Lompat ke isi

Suku Jambi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Melayu Jambi
جامبي
Dua orang kepala suku Jambi di Sarolangun mengenakan pakaian adat Jambi, pada masa kolonialisme Hindia Belanda ca 1914
Jumlah populasi
± 1,2 juta[1]
Daerah dengan populasi signifikan
Provinsi Jambi:
± 1.200.000 Jiwa
Bahasa
Melayu Jambi
Indonesia
Agama
Islam
Kelompok etnik terkait
BatinKerinciKubu
Bujang dan Gadis Provinsi Jambi mengenakan pakaian adat Melayu Jambi bersama tokoh Nurdin Halid

Suku Jambi atau Melayu Jambi[2] (Jawi: جامبي) merupakan suku bangsa pribumi yang berasal dari provinsi Jambi. Mereka mendiami wilayah kota Jambi, kabupaten Muaro Jambi, Tanjung Jabung, Batanghari, Bungo-Tebo dan sebagian Sarko.[3][4] Dusun-dusun mereka saling berjauhan dengan rumah-rumah yang dibangun dipinggiran sungai besar atau sungai kecil.

Sejarah

Jambi merupakan wilayah yang terkenal dalam literatur kuno. Nama negeri ini sering disebut dalam prasasti-prasasti dan juga berita-berita Tiongkok. Ini merupakan bukti bahwa, orang Cina telah lama memiliki hubungan dengan Jambi khususnya Suku Jambi, yang mereka sebut dengan nama Chan-pei. Diperkirakan, telah berdiri tiga kerajaan Melayu Kuno di Jambi, yaitu Koying (abad ke-3 M), Tupo (abad ke-3 M) dan Kantoli (abad ke-5). Seiring perkembangan jaman, kerajaan-kerajaan ini perlahan terlupakan dan sisa-sisa reruntuhan atau peninggalan kerajaan-kerajaan tersebut masih dalam proses penyelidikan dan penelitian lebih lanjut.

Dalam sejarah kerajaan di Nusantara, Jambi dulu merupakan bagian dari wilayah Minanga Kamwa adalah tanah asal pendiri kerajaan Melayu dan Sriwijaya, dari wilayah inilah banyak lahir raja-raja di Nusantara, baik sekarang yang berada di Malaysia, Brunei dan Indonesia. Negeri Jambi pernah dikuasai oleh beberapa kekuatan besar, mulai dari Sriwijaya, Malaka[butuh rujukan] hingga Kesultanan Johor.[5]

Beberapa kajian seputar etnisitas Melayu menempatkan Jambi menjadi bagian penting dalam perumusan identitas kemelayuan. Sejarawan Rouffaer misalnya, berpendapat bahwa tanah etnis Melayu asli adalah Jambi.[6](hlm.257-260) Namun, Leonard Andaya berpendapat bahwa masalah pendefinisian etnisitas Melayu adalah sesuatu yang tidak pernah selesai dan terus berkontestasi antara kedua sisi Selat Malaka, yaitu Semenanjung Malaya dan pesisir pantai timur Sumatra, mengikuti perubahan peta kekuasaan kawasan. Kekuasaan Sriwijaya dan dilanjutkan Malaka, berperan besar dalam persebaran bahasa dan budaya Melayu secara luas di kawasan Selat Malaka bahkan sampai ke Jawa, Kalimantan, dan Filipina.[7](hlm.315-330)[8](hlm.62)

Leonard Andaya, dengan pendekatan arkeologis dan linguistik, menjelaskan teori persebaran dan proses terbentuknya etnis Melayu berasal dari entitas penutur Proto-Austronesia yang mendiami Taiwan semenjak sekitar 4000-3000 SM. Bangsa ini bermigrasi sekitar 2500-1500 SM melalui Filipina menuju Borneo (Kalimantan) terus ke Sulawesi, Jawa, dan terus ke bagian Timur Indonesia. Dalam proses inilah terbentuk struktur bahasa baru yaitu proto-Melayu-Polinesia yang diyakini sebagai asal muasal dialek Melayu. Komunitas yang mendiami Borneo yang sudah berbahasa proto-Melayu-Polinesia ini kemudian menyebar ke Jawa bagian Barat, ke Sumatra dan Semenanjung Malaya hingga sebagian Vietnam sekitar tahun 1500-500 SM. Meski kebanyakan ahli linguistik meyakini teori ini, terjadi perbedaan teori tentang terbentuknya budaya Melayu yang bercorak India, apakah berawal di Borneo atau di Sriwijaya.[8](hlm.62-63)

