Perbudakan seksual
Seks dan hukum |
---|
Isu sosial |
Pelanggaran tertentu (Dapat bervariasi sesuai dengan yurisdiksi) |
Perselingkuhan · Pemikatan anak |
Perbudakan seksual (bahasa Inggris: sexual slavery) dan eksploitasi seksual (bahasa Inggris: sexual exploitation) adalah perbuatan atau praktik atas dasar suatu ikatan kepemilikan atas satu orang atau lebih dengan maksud untuk memaksa (atau dengan cara lainnya) orang untuk melakukan aktivitas seksual.[1][2] Hal ini termasuk kerja paksa yang menurunkan status seseorang menjadi budak (termasuk pernikahan paksa) dan perdagangan seks, seperti perdagangan seksual anak-anak.[1]
Perbudakan seksual juga dapat melibatkan perbudakan seksual pemilik tunggal; perbudakan ritual yang terkadang dikaitkan dengan praktik keagamaan tertentu, seperti perbudakan ritual di Ghana, Togo dan Benin; perbudakan terutama untuk tujuan non-seksual tetapi di mana aktivitas seksual non-konsensual adalah umum; atau prostitusi paksa. Deklarasi dan Program Aksi Wina menyerukan upaya internasional untuk membuat orang-orang sadar akan perbudakan seksual, dan bahwa perbudakan seksual adalah pelanggaran hak asasi manusia. Insiden perbudakan seksual oleh negara telah dipelajari dan ditabulasikan oleh UNESCO dengan kerjasama dari berbagai lembaga internasional.[3]
Definisi
[sunting | sunting sumber]Statuta Roma (1998) mendefinisikan kejahatan yang dapat menjadi yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional. Kejahatan ini mencakup kejahatan terhadap kemanusiaan (Pasal 7) yang termasuk "perbudakan" (Pasal 7.1.c) dan "perbudakan seksual" (Pasal 7.1.g ) "ketika dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematis yang ditujukan terhadap penduduk sipil mana pun". Statuta Roma juga mendefinisikan perbudakan seksual sebagai kejahatan perang dan pelanggaran Konvensi Jenewa ketika dilakukan dalam konflik bersenjata internasional (Pasal 8.b.xxii) dan secara tidak langsung dalam konflik bersenjata internal berdasarkan Pasal (8.c.ii). Akan tetapi, yurisdiksi pengadilan atas kejahatan perang secara eksplisit dikecualikan dari termasuk kejahatan yang dilakukan selama "situasi gangguan dan ketegangan internal, seperti kerusuhan, tindakan kekerasan yang terisolasi dan sporadis atau tindakan lain yang serupa" (Pasal 8.d).[4]
Teks Statuta Roma tidak secara eksplisit mendefinisikan perbudakan seksual, tetapi mendefinisikan perbudakan sebagai "pelaksanaan salah satu atau semua kekuasaan yang melekat pada hak kepemilikan atas seseorang dan termasuk pelaksanaan kekuasaan tersebut dalam proses perdagangan orang, khususnya perempuan dan anak-anak" (Pasal 7.2.c).[4][5]
Dalam komentar Statuta Roma,[6] Mark Klamberg menyatakan:[7][8]
Perbudakan seksual adalah suatu bentuk perbudakan tertentu yang mencakup pembatasan otonomi seseorang, kebebasan bergerak dan kekuasaan untuk memutuskan hal-hal yang berkaitan dengan aktivitas seksual seseorang. Dengan demikian, kejahatan itu juga mencakup kawin paksa, pembantu rumah tangga paksa atau kerja paksa lainnya yang melibatkan aktivitas seksual paksa. Berbeda dengan tindak pidana perkosaan yang merupakan tindak pidana tuntas, perbudakan seksual merupakan tindak pidana yang berkelanjutan. ... Bentuk-bentuk perbudakan seksual, misalnya, dapat berupa praktik-praktik seperti penahanan perempuan di "kamp pemerkosaan" atau "stasiun penghiburan", "perkawinan" sementara paksa dengan tentara dan praktik-praktik lain yang melibatkan perlakuan terhadap perempuan sebagai barang milik, dan dengan demikian merupakan suatu pelanggaran jus cogens yang melarang perbudakan.
