Masjid Nabawi

Prioritas: aa, Kualitas: b
Dari wikishia
LokasiMadinah
Tahun pembangunan1 Hijriah
PendiriRasulullah saw
Informasi arsitektur
Gaya arsitekturIslami
Kapasitas257.000 jamaah
Lebar luas235.000 m²
Jumlah menara10 buah
Tinggi menara104 m
Tahun renovasiDi berbagai periode dan periode terakhir pada tahun 1406-1410 H pada periode raja Fahd bin Abdul Aziz.
Ciri khasMasjid, pusara Rasulullah saw, tempat bersejarah Islam.

Masjid Nabawi (Masjid al-Nabi), (bahasa Arab:مسجد النبی) masjid Rasulullah saw di kota Madinah, yang mana pusara Nabi juga ada di situ. Masjid ini adalah masjid tersuci kedua Islam setelah Masjidil Haram dan Nabi saw membangunnya pada tahun pertama Hijriah/623. Rumah Rasulullah saw dan rumah Imam Ali as serta Sayidah Fatimah sa juga berada di samping masjid tersebut dan menjadi bagian dari masjid seiring dengan perluasannya. Masjid Nabawi termasuk tempat ziarah terpenting umat muslim dan memiliki kedudukan khusus bagi kalangan Syiah.

Nama-nama Masjid

Rasulullah saw mendirikan salat Jamaah di Masjid Nabawi dan memperluas aktivitas-aktivitas politik dan sosialnya di masjid ini dan karenanya, lambat laun masjid tersebut dinamakan dengan Masjid al-Nabi (Masjid Nabawi). Selain itu, rumah Nabi juga bersambung dengan masjid tersebut. Dalam sebuah riwayat, Nabi sendiri memberikan ungkapkan untuk Masjid Nabawi dengan ungkapan-ungkapan seperti Masjidi (masjidku). [1] Masjid ini juga disebut dengan Jami' al-Madinah, Masjid al-Rasul, Masjid Rasulullah, Masjid Nabawi dan masjid Madinah. Masjid ini terletak di pusat kota Madinah, Arab Saudi[2]

Sejarah Singkat

Periode Nabawi

Ketika Rasulullah saw memasuki kota Yatsrib, banyak sekali masyarakat yang berkehendak menjadikan Nabi sebagai tamu mereka. Rasulullah saw melepaskan untanya dan memutuskan dimanapun unta ini berhenti, di situlah ia akan bertempat tinggal. Unta berlutut di tempat masjid sekarang ini dan mereka membangun masjid dan rumah beliau di tempat tersebut. Sebelum dibangun rumah dan masjid, beliau tinggal di rumah Abu Ayyub al-Anshari, rumah paling terdekat dengan tempat tersebut. [3] Rasulullah saw dan kaum muslimin semuanya saling berpartisipasi dalam pembangunan masjid. [4] Dinukil bahwa bangunan pertama masjid, terbuat dari tembok-tembok dari bata dan tanah, sedangkan langit-langitnya dari pohon kurma, yang berdiri di atas pilar-pilar dari bata dan tanah juga luasnya kurang lebih sekitar 1.050 m² [5] Perubahan Kiblat dari Baitul Maqdis ke arah Masjidil Haram pada tahun kedua Hijriah menyebabkan perombakan-perombakan pada masjid dan bagian beratap masjid dipindah ke arah selatan masjid dan Suffah, yang sebelumnya ada di bagian selatan masjid dipindah di bagian utara masjid. [6] Dengan perubahan ini, pintu tembok selatan yang sekarang ini menghadap Kiblat ditutup. [7]

Pada tahun ke-7 Hijriah, penyebaran Islam dan peningkatan jumlah kaum muslimin mengharuskan perluasan kawasan masjid dan kawasannya mencapai 2475 m² dan bentuk masjid menjadi persegi empat. [8] Sekarang ini terdapat pagar besi keemasan di selatan masjid, arah Kiblat dan dari timur sampai barat masjid yang menunjukkan batas selatan masjid masa Rasulullah dan dipasang pilar-pilar oleh raja Abdul Majid Utsmani di ujung serambi pertama masjid, yang menaungi halaman pertama adalah batas utara Masjid Nabawi. Pilar-pilar tersebut terletak di depan Bab An-Nisa'. [9]

