Wilayah
Syiah |
---|
Wilayah (bahasa Arab:الولاية) dan seluruh cabang kosa katanya bermakna perwalian dan termasuk dari kata-kata yang banyak digunakan dalam Alquran yang memiliki arti kepemilikan, pengaturan dan pemilik ikhtiar. Wilayah terkadang sebuah pekerjaan Allah seperti Tauhid dan salah satu dari asma dan sifat-sifat-Nya. Wilayah semacam ini adalah wilayah takwiniyah dan hubungannya antara sebab dan akibat antara khaliq (pencipta) dan makhluq (yang dicipta) dan ini hanya terbatas pada Allah Tuhan semesta alam. Wilayah Allah swt sifatnya intrinsik, oleh karena itu, wilayah sebagian dari para nabi dan imam-imam maksum adalah jelmaan dan manifestasi dari wilayah Tuhan. Terkadang juga wilayah atas pensyariatan; kontrak dan legalisasi yang berarti meletakkan perundang-undangan di alam penciptaan, wilayah ini juga milik Allah swt.
Terkadang wilayah juga pekerjaan manusia yang dalam keadaan ini maka wilayah tersebut dari jenis wilayah tasyri'iyah (pensyariatan). Wilayah semacam ini dibahas dan dikaji dalam ilmu fikih yang mencakup wilayah atas orang-orang penyandang cacat dan wilayah terhadap kalangan masyarakat elit dan wilayatul Fakih.
Para teolog Syiah meyakini bahwa tidak semua dari para nabi adalah wali dan sesuai dengan ayat-ayat Alquran hanya sebagian dari para nabi yang mencapai derajat tersebut seperti Nabi besar Islam Muhammad saw dan Nabi Ibrahim as. Mereka juga meyakini bahwa wajib bagi Allah untuk memperkenalkan mereka sesuai dengan kaidah lutf (kaidah yang mendekatkan manusia kepada Allah swt). Untuk perealisasian kaidah tersebut maka merupakan suatu kelaziman bahwa wali tersebut harus maksum dan diperkenalkan oleh maksum lainnya.
Dengan mengingat bahwa wilayah dalam pembahasan irfan (sufi) memiliki sisi kebatinan agama dan merupakan harta yang terpendam, menurut keyakinan sebagian arif bahwa setiap pesalik dengan meniti perjalanan suluknya bisa dapat menggapainya. Wilayah adalah makam kedekatan yang menurut keyakinan sebagian orang, makam tersebut dikhususkan bagi Nabi dan para Imam Maksum.
Wilayah yang bermakna Perwalian
Wilayah, Wali dan cabang-cabangnya memiliki arti yang berbeda-beda. [1] Tetapi, sebagian orang meyakini bahwa kata ini dengan berbagai bentuknya yang berbeda-beda tersebut digunakan dalam makna-makna yang tidak keluar dari hal-hal berikut: "cinta dan persahabatan", "membela dan membantu", "mengikuti dan mematuhi" serta "perwalian", yang mana sisi keumuman dari semua makna di atas adalah kedekatan dari sisi spiritual rohani.[2] Wilayah yang dimaksudkan di sini adalah wilyah yang memiliki arti perwalian dan kepengurusan segala hal yang mana wilayah dalam pengartian seperti ini dibagi menjadi dua macam yaitu wilayah atas suatu objek atau beberapa objek dan wilayah atas seseorang atau beberapa orang; wilayah atas suatu objek seperti wilayah atau perwalian seseorang atas harta kekayaan seseorang yang sudah meninggal dan wilayah atas seseorang atau beberapa orang seperti perwalian seorang wali dari segala sisi atas harta anak kecil, seorang anak dan orang gila atau wilayah Tuhan serta para malaikatnya seperti sebagian dari para nabi dan para imam maksum dalam urusan-urusan dunia dan akhirat orang-orang mukmin. [3] Oleh karena itu, wilayah adalah semacam kedekatan dua atau beberapa hal yang menyebabkan atau lisensi khusus untuk campur tangan dan mengatur suatu kepemilikan, ada sebuah pengertian yang mana konteks sebagianayat-ayat Alquran juga mengacu pada hal itu. [4]
Pendekatan Alquran pada Kata Wilayah