Jenis
[sunting | sunting sumber]Eksploitasi seksual komersial orang dewasa
[sunting | sunting sumber]Eksploitasi seksual komersial orang dewasa (sering disebut sebagai "perdagangan seks")[9] adalah jenis perdagangan manusia yang melibatkan perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan orang dengan cara pemaksaan atau kekerasan untuk tujuan eksploitasi seksual.
BBC News mengutip laporan UNODC yang berisi daftar negara-negara tujuan paling umum bagi korban perdagangan manusia pada tahun 2007 antara lain Thailand, Jepang, Israel, Belgia, Belanda, Jerman, Italia, Turki dan Amerika Serikat. Laporan tersebut memuat Thailand, Tiongkok, Nigeria, Albania, Bulgaria, Belarusia, Moldova, dan Ukraina sebagai sumber utama orang yang diperdagangkan.[10]
Eksploitasi seksual komersial anak
[sunting | sunting sumber]Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA) termasuk prostitusi anak (atau perdagangan seks anak), wisata seks anak, pornografi anak, atau bentuk transaksi seks lainnya dengan anak. Youth Advocate Program International (YAPI) mendeskripsikan ESKA sebagai bentuk pemaksaan dan kekerasan terhadap anak dan bentuk perbudakan kontemporer.[11][12]
Sebuah deklarasi Kongres Dunia Menentang Eksploitasi Seksual Komersial Anak yang diadakan di Stockholm pada tahun 1996 mendefinisikan ESKA sebagai, "pelecehan seksual oleh orang dewasa dengan remunerasi dalam bentuk uang atau barang kepada anak atau kepada orang ketiga atau beberapa orang. Anak diperlakukan sebagai objek seksual dan sebagai objek komersial".[12]
Prostitusi anak
[sunting | sunting sumber]Prostitusi anak atau perdagangan seks anak adalah salah satu bentuk perbudakan seksual.[13] Praktik ini adalah eksploitasi seksual komersial anak dengan seorang anak memberikan layanan prostitusi, biasanya dengan keuntungan finansial bagi orang dewasa.
Polisi federal India mengatakan pada tahun 2009, sekitar 1,2 juta anak di India terlibat dalam prostitusi.[14] Sebuah pernyataan CBI mengatakan bahwa studi dan survei yang disponsori oleh Kementerian Perempuan dan Perkembangan Anak memperkirakan sekitar 40% dari pekerja seks India adalah anak-anak.[14]
Lembaga Penelitian Sistem Kesehatan Thailand melaporkan bahwa anak-anak yang berada dalam prostitusi mencapai 40% dari pekerja seks di Thailand.[15]
Di beberapa bagian dunia, prostitusi anak ditoleransi atau diabaikan oleh pihak yang berwenang. Hal ini mencerminkan hal yang berlaku di banyak negara berkembang. Seorang hakim dari Honduras mengatakan, dengan syarat anonim: "Jika korban [pekerja seks anak] lebih dari 12 tahun, jika dia menolak untuk mengajukan pengaduan dan jika orang tuanya jelas-jelas mendapat keuntungan dari prostitusi anak mereka, kami cenderung mengabaikannya".[16]
Wisata seks anak
[sunting | sunting sumber]Wisata seks anak adalah bentuk perdagangan seks anak yang utamanya berpusat pada pembelian dan penjualan anak-anak untuk tujuan perbudakan seksual.[17][18] Ini terjadi ketika orang dewasa bepergian ke luar negeri dengan tujuan untuk terlibat dalam pelecehan seksual anak yang difasilitasi secara komersial.[19] Wisata seks anak mempunyai konsekuensi mental dan fisik bagi anak-anak yang dieksploitasi, yang termasuk "penyakit (termasuk HIV/AIDS), kecanduan narkoba, kehamilan, kekurangan gizi, pengucilan sosial, dan kemungkinan kematian", menurut Departemen Luar Negeri Amerika Serikat.[19] Thailand, Kamboja, India, Brasil dan Meksiko telah diidentifikasi sebagai hotspot utama eksploitasi seksual anak.[20]
Pornografi anak