Bersamaan dengan pembangunan masjid, di dinding timur masjid dibangun dua rumah atau kamar untuk tempat tinggal Rasulullah saw dan istri beliau, Saudah dan Aisyah. Untuk berikutnya, para sahabat Rasulullah dan juga setiap orang yang mampu membuat kamar-kamar di samping masjid. Rumah-rumah tersebut memiliki pintu menembus masjid dan mereka masuk lewat pintu tersebut pada waktu salat. Pada tahun kedua diperintahkan supaya pintu-pintu tersebut ditutup, kecuali pintu rumah Ali as dan Fatimah sa. [10] Peristiwa ini dikenal dengan nama Sadd al-Abwab (penutupan pintu).

Periode Khalifah Kedua dan Ketiga

Khalifah kedua (pemerintahan: 13-23 H) pada tahun 17 H, menggabungkan rumah-rumah di sekitar masjid dan memperluas masjid, di arah Kiblat kurang lebih 5 meter, di arah barat 10 meter dan arah utara 15 meter dan membuat pintu-pintu baru untuk masjid. [11] Dan pada tahun 29 H juga walupun dengan adanya protes dari sejumlah masyarakat karena rumah-rumah mereka dihancurkan akibat perluasan masjid, ia tetap menambahkan perluasan masjid, Khalifah ketiga menambah luas masjid 496 meter. Ia merubah kondisi umum masjid dan menggunakan batu ukiran dan memperbaiki atap dengan kayu jati. Di samping itu, ia juga membangun kamar atau ruang kecil untuk imam di bagian depan masjid; yakni tempat berdirinya imam. [12]

Periode Bani Umayyah

Masjid Nabawi banyak mengalami perombakan dan perluasan fundamental pada tahun 88 H, yang berlangsung selama tiga tahun sampai tahun 91. Pada masa pemerintahan Walid bin Abdul Malik dan ketika Umar bin Abdul Aziz memegang pemerintahan Madinah, maka kurang lebih ia banyak melakukan perluasan masjid dan bangunannya. Perluasan atas perintah Walid ini juga mencakup bagian timur masjid, yang mana kamar-kamar Rasulullah saw terletak di situ. Atas perintahnya, supaya sekeliling pusara Rasulullah dipagari dan dari arah situ juga ditambah masjid. Masyarakat Madinah histeris saat mendengar berita penghancuran bangunan sekitar Masjid. Rumah Sayidah Fatimah sa ketika itu dipegang oleh Fatimah Sughra, putri Imam Hasan as dan istri Hasan bin Hasan bin Ali. Menurut sebagian riwayat, tujuan utama perluasan masjid yang dilakukan oleh Walid, khususnya di arah timur adalah mengambil rumah dari tangan Hasan bin hasan dan menjauhkannya dari masjid dan sejatinya atas tendensi politik. Fatimah Sughra melakukan penentangan, namun Walid menguasainya dengan paksa dan karena itulah bertahun-tahun melarang masyarakat untuk melaksanakan salat di tempat tersebut dan menganggapnya gasab (mengambil tanpa izin).[13]

Perluasan pada tahun 88 H dilakukan mulai dari arah timur, barat dan utara. Di arah utara ditambah 100 m, di bagian barat laut ke arah Timur ditambah 67/5 m dan arah barat daya ke timur ditambah 83/75 m dan dengan demikian, luas masjid mencapai lebih dari 6.400 m².[14] Sebagian menulis luas masjid setelah perluasan Walid mencapai 7.500 m². [15]

Dengan bertolak bahwa Walid sangat menyukai pembangunan dengan bangunan-bangunan yang indah, maka selain memerintahkan pembangunan untuk memperkokoh masjid, ia juga banyak melakukan keindahan-keindahannya. Untuk pembangunan masjid, ia meminta bantuan kepada kaisar Romawi dan kaisar pun selain membantu banyak keuangan, yang terdiri dari 100.000 mitsqal emas, juga mengirim seratus pekerja handal untuk Walid. Dengan bantuan orang-orang ini, akhirnya Walid dapat membangun masjid dengan bentuk yang menawan. [16]