Sebagian kata wilayah dan semua cabangnya di dalam Alquran disebutkan sebagai salah satu kata yang paling pragmatis [5]. Meskipun cabang dari kata-kata ini, seperti "wali" dan "maula", sebanyak 233 kali digunakan dalam Alquran dalam beragam maknanya (110 kali secara verba dan 123 kali sebagai kata benda.) [6], namun kata "wilayah" hanya dua kali disebutkan dalam Alquran; [7] satu diantaranya dalam ayat 72 dari surah Al-Anfal dan yang lainnya di ayat 44 dari surah Al-Kahfi, yang dalam kedua ayat tersebut digunakan dalam bentuk wilayah.[8] Sebagian meyakini bahwa antara kata walayah dan wilayah tidak ada perbedaan, dan kedua kata tersebut berarti kedekatan dan perwalian. Tapi sebagian yang lain mengatakan bahwa antara dua kata tersebut berbeda dan meyakini bahwa walayah berarti kesetiaan, kasih sayang, pertolongan, kesinambungan dan berhubungan, sedangkan wilayah berarti pemerintah dan kekuasaan, selain itu walayat juga berhubungan dengan pencipta dan wilayah berhubungan dengan makhluk. [9]
Allamah Thabathabai meyakini bahwa wilayah dalam Alquran tidak berarti cinta dan kasih sayang, tapi memiliki arti mengatur suatu kepemilikan, sahib ikhtiar dan berhak mencampuri secara resmi dalam segala urusan yang mana hal itu mengharuskan orang lain untuk mengikuti dan mematuhinya dan kewajibannya untuk ditaati oleh orang lain. Beliau juga meyakini bahwa cinta dan kasih sayang keluar dari makna hakiki wilayah.[10] Sebagian meyakini bahwa salah satu dari ayat-ayat terpenting kalangan Syiah adalah ayat 55 dari surah Al-Maidah, yang dikenal dengan ayat "Wilayat". Menurut pandangan sebagian besar cendekiawan Syiah dan Sunni seperti Zamakhsyari, Thabari, Neisyaburi, Fakhrurrazi ayat ini turun dalam mendeskripsi Imam Ali as. Dan dalam sebab-sebab peurunan ayat ini dimuat bahwa ayat ini diturunkan saat Imam Ali memberikan cincin kepada seorang peminta-minta dalam keadaan rukuk. [11]
Mungkinkah Manusia Memiliki Wilayah
Berdasarkan ayat-ayat Alquran, Allah swt sebagai pencipta manusia dan sebagai Tuhan baginya, memiliki hak untuk menerapkan wilayah atas manusia dan hanya Ia yang menjadi wali bagi hamba-hamba-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya: “Patutkah mereka mengambil pelindung-pelindung selain Allah, sedang Allah Dia-lah pelindung (yang sebenarnya), Dia menghidupkan orang-orang yang mati, dan Dia adalah Maha Kuasa atas segala sesuatu?” [12] Oleh itu, wilayah atau semua jenis-jenis wilayah terkhususkan bagi Allah swt, hanya Ia yang merupakan wali dan selain-Nya tidak memiliki hak untuk menerapkan wilayah atas hamba-hamba-Nya. Sebagian manusia, menerima wilayah ini dan menempatkan dirinya dalam perwalian Tuhan, namun sebagian manusia yang lainnya melarikan diri dari wilayah-Nya dan menjadikan dirinya berada di bawah perwalian setan. Kaum Mukminin menerima wilayah Allah swt[13] dan Allah swt juga menjadi pelindung bagi kaum Mukminin dan menghantarkan manusia menuju kebahagiaan serta membimbing manusia untuk menjauhi kegelapan dan kesesatan menuju ke lembah cahaya. [14] Orang-orang yang tidak menerima wilayah Allah swt, maka mereka telah menerima wilayah patung-patung dan taghut. [15] Padahal anggapan mereka adalah batil dan orang-orang kafir tidak memiliki wilayah atas orang lain. [16] Hanya Allah swt yang mampu menerapkan wilayah. Allah swt juga memiliki kemampuan dan memiliki hak untuk bercampur tangan dalam urusan takwini. Hanya Ia yang memiliki kewenangan untuk membuat hukum, dan dengan membuat hukum yang disebut dengan ajaran-ajaran agama, maka perbedaan-perbedaan kemasyarakatan akan teratasi dan akan membawa manusia kepada kebahagiaan yang abadi. [17]
Allah swt mendelegasikan wilayah sesuai dengan kelayakan dan kapasitas hamba-hamba-Nya. Tentu saja, wilayah orang-orang ini tidak seukuran dengan wilayah Allah swt namun berada dalam jajaran wilayah Allah swt secara vertikal (di bawah) dan orang-orang ini menerapkan wilayah berdasarkan kehendak dan keridhaan Ilahi.