[sunting | sunting sumber]Pornografi anak[21][22][23] merujuk pada gambar atau film yang menggambarkan aktivitas seksual eksplisit yang melibatkan seorang anak. Pornografi anak sering kali merupakan rekaman visual dari pelecehan seksual terhadap anak.[24][25][26] Pelecehan seksual terhadap anak terjadi selama tindakan seksual yang diambil gambar atau videonya dalam produksi pornografi anak.[24][25][27][28] Dampak pelecehan pada anak berlanjut hingga dewasa dan diperparah oleh distribusi luas dan ketersediaan abadi dari foto-foto pelecehan seksual.[29][30][31]
Perdagangan seks anak seringkali melibatkan pornografi anak.[17] Anak-anak biasanya dibeli dan dijual untuk tujuan seksual tanpa sepengetahuan orang tua mereka. Dalam kasus ini, anak-anak sering digunakan untuk memproduksi pornografi anak, terutama bentuk pornografi anak yang sadis dimana mereka dapat disiksa.[17]
Perdagangan seks dunia maya
[sunting | sunting sumber]Korban perdagangan seks dunia maya, terutama perempuan dan anak-anak dapat dikategorikan sebagai budak seks[32][33] yang diperdagangkan dan kemudian dipaksa untuk tampil dalam tayangan live streaming[34] yang melibatkan paksaan[35] tindakan seks atau pemerkosaan di webcam.[36][37] Mereka biasanya dibuat untuk mengikuti perintah konsumen yang membayar.[38] Itu terjadi di 'sarang cybersex', yang merupakan kamar yang dilengkapi dengan webcam.[38][39]
Prostitusi paksa
[sunting | sunting sumber]Sebagian besar, jika tidak semua, bentuk-bentuk prostitusi paksa dapat dipahami sebagai perbudakan seksual.[40] Istilah "prostitusi paksa" dan "pelacuran paksa" muncul dalam konvensi internasional dan kemanusiaan tetapi kurang dipahami dan diterapkan secara konsisten. "Prostitusi paksa" umumnya mengacu pada kondisi kontrol atas seseorang yang dipaksa oleh orang lain untuk melakukan aktivitas seksual.[41]
Isu persetujuan dalam prostitusi sedang hangat diperdebatkan. Pendapat di negara-negara seperti Eropa telah terbagi atas pertanyaan apakah prostitusi harus dianggap sebagai pilihan bebas atau sebagai eksploitatif yang melekat pada perempuan.[42] Undang-undang di Swedia, Norwegia, dan Islandia mengatur bahwa membayar untuk seks adalah ilegal, tetapi tidak sama halnya dengan menjual layanan seksual. Hal ini didasarkan pada gagasan bahwa semua bentuk prostitusi pada dasarnya bersifat eksploitatif dan menentang gagasan bahwa prostitusi dapat dilakukan secara sukarela.[43] Sebaliknya, prostitusi adalah profesi yang diakui di negara-negara seperti Belanda dan Jerman.
Pada tahun 1949, Majelis Umum PBB mengadopsi Konvensi untuk Pemberantasan Perdagangan Orang dan Eksploitasi Prostitusi Orang Lain (Konvensi 1949). Pasal 1 Konvensi 1949 memberikan hukuman bagi setiap orang yang "mengadakan, membujuk atau mengarahkan, untuk tujuan pelacuran, orang lain" atau "mengeksploitasi prostitusi orang lain, bahkan dengan persetujuan orang itu." Agar termasuk dalam ketentuan Konvensi 1949, perdagangan manusia tidak perlu untuk melewati batas internasional.[44]
Sebaliknya, organisasi seperti UNAIDS, WHO, Amnesty International, Human Rights Watch dan UNFPA telah meminta negara-negara untuk mendekriminalisasi pekerja seks dalam upaya global untuk mengatasi epidemi HIV/AIDS dan memastikan akses pekerja seks ke layanan kesehatan.[45][46][47]
Perkawinan paksa