Periode Abbasiyah

Mahdi Abbasi, putra al-Manshur, melakukan renovasi dan perluasan di masjid tersebut dari tahun 161 atau 162 H. Ia menambah luas masjid mencapai 2.450 m, ia memperbanyak pilar-pilar masjid dan menambah jumlah pintu-pintunya. Pada waktu itu, masjid memiliki 20 pintu; empat di utara, delapan pintu di bagian barat dan delapan pintu di bagian timur. Dalam renovasi ini banyak sekali rumah-rumah yang ada di sekitar masjid, dimana setiap darinya populer dengan nama sahabat yang menghuninya, dihancurkan dan digabungkan dengan masjid; diantaranya adalah rumah Abdullah bin Mas'ud, Syarahbil bin Hasanah dan al-Miswar bin Makhramah.[17]

Terbakarnya Masjid

Pada tahun 654 H, tiga tahun sebelum runtuhnya dinasti Abbasiyah, masjid Nabawi terbakar dan mengalami banyak kerusakan. Selama periode ini, para penguasa Mesir mengirim para arsitek untuk membangun kembali masjid dan setelah itu, Muhammad bin Qalawun dari salah seorang penguasa, memasang atap masjid di bagian-bagian barat dan timur masjid. Pada tahun 705 dan 706 H, ruangan-ruangan lain untuk masjid juga dibangun.[18]

Pada tahun 886 H, masjid juga terbakar disebabkan sambaran petir dan kembali para penguasa kekaisaran Mesir yang melakukan perbaikan, dan mereka juga membangun tempat peristirahatan, sekolah dan dapur. Luas masjid dalam pembangunan kembali ini mencapai 9.010 meter persegi. [19]

Periode Utsmani

Raja Abul Hamid pertama (w. 1277 H) selama 13 tahun, telah merenovasi masjid dalam bentuk yang kokoh dan juga sangat menawan. Bangunan yang dibangun dalam renovasi tersebut merupakan bangunan terkuat dan terkokoh yang ada pada masjid dibanding dengan sebelumnya. [20]

Periode Āl Saud

tahun 1373 H, Abul Aziz Āl Saud melakukan renovasi dan perluasan besar-besaran dan luas masjid keseluruhannya mencapai 16.327 m². Perluasan ini dilakukan di bagian utara, barat dan timur. Disamping penambahan 6.025 m pada masjid, juga menghancurkan kurang lebih 16.931 m rumah-rumah yang ada di sekitarnya sebagai lapangan dan jalan-jalan sekitar masjid.[21]

Tahap terakir perluasan masjid dimulai oleh raja Fahd bin Abdul Aziz tahun 1405 H/1984. Rekonstruksi secara remsi dimulai sejak bulan Muharram tahun 1406 H. Pembangunan rampung pada tahun 1410 H dan setelah itu dilakukan penyempurnaan arsitektur masjid. Yang mana sebelum perluasan ini, luas masjid mencapai 16.327 m dan dalam perluasan baru mencapai 82.000 m², yang dapat menampung 137.000 jamaah. Di samping perluasan lantai masjid, juga dipersiapkan lantai atas untuk salat, sampai mampu menampung 90.000 jamaah sehingga mereka dapat melaksanakan salat di tempat tersebut dan dengan demikian, jumlah kapasitas jamaah di masjid di lantai bawah dan atas mencapai 257.000 jamaah. Di samping tangga-tangga batu, juga dibangun beberapa eskalator, sehingga memudahkan mereka untuk naik ke lantai atas masjid.[22]

Dalam perluasan raja Fahd, tanah-tanah bebas di sekitar masjid mencapai 235.000 m² dan di situ dibangun pelbagai tempat untuk wudhu dan juga banyak dipasang lampu-lampu sorot di tiang-tiang batu untuk pencahayaan. Di samping itu, di dua aula masjid sebelumnya, juga dipasang payung otomastis, yang dapat terbuka dan tertutup untuk menutupi matahari. Di samping menara-menara sebelumnya, juga ditambah enam menara dalam perluasan baru, yang ketinggiannya mencapai 104 m. Dengan demikian, masjid yang sekarang ini memiliki sepuluh menara.[23]

