingga pelarian dari rumah.[4] Timbulnya korban juga disebabkan atau dipengaruhi oleh dinamika keluarga yang negatif, keterbatasan individu pada fungsi intelektual, remaja putus sekolah, sulit bergaul dengan sosial atau masyarakat, serta pernah mengalami pelecehan fisik maupun seksual sebelumnya.[5]
Di Amerika Serikat, tindakan kejahatan perdagangan manusia sering melibatkan eksploitasi seksual komersial terhadap perempuan dewasa dan anak di bawah umur. Perdagangan seks dianggap sebagai kasus kejahatan yang parah dan didefinisikan sebagai perekrutan, penyembunyian, pengangkutan, penyediaan, atau perolehan seseorang untuk tujuan tindakan seks komersial.[1] Sebagaimana didefinisikan oleh lembaga hukum Amerika Serikat, korban perdagangan manusia terbagi menjadi tiga kategori, di antaranya: anak-anak di bawah umur 18 tahun (dipekerjakan ke dalam seks komersial), orang dewasa (usia 18 tahun atau lebih) dibujuk ke dalam seks komersial melalui kekerasan, penipuan, atau paksaan, serta anak-anak dan orang dewasa yang dibujuk untuk melakukan pekerjaan lainnya.[6]
Sering kali, para pelaku perdagangan manusia membuat korbannya tetap di bawah kendali menggunakan ancaman berupa hutang yang harus mereka lunasi. Para pelaku juga menggunakan korban perdagangan seks untuk merekrut korban lainnya, mereka akan dijerumuskan dalam tindakan kriminal seperti pornografi, atau pelacuran. Kebanyakan para korban paling banyak didapat oleh muncikari lewat jejaring sosial, lingkungan tempat ia tinggal, di klub-klub malam atau bar, internet, dan sekolah dengan diiming-iming janji berupa perlindungan, rumah, maupun kesempatan untuk memperbaiki ekonomi keluarga mereka. Berbagai cara yang dilakukan oleh muncikari untuk mendapatkan korbannya ialah dengan kekerasan, ancaman, maupun intimidasi.
Fase perkembangan prostitusi
[sunting | sunting sumber]Williamson dan Folaron (2003) mengusulkan terdapat lima fasse perkembangan dalam prostitusi. Pertama, adanya godaan yang memikat ke dalam gaya hidup (enticement into the lifestyle). Awal memasuki dunia prostitusi, korban harus dibujuk dengan keuntungan yang akan didapatkan dari segi finansial dan pasrah terhadap moral yang akan dilepaskannya. Biasanya korban tersebut memiliki kebutuhan yang signifikan seperti makanan dan tempat tinggal yang tidak dapat ia penuhi dari sumber penghasilan lain. Prostitusi dipandang sebagai pilihan untuk bertahan hidup dan meringankan beban keuangan. Beban emosional dari kehidupan rumah tangga yang penuh tekanan, termasuk pelecehan, pengabaian, dan kemiskinan, dapat berdampak pada seorang gadis atau remaja untuk melarikan diri dan memasuki gaya hidup ini.
Kedua, korban mulai mempelajari gaya hidup yang baru dialaminya (learning the lifestyle). Dimulai dengan beradaptasi terhadap lingkungan baru dan mempelajari aturan perilaku untuk dapat bertahan hidup di lingkungan tersebut. Dalam fase kedua ini, aspek penghargaan dari prostitusi sangat menonjol dan perempuan fokus pada keuntungannya. Pada fase ini juga korban mulai memasukkan kebiasaan dan cara berpikir baru. Mereka menemukan cara untuk membungkam pengekangan moral dan mulai menghargai eksploitasi. Korban diajari untuk mengambil tindakan dengan tenang dan belajar dari kesalahan mereka serta cara melindungi diri dari ajakan kencan berbahaya.
Ketiga adalah menjalani gaya hidup tersebut (living the lifestyle). Dalam fase ini korban yang disebut sebagai pelacur mulai betah dan menghabiskan waktu lebih lama daripada waktu sebelumnya. Mereka mengisolasikan diri dari lingkungan luar mereka seperti sekolah, ruang publik, dan sebagainya. Yang berbeda dari fase ini ialah adanya peningkatan sosialisasi dengan jaringan sosial bawah tanah, yang mengakibatkan peningkatan penggunaan narkoba. Kemudian memiliki pengalaman dengan lebih banyak pelanggan, dan meningkatnya kekerasan terkait pelanggan. Karena meningkatnya pekerjaan dan meningkatnya kekerasan, godaan gaya hidup berkurang. Ada peningkatan depresi. Penggunaan narkoba bergerak dari tujuan rekreasi ke tujuan fungsional untuk melakukan pekerjaan.