Pada sisi Semenanjung Malaya, penutur proto-Melayu Polinesia ini bukanlah pemukim pertama, melainkan sudah ada leluhur bangsa Negrito dan Senoi. Keberadaan penduduk yang lebih awal mendiami Semenanjung Malaya ini dijelaskan dalam buku Hikayat Ceritera Tanah-tanah Melayu serta Pulau Perca, bahwa telah ada penduduk berambut keriting yang sebangsa dengan orang Papua di timur Indonesia. Di Sumatra, penulis buku ini menyatakan bahwa penduduk aslinya adalah orang Melayu.[9](hlm.6, 81) Hikayat-hikayat lokal tidak menjelaskan asal muasal nenek moyang penduduk Jambi. Naskah "Hikayat Negeri Jambi" dan "Hikaijat Toean Telani"[a][10](hlm.13-171)[11](hlm.53-61) menceritakan asal-usul Kesultanan Jambi hanya bermula pada kisah Tuan Telanai,[b] sebagai penguasa terakhir negeri Jambi sebelum masa kesultanan Islam. Naskah yang lebih muda, Undang Undang Pencacahan Jambi (UUPJ)[c], menceritakan kisah generasi sebelum Tun Telanai, yaitu kisah Dewa Sekarabah yang menjadi raja Jambi dengan menterinya bernama Mata Ampat. Dewa Sekarabah yang diberi gelar Si Pahit Lidah karena suka menyumpahi rakyat akhirnya meninggal dibunuh oleh Si Mata Ampat. Sejak itu, Jambi tak beraja lagi hingga datanglah Tun Telanai, seorang Hindu yang membangun kerajaan di Tanjung Jabung. Selanjutnya, naskah Ini Sejarah Kerajaan Jambi Sejak Tahun 700 H menceritakan kembali kisah dalam UUPJ dengan menempatkan kisah sebelum generasi Tun Telanai pada bagian terpisah.[8](hlm.63-64)

Meski sumber dan kisahnya berbeda-beda, terdapat kemiripan pendapat bahwa nenek moyang etnis Melayu mendiami Sumatra lebih dahulu dibanding Semenanjung Malaya (Malaysia dan sekitarnya). Di daerah Sumatra ini pula orang Melayu berkembang sebagai etnis pertama setempat. Namun, pada perkembangannya terjadi dinamika pendefinisian etnisitas Melayu, bahkan pada masa kontemporer terjadi "penyempitan" kata Melayu menunjuk ke Malaysia dan sedikit daerah Sumatra bagian Tengah yaitu Jambi, Riau dan Deli. Penyempitan ini menjadi rasional merujuk pada pendapat Leonard Andaya bahwa beberapa kelompok masyarakat Sumatra yang semula tergolong etnis Melayu kemudian membentuk identitas sendiri dan kemudian memisahkan diri dari komunitas besar etnis Melayu, seperti Aceh, Minangkabau dan Orang Laut. Terlepas dari perdebatan tentang etnisitas Melayu, penduduk awal Jambi dapat dikatakan adalah proto-Melayu. Namun saat ini, komunitas proto-Melayu hanya merupakan bagian kecil dari penduduk Jambi. Jika merujuk pada analisis Andaya, Orang Laut dan Orang Rimba adalah etnis proto-Melayu yang paling mudah diidentifikasi masih ada di Jambi saat ini. Dalam berbagai kajian tentang Orang Rimba, atau nama lainnya, juga dijelaskan bahwa sebagian anggotanya adalah orang Jambi asli yang merupakan proto-Melayu, sementara sebagiannya merupakan keturunan Minangkabau atau Palembang.[12](hlm.57)[13](hlm.15-17)[14](hlm.20-21)[8](hlm.65)

Asal-usul

AL. Kroeber dalam bukunya Antropologi menyebutkan bahwa ada 8 (delapan) ras terpenting di dunia yakni Ras Kaukasoid, Mongoloid, Negroid, Bushman, Weddoid, Australoid, Polinesia, dan Ras Ainu.