Posisi dan Urgensitas Masjid

Posisi Mazhabi dan Spiritual

Nama para Imam di dinding Masjid Nabawi

Masjid Nabawi ini terhitung sebagai masjid tersuci umat muslim setelah Masjidil Haram dan memiliki hukum-hukum fikih tersendiri. Adanya sebagian tempat-tempat di masjid tersebut dan juga di sekitarnya, semakin menambah urgensitas masjid. Di antaranya adalah adanya rumah Rasulullah saw di masjid tersebut dan juga adanya Baqi', yang menjadi tempat pemakaman para sahabat era awal Islam.[24] Umat muslim sesudah atau sebelum menunaikan kewajiban haji, mayoritas mereka menziarahi masjid tersebut dan menganggap ziarah masjid ini memiliki pengaruh dalam kesempurnaan spiritual perjalanan haji mereka.[25]

Masjid Nabawi juga memiliki kedudukan istimewa di sisi komunitas Syiah. Menurut komunitas Syiah, sebagian urgesitas masjid tersebut adalah sebagai berikut:

  • Menurut riwayat, kemungkinan salah satu tempat dikuburkannya Sayidah Fatimah sa adalah di dalam Masjid Nabawi yang letaknya antara pusara Nabi saw dengan mimbar Nabi saw.[26]
  • Masjid ini memiliki kedudukan khusus di sisi kaum Syiah dengan bertolak pada perisitwa-peristiwa sejarah yang terjadi karena berkaitan dengan Ahlulbait as seperti peristiwa sadd al-Abwab yang berkaitan dengan penutupan pintu-pintu rumah para sahabat kecuali pintu Ali as dan Fatimah sa.
  • Keberadaan pemakaman Baqi' di samping masjid dan pusara empat Imam Syiah di pemakaman tersebut.[27]

Posisi Politik dan Sosial

Masjid Nabawi di samping tempat ibadah kaum muslimin era awal Islam, juga menjadi tempat pertemuan dan perkumpulan serta memiliki peran penting dalam kohesi dan persatuan kaum muslimin. Keputusan-keputusan penting politik dilakukan di masjid ini dan Rasulullah saw menggunakan masjid ini laksana sebuah markas untuk mengatur pemerintahan dan penyelenggaraan pertemuan-pertemuan politik, militer dan sosial. [28]

Aturan Adab dan Hukum-hukum Masjid

Dianjurkan secara mustahab ketika memasuki masjid, supaya berhenti di samping pintu masjid dan membaca doa izin masuk. Kemudian dia masuk dengan kaki kanan melalui pintu Jibril, mengulangi bacaan Allah Akbar 100 kali. Selanjutnya, ia melakukan salat dua doa rakaat tahiyatul masjid. [29]

Demikian juga, ada sebagian aturan fikih terkait Masjid al-Nabi yang diantaranya adalah sebagai berikut:

  • Masjid an-Nabi adalah salah satu tempat yang kita diizinkan untuk memilih (memilih dalam bilangan rakaat salat). Seorang musafir atau yang sedang mengadakan perjalanan dia di Masjid Nabawi bebas untuk melakukan salatnya secara Qashar atau itmam.[30]
  • Orang yang sedang junub, haid dan nifas Dilarang masuk ke Masjid an-Nabi, haram hukumnya. Walaupun mereka masuk dari satu pintu dan keluar dari pintu yang lain. [31]

Tempat-tempat dan Benda-benda Terkenal Masjid Nabawi

Rumah dan Makam Rasulullah saw

Rumah Rasulullah saw terletak di sebelah timur Masjid Nabawi, yang sekaligus menjadi tempat pusaranya dan menjadi bagian dari masjid seiring dengan terjadinya perluasan-perluasan masjid. Perombakan dan perenovasian rumah telah diturunkan secara mendetail dalam referensi sejarah Madinah. [32]