Ragam Wilayah
Wilayah Takwini dan Batini
Wilayah hakiki atau batini adalah kemampuan mempengaruhi dan merencanakan segala sesuatu dengan segala bentuk yang diinginkan. [18] Wilayah takwini juga bermakna kepemilikan kekuatan, usaha dan ikhtiar-ikhtiar dalam permasalahan takwini dan kekuatan untuk mempengaruhi permasalahan dunia dan mengacaukan tatatan normal. [19] Wilayah takwini pada dasarnya dimiliki oleh Allah swt dan berdasarkan tauhid rububiyyat, hanya Allah swt yang dengan kekuatan-Nya sendiri dan wilayah-Nya, mengatur dunia seisinya dan pengelolaannya dijalankan dengan cara yang bermacam-macam. [20] Dalam Alquran terkait dengan wilayah takwini dijelaskan bahwa Allah swt adalah wali bagi kaum Mukminin dan membawa kaum Mukminin dari kegelapan menuju jalan cahaya sebagaimana firman-Nya: “Allah adalah pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindung mereka adalah tagut yang mengeluarkan mereka dari cahaya (iman) kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.“ [21]
Allah swt dalam Alquran berkali-kali menjelaskan bahwa wilayah takwini terkhusus berada disisi-Nya dan selain Ia tidak dapat melakukan apa-apa dan juga selain Allah swt hanya akan membawa kerugian. Sebagaimana bahwa kaum zalim tidak memiliki wali dan penolong, sebagaimana dalam firman-Nya “Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Allah menjadikan mereka satu umat (saja dan memaksa mereka semua menerima kebenaran). Tetapi Dia memasukkan orang-orang yang Dia kehendaki ke dalam rahmat-Nya. Dan orang-orang yang zalim tidak memiliki seorang pelindung pun dan tidak pula seorang penolong. Patutkah mereka mengambil pelindung-pelindung selain Allah, sedang Allah Dia-lah pelindung (yang sebenarnya), Dia menghidupkan orang-orang yang mati, dan Dia adalah Maha Kuasa atas segala sesuatu? “[22]
Wilayat Tasyri’i
Wilayah tasyri’i, memiliki dua makna: arti khusus dan arti umum. Dalam arti umum segala pengawasan dan wilayah yang tidak meniscayakan adanya campur tangan dalam urusan takwini. Jenis wilayah ini meliputi wilayah tafsiri, wilayah politik dan wilayah tasyri’i dalam arti khusus. Wilayah ini adalah sebuah wilayah yang penerimaannya berbeda dengan wilayah takwini, yaitu berdasarkan ikhtiar manusia dan tidak ada pemaksaan sedikitpun, sebagaimana yang diisyaratkan oleh Alquran bahwa penerimaan agama Islam dan wilayah-Nya adalah sebuah ikhtiar bagi manusia dan orang-orang yang tidak menerima wilayah-Nya maka ia akan keluar dari wilayah Tuhan dan Ia hanya mengenalkan diri sebagai wali bagi orang-orang yang beriman, sebagaimana dalam firman-Nya: “Tiada paksaan untuk (memeluk) agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat. Oleh karena itu, barang siapa yang ingkar kepada tagut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang teguh kepada tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Allah adalah pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindung mereka adalah tagut yang mengeluarkan mereka dari cahaya (iman) kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” [23]
Allamah Thabathabai dalam menjelaskan wilayah tasyri’i umum berkata: Wilayah tasyri’i adalah qiyam terhadap tasyri’, mengajak, mendidik umat dan menegakkan hukum atau pengadilan dalam hal-hal yang diperselisihkan umat. Ketika Nabi Muhammad saw menjalankan fungsi ini, Allah swt menyebut beliau sebagai wali bagi kaum Mukminin. [24]
Wilayah tasyri’i dalam makna khusus, adalah wilayah atas pembuatan hukum-hukum keagamaan. Bentuk wilayah ini memiliki beberapa ragam dimana sebagiannya terkhusus bagi Nabi Muhammad saw dan sebagian yang lainnya berkaitan dengan para pemimpin agama. Berdasarkan riwayat-riwayat hak wilayah ini juga diberikan kepada para Imam Syiah. [25]
Pada sebagian riwayat dijelaskan bahwa Nabi Muhammad saw, dalam beberapa hal, menentukan sendiri hukum-hukum agama bagi beliau, seperti salat dua rakaat pada akhir salat-salat empat rakaat yang wajib dikerjakan bagi beliau. Tentu saja, jenis wilayah tasyri’i ini, kadang-kadang dalam konteks ahkam awwaliyah (hukum-hukum primer), kadang-kadang dalam hukum-hukum pemerintahan dan kadang-kadang berkenaan dengan penentuan subyek hukum dan penyelarasan masalah sebuah hukum syar’i atas subyek-subyeknya. Sebagaimana Imam Ali as pada satu periode zaman karena hendak membentuk pemerintahan Islam, maka kuda-kuda juga harus diberikan zakatnya, padahal berdasarkan ahkam awwali, pembayaran zakat tidak meliputi kuda. Tindakan ini, dalam konteks hukum-hukum pemerintahan, bukan hukum-hukum primer.