[sunting | sunting sumber]Kawin paksa adalah bentuk perkawinan dengan salah satu atau kedua peserta yang menikah tidak memberikan persetujuan secara bebas.[48] Kawin paksa adalah salah satu bentuk perbudakan seksual.[7][8] Penyebab kawin paksa antara lain adat seperti mahar dan harta sesan; kemiskinan; anggapan pentingnya keperawanan bagi perempuan sebelum menikah; "kehormatan keluarga"; fakta bahwa perkawinan dalam masyarakat tertentu dianggap sebagai pengaturan sosial antara keluarga besar pengantin; pendidikan dan pilihan ekonomi yang terbatas; anggapan bahwa perkawinan adalah perlindungan yang diberikan oleh tradisi budaya atau agama; membantu imigrasi.[49][50][51][52][53] Perkawinan paksa paling sering terjadi di beberapa bagian Asia Selatan dan Afrika sub-Sahara.[54]
Kejahatan terhadap kemanusiaan
[sunting | sunting sumber]Memorandum Penjelasan Statuta Roma mengakui pemerkosaan, perbudakan seksual, prostitusi paksa, kehamilan paksa, sterilisasi paksa, "atau segala bentuk kekerasan seksual lainnya yang sebanding" sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan jika tindakan tersebut adalah bagian dari praktik yang meluas atau sistematis.[55][56] Perbudakan seksual pertama kali diakui sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan ketika Pengadilan Pidana Internasional untuk bekas Yugoslavia mengeluarkan surat perintah penangkapan berdasarkan Konvensi Jenewa dan Pelanggaran Hukum atau Kebiasaan Perang. Secara khusus, diakui bahwa wanita Muslim di Foča (Bosnia dan Herzegovina tenggara) menjadi sasaran pemerkosaan geng secara sistematis dan meluas, penyiksaan dan perbudakan seksual oleh tentara Serbia Bosnia, polisi, dan anggota kelompok paramiliter setelah pengambilalihan kota pada April 1992.[57] Dakwaan tersebut memiliki signifikansi hukum yang besar dan merupakan pertama kalinya penyerangan seksual diselidiki untuk tujuan penuntutan di bawah kategori penyiksaan dan perbudakan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.[57] Dakwaan tersebut diperkuat oleh putusan tahun 2001 oleh Pengadilan Pidana Internasional untuk bekas Yugoslavia bahwa pemerkosaan dan perbudakan seksual adalah kejahatan terhadap kemanusiaan. Putusan ini menentang penerimaan luas pemerkosaan dan perbudakan seksual perempuan sebagai bagian intrinsik dari perang.[58] Pengadilan Pidana Internasional untuk bekas Yugoslavia memutuskan tiga pria Serbia Bosnia bersalah atas pemerkosaan terhadap perempuan dan anak perempuan Bosnia (Muslim Bosnia) – beberapa berusia 12 dan 15 tahun – di Foča, Bosnia timur dan Herzegovina. Tuduhan itu diajukan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Selain itu, dua dari pria tersebut dinyatakan bersalah atas kejahatan terhadap kemanusiaan perbudakan seksual karena menahan perempuan dan anak perempuan di sejumlah pusat penahanan de facto. Banyak dari wanita itu kemudian menghilang.[58]
Di daerah-daerah yang dikuasai oleh militan Islam, wanita non-Muslim diperbudak di wilayah pendudukan mereka. Banyak Islamis yang memahami penghapusan perbudakan sebagai hal dipaksakan oleh Barat kepada orang-orang Muslim dan mereka ingin menghidupkan kembali praktik perbudakan.[59][60][61] (Lihat: Perbudakan dalam Islamisme abad ke-21). Di daerah-daerah yang dikuasai oleh para imam Katolik, pelecehan oleh para biarawati, termasuk perbudakan seksual, telah diakui oleh Paus.[62][63]
Penculikan pengantin wanita