Rumah dan Pusara Sayidah Fatimah sa

Rumah Sayidah Fatimah sa putri Rasulullah saw, berada di belakang rumah Aisyah. Pintu rumah Fatimah sa, terletak di ujung tembok barat yang kini merupakan ruangan tertutup dimana Nabi berada. Kini, rumah itu sudah tidak dapat di temukan lagi dan letaknya di sekitar daerah dharih dan di dalam kamar suci Nabi saw. [33] Mayoritas Ahlusunah berpendapat bahwa tempat dikuburkannya Sayidah Fatimah sa adalah Baqi'[34], namun menurut beberapa riwayat Syiah, tempat dikuburannya Sayidah Fatimah adalah rumahnya sendiri, yang sekarang ini termasuk bagian dari Masjid Nabawi. [35] Ulama Syiah juga, meski tidak menyatakan secara yakin, memprediksikan kemungkinan kuat tempat dikuburkan Sayidah Fatimah sekarang ini adalah sebuah tempat di Masjid Nabawi. [36]

Pintu-pintu Masjid

Pintu-pintu masjid Nabawi termasuk salah satu pembahasan yang diulas secara terperinci dalam pustaka terkenal berkenaan dengan pengenalan tentang Madinah. Sejak abad pertama hijriah sampai era modern, jumlah pintu-pintu masjid senantiasa mengalami perombakan.

Masjid Nabawi Awalnya memiliki tiga pintu:

  1. Pintu di bagian selatan masjid dimana setelah perubahan Kiblat, pintu ini ditutup dan sebagai gantinya, dibukakan sebuah pintu lain di bagian utara masjid. [37]
  2. Pintu di bagian barat masjid yang dikenal dengan nama Bab Atikah dan sekarang masyhur dengan nama Bab ar-Rahmah. [38] Penamaan pintu ini dengan nama "Atikah" karena pintu ini terbuka menghadap rumah Atikah putri Abdullah bin Yazid bin Muawiyah. [39] Sebab penamaan Bab al-Rahmah, karena atas dasar satu hadis dari Rasulullah saw dimana ketika itu ada seseorang yang masuk pintu masjid tersebut dan meminta kepada Allah agar diturunkan hujan dan setelah tujuh hari, hujan pun berhenti dengan permohonan orang tersebut. [40]
  3. Pintu di bagian timur masjid, yang dikenal dengan Bab Utsman, Bab an-Nabi dan Bab Jibril. [41] Nama-nama pintu itu diberikan dengan nama-nama pintu di atas karena dulu pintu ini menghadap rumah Utsman bin Affan dan Nabi masuk melalaui pintu ini dan malaikat Jibril turun menemui Rasulullah di tempat tersebut pada saat perang bani Quraizhah. [42]

Pintu-pintu masjid pun ditambah seiring dengan terjadinya perluasan dan pelebaran yang dilakukan di sepanjang sejarah, dan terkadang sebagian pintu yang lain pun ditutup. Kini, Masjid Nabawi kurang lebih memiliki pintu. [43]

Pilar-pilar

Sejak dahulu, pilar-pilar masjid Nabawi termasuk salah satu topik pustaka dalam pengenalan tentang Madinah. Dalam referensi yang dimuat oleh Rasul Ja'fariyan dalam buku Atsar Islami Makkeh va Madineh sekitar 2104 pilar ada di dalam Masjid Nabawi [44] dan pilar-pilar seperti Pilar Hannanah, Pilar Taubah dan Pilar Haras termasuk pilar-pilar yang termasyhur. [45]

Mimbar Rasulullah

Awalnya, Rasulullah saw bersandar pada pohon kurma saat berpidato di masjid Madinah. Kemudian dibuatkan sebuah mimbar untuknya pada tahun ketujuh atau kedelapan hijriah. [46] Mimbar ini memiliki dua tangga dan sebuah tempat untuk duduk[47] dan telah dituturkan fadhilahnya dalam sebuah riwayat dari Rasulullah dalam referensi yang ada. [48] Mimbar tersebut masih ada di dalam masjid setelah Nabi wafat dan para khalifah juga para penguasa Madinah pada masa-masa berikutnya hanya sedikit merubahnya, seperti Muawiyah bin Abi Sufyan, dengan menambahkan empat tangga lainnya. Pada masa Abbasiyah dengan melihat kekunoan mimbar, maka mereka menggantinya dan menaruh mimbar lain di tempat tersebut. Sebuah mimbar yang ada sekarang ini di Masjid Nabawi, yang dibuat dengan perintah Sultan Murad Utsmani pada tahun 998 H. Mimbar ini memiliki 12 tangga dan dianggap sebagai salah satu karya sejarah dan seni. [49]

Mihrab-mihrab

Ada beberapa mihrab di masjid Nabawi, yang paling populer adalah sebagai berikut.