Jauh sesudah Zaman es maka Ras Mongoloid menyebar keselatan benua Asia bahkan sampai ke benua Amerika melalui selat Bering. Salah satu sub-ras Mongoloid adalah Malayan Mongoloid yang mendominasi penduduk Asia Tenggara lautan dan daratan Masyarakat yang berbudaya Melayu merupakan percampuran dari hasil perpaduan orang Austro-Melaniosoid dari selatan dengan Paleo-Mongoloid dari utara.

Dengan dasar ini maka Bangsa Melayu (Melayu Jambi) adalah percampuran antara banyak sub-ras manusia dan perpaduan antara banyak macam pengaruh kebudayaan sejak 10.000 SM. Manusia Austro-Melanesoid pada mulanya menempati kawasan dekat pantai dan sungai-sungai, hidup di dalam goa batu kerang atau abris sous roches. Sekarang lokasi goa goa batu kerang jauh di pedalaman.

Goa ini dijumpai di Sumatra (Jambi, Medan, Langsa/Aceh), Sulawesi, Papua, Kedah dan Pahang Malaysia. Migrasi manusia Ras Mongoloid masuk perairan Asia Tenggara melahirkan manusia Proto Melayu (Melayu Tua) dan Deutro Melayu (Melayu Muda).

Tapi tidak dapat diketahui kepastian kapan penyebaran itu dimulai, ahli sejarah hanya menghasilkan interpretasi terhadap temuan benda-benda budaya yang di tinggalkan, Ini pun jumlahnya sangat terbatas sehingga terbatas pula apa yang dapat diungkapkan.

Diperkirakan migrasi Paleo-Mongoloid ke Asia Tenggara terjadi dalam periode Prasejarah yang sangat panjang antara tahun 10.000 SM sampai tahun 2.000 SM Di Asia Tenggara manusia Paleo Mongoloid ini bertemu dengan manusia Austro-Melanesoid yang melahirkan manusia Proto melayu. Pada masa Indonesia memasuki zaman logam, maka antara tahun 2000-500 SM dan antara tahun 500 SM - sampai menginjak awal abad Masehi terjadi lagi migrasi penduduk dari daerah Tonkin, Dongson di pegunungan Bascon-Hoabinh, Vietnam ke Asia Tenggara.

Penyebaran manusia pada periode ini adalah percampuran manusia Proto Melayu dengan Ras Mongoloid yang melahirkan manusia Deutro Melayu. Manusia Proto Melayu mengembangkan kebudayaan batu tua yakni Kebudayaan Kapak Persegi dan Kebudayaan Kapak Lonjong. Kapak Persegi disebut Kapak Genggam atau Kapak Sumatra, sedangkan kapak lonjong disebut Kapak Pendek. Peralatan hidup manusia Proto Melayu antara lain adalah alat-alat mikrolit, serpihan batu obsidian.

Manusia Deutro Melayu di Indonesia mengembangkan kebudayaan Logam dan Perunggu. Manusia Deutro Melayu sangat penting artinya bagi sejarah penyebaran suku bangsa di Indonesia karena mereka inilah yang dianggap sebagai cikal bakal Orang Melayu dan Kebudayaan Melayu termasuk Melayu Jambi.

Kebudayaan Dongson masuk Indonesia melalui 2 (dua) arah. Pertama dari Vietnam menyebar ke Kamboja, Thailand, Malaysia, Sumatra, Jawa, dan menuju ke Nusa Tenggara. Di daerah inilah berkembang kebudayaan Kapak Persegi atau Kapak Genggam dan Kapak Sumatra. Kedua, dari daratan Asia, menuju Taiwan, Filipina, Sulawesi, Maluku dan Papua berkembang kebudayaan Kapak Lonjong. Untuk pulau Sumatra telah teridentifikasi paling kurang ada 6 etnis tertua antara lain:

1) Suku Kerinci di kaldera danau Kerinci.

2) Suku Besemah (Pasemah) di lembah Dempo.

3) Suku Ranau di Lampung disekitar danau Ranau

4) Suku Minangkabau di lembah danau Singkarak/Maninjau.

5) Suku Batak Toba di danau Toba.

6) Suku Alas Gayo di tanah Gayo Aceh.

Sejak ratusan tahun lampau wilayah Jambi telah dihuni oleh masyarakat Proto Melayu seperti Suku Kerinci, Batin, Penghulu, dan Suku Anak Dalam. Pada masa lampau mereka ini telah melatar-belakangi perkembangan Bahasa Melayu Jambi, budaya Melayu, maupun pasang naik dan turun kerajaan Melayu di daerah Jambi. Begitu pula halnya mereka telah melewati perjalanan sejarah yang teramat panjang diawali masa Pra Sejarah, Melayu Buddha, dan Melayu Islam, sampai masa perjuangan melawan penjajah dan periode kemerdekaan.