Terkait dengan bagaimana menerapkan wilayah ini, terdapat perbedaan pendapat. Sebagian percaya kepada penentuan ahkam awwaliyah (hukum-hukum primer) hanya merupakan kewenangan Allah swt, dan tidak seorangpun, termasuk Nabi Muhammad saw tidak memiliki kewenanangan untuk membuat hukum. Namun sebagian yang lain, memberikan pengecualian bahwa Nabi Muhammad saw dan 12 Imam termasuk yang dikecualikan dalam permasalahan ini.
Wilayah Sosial
Wilayah sosial atau kepemimpinan yang mengandung makna hak asuh, memimpin masyarakat dan politik. Berdasarkan ayat-ayat Alquran, hukum hanya berasal dari Allah swt dan hanya Ia yang memiliki maqam untuk mengasuh dan memiliki wilayah atas hamba-hamba-Nya. Perkara ini, meliputi semua jenis-jenis wilayah misalnya wilayah sosial dan kepemimpinan. Berdasarkan hal ini, maka Allah swt menganugerahkan kedudukan itu kepada sebagian manusia pilihan-Nya sehingga berdasarkan pedoman-pedoman dari Allah swt, mereka akan membimbing masyarakat ke arah kesempurnaan. [26]
Kedudukan ini tidak terkhususkan kepada para nabi saja. Meskipun hanya beberapa jumlah kecil saja dari mereka yang memiliki kewenangan pemerintahan atas umatnya dan juga memiliki kedudukan sebagai pemimpin politik. Rasulullah saw, nabi terakhir yang mampu selama 10 tahun di Madinah, juga mengemban tugas sebagai pemimpin masyarakat. Setelah beliau, berdasarkan berbagai riwayat yang ada, atas perintah Allah swt kedudukan ini dipindahkan kepada para Imam Syiah. Nabi Muhammad saw pada hari Ghadir Khum bertanggung jawab untuk mengumumkan kepada orang-orang bahwa imamah, kepemimpinan dan khilafah dipegang oleh Imam Ali as sebagaimana dalam firman-Nya: "Hai rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhan-mu. Dan jika kamu tidak mengerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan risalah-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir." [27] dan meminta masyarakat untuk berbaiat kepada Imam Ali as.
Proses pengenalan Imam Ali sebagai pemegang khilafah dan kepemimpinan sangat penting sehingga dalam lanjutan ayat ini, Allah mewahyukan kepada Nabi Muhammad saw bahwa apabila beliau tidak melaksanakan tugas ini, maka semua usaha yang telah dilakukannya tidak akan berarti dan seolah-olah beliau tidak melaksanakan tugas kenabiannya. Berdasarkan hal ini, kaum Syiah percaya bahwa setelah Nabi Muhammad saw, kedudukan dan tanggung jawab pemimpin masyarakat hanya berada di pundak para Imam Maksum dan tidak seorang pun yang memiliki tanggung jawab seperti ini.