Fase keempat merupakan terperangkap dalam gaya hidup (caught up in the lifestyle: trsuting the game). Pada fase ini, korban wanita mengalami depresi kronis hingga penyalahgunaan narkoba. Kesehatan fisik memburuk, termasuk berat badan dan kondisi kronis lainnya yang tidak diobati. Kondisi emosional mereka juga melemah. Ketika kecanduan narkoba menjadi lebih banyak, perempuan semakin tenggelam dan semakin terputus dari dukungan sosial apa pun, termasuk anak-anak dan keluarga.
Kelima adalah meninggalkan gaya hidup (leaving the lifestyle). Keputusan untuk keluar adalah keputusan yang dicapai melalui beberapa refleksi atas kemampuan untuk melanjutkan gaya hidup. Juga harus ada keyakinan bahwa ada “sesuatu yang lebih baik” di luar sana untuk perempuan. Ini adalah jumlah total dari kerepotan sehari-hari, trauma akut, dan kondisi kronis yang memicu keputusan seorang wanita untuk keluar dari prostitusi. Ada beberapa bukti bahwa tekanan institusional juga berpengaruh pada keputusan perempuan untuk pergi, terutama tekanan dari penegak hukum dan layanan perlindungan anak. Kombinasi dari penangkapan, waktu di penjara, dan mandat masa percobaan memberi tekanan pada perempuan untuk mempertimbangkan keluar dari kehidupan. Tekanan dari luar berhasil bila disertai dengan keinginan pribadi yang kuat untuk keluar dari kehidupan. Tanpa keinginan pribadi untuk berhenti, tindakan pembatasan di luar hanya bersifat sementara.[7]
Perdagangan seks di Indonesia
[sunting | sunting sumber]Indonesia merupakan salah satu negara asal perdagangan orang ke luar negeri dengan jumlah kasus yang cukup besar. Hal ini disebabkan oleh populasi penduduk yang padat dan secara kuantitatif masih terdapat penduduk miskin dan sulit mencari pekerjaan. Diantaranya Indonesia menjadi negara tujuan perdagangan orang dari Tiongkok, Thailand, Uzbekistan, dan Ukraina untuk eksploitasi seksual seperti pelacuran dan pedofilia. data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mencatat selama Januari 2019 hingga Juni 2020, terdapat 155 kasus tindak pidana perdagangan orang yang didalamnya termasuk 195 korban perempuan dewasa dan anak-anak. Dari jumlah tersebut, 65 persen atau 101 kasus adalah eksploitasi seksual.[8] Pada tahun 2019, aparat kepolisian melaporkan telah menangkap 132 terduga pelaku perdagangan seks. Mereka menyidik 102 kasus, yang mana jumlah tersebut meningkat dibanding kasus yang terjadi pada tahun 2018 sebanyak 95 kasus dan 123 kasus pada tahun 2017.[9]
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ a b Mehlman 2015, hlm. 52.
- ^ "What is Sex Trafficking?". Shared Hope International (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-06-30.
- ^ Hammound 2014, hlm. 157.
- ^ Hammound 2014, hlm. 158.
- ^ Hammound 2014, hlm. 159.
- ^ "The Victims". National Human Trafficking Hotline (dalam bahasa Inggris). 2014-09-25. Diakses tanggal 2021-07-19.
- ^ Williamson, Ceila; Folaron, Gail (2003). "Understanding the Experiences of Street Level Prostitutes". Qualitative Social Work: Research and Practice. 2 (3): 271–287.
- ^ Rastika, Icha, ed. (2020-07-30). "Indonesia Negara Asal dan Tujuan Perdagangan Orang, Terutama untuk Eksploitasi Seksual". Kompas.com. Diakses tanggal 2021-07-15.
- ^ "Laporan Tahunan Perdagangan Orang 2020". Kedutaan Besar dan Konsulat AS di Indonesia. Diakses tanggal 2021-07-15.
Daftar Pustaka
[sunting | sunting sumber]- Hammound, Clark Gretchen (2014). "Entry, Progression, Exit, and Service Provision for Survivors of Sex Trafficking: Implications for Effective Interventions" (PDF). Global social welfare. doi:10.1007/s40609-014-0010-0.
- Mehlman, Kimberly (2015). "Safe Harbor Policies for Juvenile Victims of Sex Trafficking: A Myopic View of Improvements in Practice". Social Inclusion. 3 (1). ISSN 2183-2803.
- Kara, Siddharth (2010). Sex Trafficking: Inside the Business of Modern Slavery. Columbia University Press. ISBN 9780231139618.
- Nichols, Andrea J (2016). Sex Trafficking in the United States: Theory, Research, Policy, and Practice. Columbia University Press. ISBN 9780231542364.