Sebelum abad Masehi masyarakat Proto Melayu di Jambi telah mengembangkan suatu corak kebudayaan Melayu Pra Sejarah di wilayah pegunungan dan dataran tinggi. Masyarakat pendukung kebudayaan ini antara lain adalah Suku Kerinci. Orang Kerinci diperkirakan telah menempati kaldera danau Kerinci sekitar tahun 10.000 SM sampai tahun 2000 SM Mereka telah mengembangkan kebudayaan batu seperti kebudayaan Neolitikum.

Pada zaman dahulu yang dimaksud dengan wilayah Kerinci adalah mencakup daerah yang disebut dalam adat Jambi sebagai Kerinci Atas dan Kerinci Rendah. Istilah Kerinci berawal dari kata "Korintji" yang artinya negeri di atas bukit. Diperkirakan sekitar awal abad 1 Masehi agama Buddha mulai hadir di daerah Jambi. Kehadiran agama Buddha ini telah mendorong lahir dan berkembangnya suatu corak Kebudayaan Melayu Buddha.

Kebudayaan ini diidentifikasi sebagai corak kebudayaan Melayu Kuno. Kehadiran Kebudayaan Melayu Buddha ini di daerah Jambi menempati rentang waktu (periode) yang panjang, yaitu:

1) Masa munculnya agama Buddha sekitar abad 1 Masehi.

2) Masa perkembangan sekitar abad 4-6 Masehi.

3) Masa kejayaan sekitar abad 6-11 Masehi.

4) Masa menurun sekitar 11-14 Masehi.

5) Masa tenggelam sekitar abad 14-19 Masehi.

6) Masa muncul kembali sekitar awal abad 20 Masehi hingga sekarang.

Pada, masa kebudayaan Melayu Buddha mulai mundur, maka bersamaan periodenya kebudayaan Melayu Islam mulai berkembang. Kehadiran Islam di Jambi diperkirakan terjadi pada akhir abad 7 M sampai sekitar awal abad 11 M. Pada awal abad 11 M, ajaran Islam mulai menyebar ke seluruh lapisan masyarakat pedalaman Jambi.

Dalam penyebaran Islam di Jambi pulau Berhala, pulau yang berada di sebelah timur laut Jambi dipandang sebagai pulau yang teramat penting dalam sejarah Islam di Jambi. Kehadiran Islam ini telah membawa perubahan mendasar bagi kehidupan sosial/masyarakat Melayu Jambi. Agama Islam secara pelan-pelan tapi pasti, mulai menggeser kebudayaan Melayu Buddha sampai berkembangnya suatu corak Kebudayaan Melayu Islam.

Dewasa ini dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Melayu Jambi lebih dominan unsur Islaminya. Di dalam hal kebiasaan tradisi terlihat adanya akulturasi antara unsur kebudayaan yang Islami dengan corak Melayu Kuno yang Buddhistis. Unsur-unsur kebudayaan Melayu Jambi antara lain adalah sebagai berikut (Fachruddin Saudagar, 2006):

1) Upacara Kepercayaan Tradisional.

2) Sistem Masyarakat.

3) Gotong Royong

4) Perkawinan.

5) Kepemimpinan.

6) Pendidikan.

7) Bahasa.

8) Kesenian.

9) Pergaulan Muda Mudi.

10) Mata Pencarian.

11) Bangunan.

12) Peralatan dan Perlengkapan Hidup (Teknologi).

13) Permainan.

14) Pengelolaan Sumberdaya Alam.

15) Makanan dan Minuman.

16) Ilmu Pengetahuan.

17) Pajak Negeri.

18) Hukum Adat.

19) Pengobatan tradisional.

Masyarakat Melayu Jambi

Masyarakat Melayu Jambi sekitar tahun (1918-1923)

Kehidupan orang Melayu Jambi sekarang masih dapat dilihat dari pengelompokan suku atau kalbu, yaitu pengelompokan sosial yang erat hubungannya dengan Kesultanan Jambi dulu. Jumlah kalbu yang masih tersisa ada dua belas, yaitu Jebus, Pemayung, Maro Sebo, Awin, Petajin, Suku Tujuh Koto, Mentong, Panagan, Serdadu, Kebalen, Aur Hitam dan Pinokowan Tengah.