Wilayah Penafsiran
Bagian wilayah ini bermakna bahwa beberapa hamba-hamba tertentu Allah swt karena memiliki ilmu laduni dan anugerah ilmu dan pengetahuan dari Allah swt tentang ayat-ayat langit, menafsirkan dan menjelaskan kalam Ilahi, menyingkirkan syubhah-syubhah dalam masalah keagamaan dan menjaga ajaran agama dari penyelewengan serta menjaga pelaksanaan hukum-hukum agama. [28] Selama ada para Nabi, tanggung jawab ini diemban oleh para nabi. Tanggung jawab ini kebanyakannya dipikul oleh para nabi dan kebanyakannya para Nabi yang diutus Allah untuk memberi hidayah kepada manusia berasal dari kelompok ini. Orang-orang ini menafsirkan pesan Ilahi dan ajaran-ajaran para nabi sebelumnya. Kedudukan ini berdasarkan otoritas keilmuan mereka dan meniscayakan hujah pada perkataannya ketika mereka menjelaskan tentang kitab Tuhan dan menyebarkan agama, mengemuka setelah Rasulullah saw, sebagai salah satu kewajiban dan hikmah-hikmah adanya Imam.
Para Wali
- Allah swt: Berdasarkan teks-teks agama, wali hakiki (esensial) adalah Allah swt dimana wilayah-Nya bukan merupakan pemberian siapa-pun. Alquran, juga mengisyaratkan dalam berbagai ayat tentang hal ini sebagaimana yang dijelaskan dalam surah Al-Baqarah ayat 257.
- Para Nabi Ilahi: Para Nabi yang dengan ijin-Nya, diperbolehkan untuk menerapkan wilayahnya pada hamba-hamba-Nya. Wilayah ini meliputi semua macam-macam wilayah selain wilayah tasyri’i dalam arti khusus yang dalam hal ini adalah wilayah dalam membuat hukum dan menetapkan hukum primer agama. Rasulullah saw adalah satu-satunya di antara para nabi yang diberikan ijin untuk menetapkan hukum-hukum agama dalam hal-hal yang sangat terbatas, seperti penambahan dua rakaat pada akhir salat-salat empat rakaat dan satu rakaat pada salat maghrib, kemustahaban salat-salat wajib dalam sehari semalam atau kemustahaban puasa tiga kali dalam setiap bulan. [29]
- Para Imam Maksum: Para Imam Maksum memiliki wilayah seperti Rasulullah saw dan boleh menerapkan wilayah; wilayah takwini, wilayah tasyri’i, wilayah politik dan pemerintahan serta wilayah kepemimpinan umat.
- Fakih yang memiliki syarat-syarat untuk menyampaikan fatwa: Berdasarkan sebagian riwayat-riwayat fukaha yang memiliki syarat-syarat untuk memberikan fatwa boleh menerapkan wilayah. Wilayah dalam bagian ini disebut dengan wilayat fakih. Dalam teks-teks fikih, jenis wilayah yang terbatas juga ada pada orang-orang tertentu, seperti wilayah ayah dan kakek dari jalur kakek atas anak dan cucu-cucunya dan wilayah kaum Mukminin atas orang-orang kurang berakal dan orang-orang bodoh. Perbedaan wilayah jenis ini dengan wilayah-wilayah sebelumnya adalah dalam batasan bahwa wilayah jenis ini terkait dengan hal-hal khusus. [30]
Tipologi Terpenting
Hujjah kalam (ucapan) adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari wilayah seorang wali. Seseorang yang memiliki wilayah dalam salah satu cakupan baik hakiki atau i’tibari (non hakiki), pasti perkataannya memiliki hujah dan orang-orang harus mentaatinya.
Menjawab Sebuah Syubhat
Pada masa kini, mengemuka pembahasan dalam permasalahan wilayah para Imam Syiah dan kaitannya dengan Nabi Muhammad saw sebagai Nabi terakhir. Sebagian berkeyakinan bahwa kepercayaan kepada wilayah para Imam Syiah baik wilayah takwini dan wilayah tasyri’i tidak sejalan dengan khatamiyah Nabi Muhammad saw. [31] Para teolog memberikan jawaban atas klaim ini: Wilayah bukan hanya tidak bertentangan dengan khatamiyah Nabi saw, namun merupakan ciri-ciri terpenting Imam Maksum. Karena dari sisi bahwa agama Islam itu abadi, sempurna dan zaman yang dimiliki Nabi Muhammad saw untuk menyebarkan akidah dan furu'uddin terbatas, maka diperlukan seorang Imam yang perkataannya merupakan hujah sehingga orang-orang dapat mempercayai perkataaanya. Oleh itu, ia harus memiliki wilayah baik dalam kedududukan untuk menafsirkan agama maupun menjelaskan masalah-masalah hukum agama.[32]
Catatan Kaki
- ↑ Husaini Tehrani, Imām Syenāsi, 1426 H. jld. 5, hlm. 15.