  • Mihrab Rasulullah; Di dalam Masjid Nabawi ada sebuah tempat yang dibangun untuk sebuah mihrab; namun di dalam masjid, Rasulullah saw tidak memiliki sebuah mihrab dan mihrab ini dibuat bertahun-tahun setelahnya dan dikatakan mihrab tersebut dibangun pada masa Umar bin Abdul Aziz, di sebuah tempat yang dipakai salat oleh Rasulullah dan kemuliaan serta kesucian mihrab tersebut karena alasan tersebut. [50]
  • Mihrab Tahajjud; Mihrab Tahajjud, yang sekarang ini sudah tidak ada, adalah sebuah tempat di samping sebuah pilar, dengan nama tersebut. Rasulullah saw berdiri di samping pilar tersebut untuk melaksanakan salat malam atau tahajjud dan pada abad-abad berikutnya, maka dibangunlah sebuah mihrab di situ guna mengenang dan menghormati Nabi saw, yang populer dengan mihrab Tahajjud dan dibongkar pada masa Āl Saud. [51]
  • Mihrab Sayyidah Fatimah sa; Mihrab ini terletak di selatan mihrab tahajjud, di dalam kamar atau rumah Sayidah Fatimah, yang menjadi bagian dari masjid dan kerangkanya dapat terlihat dari balik jendela masjid sekarang ini. Mihrab tersebut telah dikemukakan dalam beberapa riwayat, seperti: Imam Hasan al-Mujtaba as berkata: Aku melihat ibundaku Fatimah pada malam jumat di mihrabnya, yang terus berdiri sampai subuh dan menyebut nama-nama laki-laki mukmin dan mukminah dan mendoakan untuk mereka. Aku berkata: Wahai Ibu! Kenapa engkau tidak mendoakan untuk dirimu? Ia menjawab: Anakku! Pertama tetangga kemudian keluarga. [52]

Kubah Nabi

Pada tahun 678 H, kubah pertama dibangun oleh Sultan Qalawun salah satu dari para penguasa Mesir, di atas pusara suci Rasulullah saw. Pada tahun 887 H, Sultan Qaitbay membangun kembali kubah yang rusak karena terbakar. Begitu juga, pada tahun 1233, pada masa pemerintahan raja Mahmud Ottoman, kubah dibangun kembali. Pada masa Sultan Abdul Hamid Ottoman, warna kubah, yang sampai saat itu berwarna kelabu, berubah menjadi hijau dan sejak saat itu kubah itu dikenal dengan sebutan "Qubbatul Khadra". Sesuai dengan adat dan tradisi lama, setiap beberapa tahun, mereka mengecat warna pada warna yang pertama. [53]

Bibliografi

Karya-karya tentang Masjid Nabawi dapat diklasifikasi menjadi dua bagian: Karya-karya yang memperkenalkan masjid secara independen dan karya-karya yang di samping mengulas topik-topik lainnya, seperti kota Madinah juga mengkhususkan pembahasan-pembahasan terkait Masjid Nabawi.