Kediaman Sultan Jambi di Dusun Tengah (sekarang Desa Rambutan Masam, Muara Tembesi) sekitar tahun (1877-1879)

Lingkungan kesatuan hidup setempatnya yang terkecil disebut dusun, sekarang setingkat dengan desa. Setiap dusun mempunyai nama berdasarkan ciri-ciri fisiknya. Ada dusun yang bernama Teluk Leban, karena terletak di teluk yang ditumbuhi pohon kayu leban. Ada yang dinamakan Rantau Panjang karena terletak di sebuah rantau (daratan) yang panjang. Pemimpinnya disebut penghulu dusun. Selanjutnya masing-masing dusun dikendalikan oleh marga yang dipimpin oleh seorang pesirah. Marga adalah wilayah adat dari orang-orang yang merasa masih satu asal nenek moyang, atau karena adanya ikatan persekutuan kekerabatan pada masa dulu.

Dalam masyarakat Suku Melayu Jambi masih tampak sisa-sisa pelapisan sosial lama, ditandai oleh adanya golongan bangsawan yang berasal dari keturunan raja-raja zaman dulu, yaitu mereka yang bergelar Raden, Sayid, atau Kemas. Golongan menengah adalah para saudagar besar, pemilik perkebunan. Rakyat banyak biasanya menyebut diri orang Kecik (orang kecil). Sistem pelapisan sosial seperti ini semakin lama makin berubah. Orang Melayu Jambi hidup dalam rumah tangga keluarga inti monogami dengan prinsip garis keturunan yang bilateral. Pilihan jodoh cenderung untuk endogami dusun.

Bahasa

Suku Melayu Jambi dalam kehidupan sehari-hari sebagian besar menggunakan Bahasa Melayu Jambi atau masyarakat jambi sering menyebut dengan Baso Jambi, yang masih satu rumpun dengan bahasa melayu lainnya di nusantara yakni rumpun bahasa Austronesia. Bahasa melayu jambi sendiri terkenal dengan dialek "O" nya mirip dengan Bahasa Melayu Palembang dan Bahasa Melayu Bengkulu yang sama-sama berdialek "O".

Contoh kata dalam bahasa Melayu Jambi:

Saya (dalam Bahasa Indonesia) menjadi Sayo (dalam bahasa Melayu Jambi)

Kemana (dalam Bahasa Indonesia) Menjadi Kemano (dalam Bahasa Melayu Jambi)

Apa (dalam Bahasa Indonesia) menjadi Apo (dalam Bahasa Melayu Jambi)

Sistem Kekerabatan

Kepala Kampung di Mandiangin dengan pakaian adat Jambi, sekitar tahun (1914-1921)

Dalam kehidupan orang Melayu Jambi menjalankan prinsip bilateral dengan menempatkan faktor keluarga batih sebagai dasar perhitungan hubungan kekeluargaan. Mereka selalu memiliki hubungan kekerabatan dari pihak ibu maupun bapak.

Sistem kekerabatan tersebut disebut dengan istilah “Sanak”, yaitu keturunan hingga generasi ketiga. Kelompok ini biasanya saling membantu dalam setiap acara keluarga seperti perkawinan, kematian dan lain-lain.

Hak dan kewajiban diatur berdasarkan perbedaan usia, terutama dalam setiap upacara adat. Tapi dalam kenyataannya saat ini, tingkatan sosial terlihat berdasarkan tingkat pendidikan, harta dan jabatan. Seorang kepala desa di kalangan orang Melayu disebut sebagai “Datuk”, yang relatif dijadikan panutan oleh masyarakat.

Agama

Suku Melayu Jambi sudah memeluk agama Islam, dan umumnya mengikuti mahzab Syafi'i. Dalam kehidupan sehari-hari masih ada kepercayaan animisme dan dinamisme, dimana peranan dukun sebagai perantara dengan dunia gaib masih ditemukan bercampur baur dengan kepercayaan kepada makhluk jelmaan dunia gaib yang suka mengganggu manusia dan bisa pula dimanfaatkan untuk kepentingan manusia.