- ↑ Jawadi Amuli, Wilāyate Faqih, 1999 M. hlm.122.
- ↑ Thabathabi, Tarjumeh Tafsir al-Mizān, 1995 M, jld. 6, hlm. 15; Thahiri Khurram Abadi, wilāyat wa Rahbari dar Islām.
- ↑ Thabathabi, Tarjumeh Tafsir al-Mizān, 1995 M, jld. 6, hlm. 16.
- ↑ sekelompok dari para penulis, Imamat Pajuhi, 2002 M. hlm. 49.
- ↑ sekelompok dari para penulis, Imamat Pajuhi, 2002 M. hlm. 193.
- ↑ sekelompok dari para penulis, Imamat Pajuhi, 2002 M. hlm. 195.
- ↑ sekelompok dari para penulis, Imamat Pajuhi, 2002 M. hlm. 196-198.
- ↑ sekelompok dari para penulis, Imamat Pajuhi, 2002 M. hlm. 195.
- ↑ Thabathabai, Tarjumeh tafsir al-Mizān, 1995 M. jld.18, hlm. 26-27.
- ↑ Rahimi Isfahani, Welayat wa Rahbari, 1995 M. jld.3, hlm. 119-121.
- ↑ QS. Asy-Syura [42]:9
- ↑ QS. Muhammad: 11.
- ↑ QS. Al-Baqarah: 257.
- ↑ وَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَوْلِياؤُهُمُ الطَّاغُوتُ
- ↑ (QS. Muhammad [47]: 11.
- ↑ Thabathabai, al-Mizān, jld. 18, hlm. 231.
- ↑ Thabathabai, al-Mizān, jld. 6, hlm. 13.
- ↑ Muthahhari, Welaha wa Wilayatahā, hlm. 56 dan 57.
- ↑ Jawadi Amuli, hlm. 128.
- ↑ QS. Al-Baqarah [47]: 257.
- ↑ QS. Asy-Syura [42]: 8 dan 9
- ↑ QS. Al-Baqarah [47]: 256 dan 257.
- ↑ Thabathabai, al-Mizān fi Tafsir al-Qurān, jld. 6, hlm. 13.
- ↑ Kulaini, jld. 1, hlm. 267; Mufid, al-Ikhtishāsh, hlm. 331.
- ↑ Muthahhari, Welaha wa Welayatha, hlm. 50-52.
- ↑ QS. Al-Maidah [5]: 67
- ↑ Thabathabai, Syiah dar Islām, hlm. 31 dan 32.
- ↑ Silahkan lihat: Kulaini, jld. 1, hlm. 266.
- ↑ Silahkan lihat: Muthahhari, Welāha wa Welayatha
- ↑ Surusy, hlm. 134.
- ↑ Thabathabai, Syiah dar Islām, hlm. 31 dan 32.
Daftar Pustaka
- Raghib, Husain bin Muhammad. Mufrādāt fi Gharib al-Qurān. Beirut: Dar al-Ilm, 1412 H.
- Jawadi Amuli, Abdullah. Wilāyat dar Qurān. Qom: Nasyar Islam 1387.
- Amini, Abdul Husain. Al-Ghādir. Qom: Markaz al-Ghadir, 1416.
- Ibnu Mandzur, Muhammad bin Mukaram. Lisān al-Arab. Beirut: Dar Shadir, 2000.
- Thabathabai, Muhammad Husain. Syiah dar Islām. Qom: Nasyar Islami, 1378.
- Thabtahabi, Muhammad Husain. Al-Mizān fi Tafsir al-Qurān. Qom: Nasyar Jamiah Mudarisin, cet. V, 1417.
- Surusy, Abdul Karim Basath. Tajrubeh Nabawi. Teheran: Muasasah Farhanggi Shirath, 1385.
- Kulaini, Muhammad bin Ya’qub. Ushul Kāfi. Teheran: Dar al-Kitab al-Islamiyah, 1365 HS.
- Mufid, Muhammad bin Muhammad. Al-Ikhtishāsh. Qom: Kongere Jahani Syaikh Mufid, 1413.