  • Akhbar al-Madinah, karya Ibnu Zabalah (w.200 H), nampaknya ini adalah buku pertama yang sebagian besar isinya membahas dan memperkenalkan Masjid Nabawi. Ibnu Zabalah dalam buku ini, menukilkan informasi-informasi tentang sejarah dan tanggal pembuatan masjid. Demikian juga, ia menulis luas masjid dan penjabaran tentang kondisi bangunan dan rumah-rumah yang ada di sekelilingnya.
  • Tarikh al-Madinah al-Munawwarah, karya Ibnu Syubbah (w.262 H) penyusun dalam buku ini memperkenalkan kota Madinah dalam tiga periode kehidupan Nabi saw, khalifah kedua dan ketiga.[54] Ibnu Syubbah dalam pembahasan-pembahasan yang berkaitan dengan kota Madinah juga memperkenalkan Masjid Nabawi dan adab serta tata kerama yang berkaitan dengannya.
  • Atsar Islami Makkeh va Madineh, karya Rasul Ja'fariyan.
  • Tarikh al-Masjid al-Nabawi al-Syarif, karya Muhammad Ilyas Abdul Ghani. Penyusun secara mandiri mengulas dan mengkaji Masjid Nabawi.

Catatan Kaki

  1. Semisalnya, rujuk: Kulaini, al-Kafi, jld. 4, hlm. 556.
  2. Hafidz, Fushul min Tarikh al-Madinah al-Munawwarah, hal.63
  3. Ja'farian, Atsar Islami Makkeh va Madineh, hlm. 202.
  4. Ibnu Zabalah, Akhbar al-Madinah, hlm. 74.
  5. Ja’farian, Atsar Islami Makkeh va Madineh, hlm. 203, 204.
  6. Ja’farian, Atsar Islami Makkeh va Madineh, hlm. 202-204.
  7. Najafi, 'Madinah Shenasi', hlm. 33.
  8. Najafi, Madinah Shenasi, hlm. 35; Ja’farian, Atsar Islami Makkeh va Madineh, hlm. 204.
  9. Ja’farian, Atsar Islami Makkeh va Madineh, hlm. 204.
  10. Al-Samhudi, Wafa’ al-Wafa', jld. 2, hlm. 63-67; Ja’farian, Atsar Islami Makkeh va Madineh, hlm. 205.
  11. Samhudi, Wafa' al-Wafa', jld. 2, hlm. 67-68; Ja’farian, Atsar Islami Makkeh va Madineh, hlm. 205 dan 206.
  12. Ja’farian, Atsar Islami Makkeh va Madineh, hlm. 206.
  13. Ja’farian, Atsar Islami Makkeh va Madineh, hlm. 207.
  14. Ja'farian, Atsar Islami Makkeh va Madineh, hlm. 207.
  15. Ja’farian, Atsar Islami Makkeh va Madineh, hlm. 208.
  16. Ja’farian, Atsar Islami Makkeh va Madineh, hlm. 208.
  17. Ja'farian, Atsar Islami Makkeh va Madineh, hlm. 209.
  18. Ja'fariyan, Atsar Islami Makkeh va Madineh, hlm.210.
  19. Ja'fariyan, Atsar Islami Makkeh va Madineh, hlm.210.
  20. Ja'fariyan, Atsar Islami Makkeh va Madineh, hlm.210.
  21. Ja'fariyan, Atsar Islami Makkeh va Madineh, hlm. 211.
  22. Ja'fariyan, Atsar Islami Makkeh va Madineh, hlm. 211-213.
  23. Ja'fariyan, Atsar Islami Makkeh va Madineh, hlm. 213 dan 214.
  24. Silakan rujuk: Ja'fariyan, Atsar Islami Makkeh va Madineh, hlm.239
  25. Silakan rujuk: Amini, al-Ghadir, Jld.5, hlm.165-169
  26. Shaduq, Man La Yahduhuruhul Faqih, jld 2, hlm.572
  27. Silakan rujuk: Ja'fariyan, Atsar Islami Makkeh va Madineh, hlm.239
  28. Poorhusain, Qanunmandi dar Hukumat-e Nabawi, hlm.153
  29. Qummi, Mafatihul Jinan, pasal cara menziarahi rasulullah di Madinah.
  30. Yazdi, al-Urwah al-Wutsqa, jld.2, hlm.164.
  31. Yazdi, al-Urwah al-Wutsqa, jld.1, hlm.285.
  32. Semisalnya rujuk, [1]
  33. Qaidan, Tarikh va Atsare Islamie Makkeh va Madineh, hlm. 219.
  34. Ja'fariyan, Atsar Islami Makkeh va Madineh, hlm.219
  35. Ibnu Syabbah, Tarikh al-Madinah al-Munawarah, jld. 1, hlm. 107.
  36. Shaduq, Man la Yahdhuruhul Faqih, jld. 2, hlm. 572.
  37. Hafizh, Fushulun min Tarikh al-Madinah al-Munawarah, hlm.66.
  38. Hafizh, Fushulun min Tarikh al-Madinah al-Munawarah, hlm.65-66.
  39. Abdul Ghani, Tarikh al-Masjid an-Nabawi as-Syarif, hlm.141.
  40. Ja'fariyan, Atsar Islami Makkeh va Madineh, hlm.219.
  41. Hafizh, Fushulun min Tarikh al-Madinah al-Munawarah, hlm.66.
  42. Abdul Ghani, Tarikh al-Masjid an-Nabawi as-Syarif, hlm.141.
  43. «Pintu-pintu Masjid Nabawi»
  44. Ja'fariyan, Atsar Islami Makkeh va Madineh, hlm.223.
  45. Ja'fariyan, Atsar Islami Makkeh va Madineh, hlm.223, 225, 226.
  46. Thabari, jld. 3, hlm. 1156; Maqrizi, jld. 10, hlm. 95, 96.
  47. Ibnu Sa'ad, jld. 1, hlm. 235.
  48. Baihaqi, hlm. 197.
  49. Ja'fariyan, Atsar Islami Makkeh va Madineh, hlm.221.
  50. Samhudi, Wafa' al-Wafa, jld. 1, hlm. 282.
  51. Najafi, Madinah shenasi, hlm. 100; Syaikhi, Farhangge A'lam Jugrafiyai, hlm. 339.
  52. Majlisi, Biharul Anwar, jld. 86, hlm. 313.
  53. Ja’farian, Atsar Islami Makkeh va Madineh, hlm. 235.
  54. Ibnu Syubbah, Tarikh al-Madinah al-Munawwarah, hlm.2.