Orang Melayu Jambi yang mayoritas beragama Islam. Sebagian besar sangat taat dengan hidup yang bersendikan kitabullah, artinya "segala ketentuan yang mengatur kehidupan dalam masyarakat berasal dari budaya nenek moyang dan bersumber dari ajaran-ajaran agama, yaitu Al-quran dan dan Hadits"

Adat dan budaya

Anak-anak perempuan di Sarolangun memakai pakaian adat Jambi, sekitar tahun (1914-1921)

Tradisi adat dan budaya suku Melayu Jambi, selain didominasi oleh budaya Melayu, mirip juga dengan budaya suku Minangkabau. Hal ini, kemungkinan antara suku Melayu Jambi dan suku Minangkabau terjadi hubungan kekerabatan pada masa lalu, atau bersumber dari asal-usul dan nenek moyang yang sama.

Mata pencaharian

Proses pembersihan karet di atas rakit di Jambi sekitar tahun (1920-1925)

Mata pencaharian mereka terutama bercocok tanam di ladang yang mereka bagi menjadi empat bentuk, yaitu Parelak, Kabun Mudo, Umo Rendah dan Talang.

  • Parelak adalah ladang dekat desa yang ditanami cabe, kacang-kacangan dan sayur-sayuran.
  • Kabun Mudo adalah ladang yang ditanami tanaman muda, seperti pisang, kedelai dan kacang tanah.
  • Umo Rendah adalah ladang agak luas yang ditanami padi, dan di sekitarnya ditanami jagung, sorgum, ketimun dan lain-lain.
  • Sedangkan Umo Talang adalah ladang yang terletak jauh dari desa, terutama ditanami padi dan tanaman keras seperti karet dan durian.

Selain bercocok tanam orang Melayu Jambi banyak juga yang bertani, nelayan, berdagang dan bekerja di sektor pemerintahan.

Catatan kaki

  1. ^ Dua naskah ini merupakan naskah tertua yang penulis inventarisir terkait dengan sejarah Kesultanan Jambi. Keduanya merupakan koleksi Perpustakaan Universitas Leiden dengan kode Or. 12.189 berjudul Hikaijat Toean Telani (HTT) dan Or. 2013 dengan judul Hikayat Negeri Jambi (HNJ). Kedua naskah memiliki tanggal penulisan yang sama yaitu 28 Rabiulawal 1253 H/2 Juli 1837 M, namun naskah HTT lebih lengkap dan rapi penulisannya. Karena isi yang hampir sama, selanjutnya tulisan ini hanya menyebut Hikayat Negeri Jambi (HNJ) untuk kedua naskah tersebut. Versi bahasa Belanda naskah ini, dengan tambahan penjelasan di awal naskah dan periode yang berbeda pada akhir teks, dipublikasikan dalam artikel: Anonim. 'Legenden van Djambi, dalam Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie, volume 8 (Batavia: Bataviaasch Genootschap voor Kunsten en Wetenschappen, 1846). Penulis tidak bisa menyimpulkan hubungan naskah dalam bahasa Belanda ini dengan kedua naskah jawi yang memiliki penanggalan lebih tua, karena penulis belum membaca langsung naskah tersebut, melainkan hanya ulasan dari sumber sekunder. Merujuk pada artikel Gallop, kedua naskah jawi ini belum pernah diterbitkan dan dialihbahasakan. Selain kedua naskah tersebut, sejarah Jambi juga ditulis dalam naskah Or. 12.181 berjudul "Hhal di dalam negri Jambi (No. 60) yang ditulis tahun 1852 M. Namun, silsilah pendiri Kesultanan Jambi yang diceritakan dalam teks di dalamnya berbeda dengan naskah HNJ, dan justru mirip dengan silsilah naskah yang ditulis kemudian oleh Ngebi Sutho Dilogo.
  2. ^ Masyarakat Jambi kontemporer lebih mengenal penyebutan Tun Telanai untuk karakter ini. Nama Tun Telanai menjadi nama salah satu kecamatan di kota Jambi sekarang yaitu Telanaipura.
  3. ^ Naskah "Undang-undang Pencacahan Jambi (UUPJ)" ditulis oleh Ngebi Sutho Dilogo Priayi Raja Sari (NSD) tanggal 1 Rabiulakhir 1317 H/8 Agustus 1899 M. Penulisan naskah ini tampaknya terhenti sebelum tuntas sehingga ditulis ulang oleh NSD dengan beberapa perubahan serta tambahan beberapa naskah dengan judul "Ini Sejarah Kesultanan Jambi Sejak Tahun 700 H (ISKJ)". Naskah lain yang membahas sejarah Kesultanan Jambi tersimpan dalam arsip Keresidenan Palembang di ANRI dengan kode K. 34 No. 52 berjudul "stukken betreffende Djambi" (tanpa tahun) dan No. 5.4 berjudul "Geslachtsboom der voorsten van Djambi" (tanpa tahun). Teks dalam naskah No. 5.2 berbahasa Melayu dengan aksara Latin, sedangkan teks pada naskah No. 5.4 menggunakan bahasa Belanda beraksara Latin. Kisah dalam kedua naskah ini merupakan salinan dan terjemahan yang tampaknya merujuk pada naskah HNJ.

Referensi

  1. ^ Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia Hasil Sensus Penduduk 2010 Diarsipkan 2017-07-12 di Wayback Machine. (PDF) di Badan Pusat Statistik.2011. hlm. 28.ISBN 9789790644175. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 12-07-2017.
  2. ^ Putra, Agusti (2019). "SEJARAH MELAYU JAMBI DARI ABAD 7 SAMPAI ABAD 20". Tsaqofah Dan Tarikh. doi:10.29300/ttjksi.v3i1.1549. 
  3. ^ Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, hlm. 137-138.
  4. ^ "Penduduk Menurut Administrasi dan Suku Bangsa". jambi.bps.go.id. (2000). Diakses tanggal 2 Maret 2023. 
  5. ^ "Perang Jambi-Johor ( 1667-1679 ) sebagai sejarah sosial" (PDF). Media.neliti. 2017. 
  6. ^ Rouffaer, G. P.; Winstedt, R. O. (1922). "The Early History OF Singapore, Johore & Malacca". Journal of the Straits Branch of the Royal Asiatic Society (86): 257–260. ISSN 2304-7534. 
  7. ^ Reid, Anthony (2001). "Understanding Melayu (Malay) as a Source of Diverse Modern Identities". Journal of Southeast Asian Studies. 32 (3): 295–313. ISSN 0022-4634. 
  8. ^ a b c d Sagala, Ismawati (2021). Nugrahini, Kartika Nurul, ed. Islam dan Adat Dalam Sistem Pemerintahan Jambi Masa Kesultanan dan Kolonial Pada Tahun 1855-1942 (dalam bahasa Indonesia) (edisi ke-Revisi). Yogyakarta: Ombak. ISBN 9786022585954. 
  9. ^ Hikayat Ceritera Tanah-tanah Melayu serta Pulau Perca; bahan belajar anak-anak Melayu di sekolah. Singapura: Percetakan Kerajaan Singapura. 1891. 
  10. ^ Gallop, Annabel Teh; Mamat, Wan Ali Wan; Akbar, Ali; Braginsky, Vladimir; Tengah, Ampuan Hj Brahim bin A.H.; Caldwell, Ian; Chambert-Loir, Henri; Cordell, Helen; Denisova, Tatiana A. (2015-01-02). "A JAWI SOURCEBOOK FOR THE STUDY OF MALAY PALAEOGRAPHY AND ORTHOGRAPHY". Indonesia and the Malay World (dalam bahasa Inggris). 43 (125): 13–171. doi:10.1080/13639811.2015.1008253. ISSN 1363-9811. 
  11. ^ Gallop, Annabel Teh; Mamat, Wan Ali Wan; Akbar, Ali; Braginsky, Vladimir; Tengah, Ampuan Hj Brahim bin A.H.; Caldwell, Ian; Chambert-Loir, Henri; Cordell, Helen; Denisova, Tatiana A. (2015-01-02). "A JAWI SOURCEBOOK FOR THE STUDY OF MALAY PALAEOGRAPHY AND ORTHOGRAPHY". Indonesia and the Malay World (dalam bahasa Inggris). 43 (125): 13–171. doi:10.1080/13639811.2015.1008253. ISSN 1363-9811. 
  12. ^ Tiderman, J.; Sigar, P. L. F. (1938). Djambi. Amsterdam: Koloniaal Instituut. 
  13. ^ Andaya. Leaves: Trade and Ethnicity in the Straits of Melaka. 
  14. ^ Prasetijo, Adi (2011). Serah Jajah dan Perlawanan Yang Tersisa; Etnografi Orang Rimba di Jambi. Jakarta: Wedatama Widya Sastra. 

Daftar pustaka

  • Zulyani, Hidayah (April 2015). Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia (edisi ke-2). Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. hlm. 470. ISBN 978-979-461-929-2.