Daftar Pustaka

  • Al-Samhudi, Nuruddin 'Ali, Riset. Khalid Abdul Ghani Mahfudz, Wafa' al-Wafa' bi Akhbar Dar al-Mustafa, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, 2006 M.
  • Baihaqi, Dalail al-Nubuwwah, terj. Mahmud Mahdawi Damghani, Tehran, Intisyarate Ilmi wa Farhanggi, cet. 1, 1361 S.
  • Guruhi az Newisandegan (sekelompok para penulis), Daneshnameh Haj wa Haramain Syarifain, pengantar buku Akhbar al-Madinah Ibnu Zabalah.
  • Ibnu Sa'ad, al-Thabaqat al-Kubra, terj. Mahmud Mahdawi Damghani, Tehran, Farhang wa Andisheh, Bi Ta.
  • Ibnu Zabalah, Muhammad bin Hasan, Akhbar al-Madinah, Editor. Salah Abd al-Aziz Zain Salamah, Markas Buhuts wa Dirāsat al-Madinah al-Munawwaroh, 2003 M.
  • Ibnuu Syabbah, Tarikh al-Madinah.
  • Ja'farian, Rasul, Atsār Islami Makkah wa Madinah, Nasyr Masy'ar, Tehran, cet. 8, 1386 S.
  • Majlisi, Muhammad Baqir, Bihar al-Anwar, Tehran, Intisyarat Islamiyyah, Bi Ta.
  • Najafi, Muhammad Baqir, Madinah Shenasi, Syarekat Qalam, Tehran, 1364 S.
  • Shaduq, Muhammad bin Ali bin Babawaih, Man La Yahdhuruhul Faqih, Daftar Intisyarat Isalmi, yang berafiliasi dengan Jami'ah Mudarrisin Hauzah Ilmiah Qom, cet. 2, Qom, 1413 H.
  • Syaikhi, Hamid Reza, Farhang A'lam Jughrafiya'i, Masy'ar, cet. 1, Tehran, 1383 S.
  • Thabari, Muhammad bin Jurair, Tarikh al-Thabari, terj. Abul Gasem Payandeh, Tehran, Asathir, 1375 S.