[sunting | sunting sumber]Penculikan pengantin, juga dikenal sebagai pernikahan dengan penculikan atau pernikahan dengan tawanan, adalah bentuk pernikahan paksa yang dipraktikkan di beberapa budaya tradisional. Meskipun motivasi di balik penculikan pengantin berbeda-beda di setiap wilayah, budaya dengan tradisi pernikahan dengan penculikan umumnya bersifat patriarki dengan stigma sosial yang kuat terhadap seks atau kehamilan di luar nikah dan kelahiran anak di luar nikah.[64][65] Namun dalam kebanyakan kasus, laki-laki yang memilih untuk menangkap calon istrinya seringkali berstatus sosial lebih rendah, baik karena kemiskinan, penyakit, karakter buruk atau kriminalitas. Dalam beberapa kasus, pasangan tersebut berkolusi bersama untuk kawin lari dengan kedok penculikan pengantin wanita, memberi orang tua mereka fait accompli (suatu keadaan yang telah terjadi sehingga tidak terdapat pilihan lain selain menerimanya).[64][66] Pria-pria ini terkadang terhalang untuk mencari istri secara sah karena besarnya pembayaran yang diminta keluarga wanita, mahar (tidak untuk disamakan dengan mas kawin, dibayar oleh keluarga wanita).[64][67]
Penculikan pengantin dibedakan dari raptio. Penculikan pengantin merujuk pada keadaan ketika penculikan seorang wanita dilakukan oleh satu pria (dan/atau teman dan kerabatnya), dan seringkali merupakan praktik yang meluas dan berkelanjutan. Sedangkan raptio mengacu pada penculikan besar-besaran terhadap perempuan oleh kelompok laki-laki, paling sering terjadi pada masa perang (lihat juga pemerkosaan perang). Istilah Latin raptio mengacu pada penculikan perempuan, baik untuk pernikahan (dengan penculikan atau kawin lari) atau perbudakan (khususnya perbudakan seksual). Dalam hukum kanon Katolik Roma, raptio mengacu pada larangan hukum perkawinan jika pengantin wanita diculik secara paksa (Kanon 1089 CIC ).
Praktik raptio diduga telah ada sejak zaman antropologis kuno. Di Eropa Neolitik, penggalian situs budaya Tembikar Linear di Asparn-Schletz, Austria, menemukan sisa-sisa banyak korban yang terbunuh. Di antara sisa-sisa korban, tidak banyak sisa-sisa korban wanita muda dan anak-anak yang ditemykan. Hal ini menunjukkan bahwa kemungkinan para penyerang telah membunuh para pria tetapi menculik para wanita muda.[68]
Selama perang dan konflik bersenjata
[sunting | sunting sumber]Pemerkosaan dan kekerasan seksual telah ada selama peperangan di hampir setiap era sejarah yang diketahui.[69] Sebelum abad ke-19, sejumlah kalangan militer mendukung gagasan bahwa semua orang, termasuk perempuan dan anak-anak yang tidak bersenjata, masih menjadi musuh, dengan pihak yang berperang (bangsa atau orang yang terlibat dalam konflik).[70] "Pemenang mendapatkan rampasan" telah menjadi seruan perang selama berabad-abad dan perempuan dimasukkan sebagai bagian dari rampasan perang.[71] Perbudakan seksual yang dilembagakan dan prostitusi paksa telah didokumentasikan dalam sejumlah perang, terutama Perang Dunia Kedua (Lihat #Selama Perang Dunia Kedua ) dan dalam Perang di Bosnia.
Kasus-kasus dalam sejarah
[sunting | sunting sumber]Yunani kuno dan kekaisaran Romawi
[sunting | sunting sumber]Mempekerjakan budak perempuan dan terkadang juga budak laki-laki untuk prostitusi adalah hal yang biasa di masa Helenistik dan Romawi. Banyak referensi yang merujuk praktik ini dalam kajian sastra, hukum, laporan militer dan seni. Seorang prostitusi (budak atau bebas) berada di luar kode moral yang membatasi seksualitas dalam masyarakat Yunani-Romawi dan hanya memiliki sedikit perlindungan hukum. Lihat hukum Roma kuno tentang pemerkosaan sebagai contoh. Hubungan seorang laki-laki dengan budak tidak dianggap perzinahan dalam masyarakat Yunani dan Romawi kuno.
Asia
[sunting | sunting sumber]Perbudakan merupakan hal yang umum dilakukan di zaman Tiongkok kuno. Selama dominasi Tiongkok di Vietnam, gadis-gadis Nanyue dijual sebagai budak seks ke Tiongkok.[72] Perdagangan budak berkembang dengan banyak gadis-gadis yang telah menetap di Tiongkok selatan yang diperbudak dan dibawa ke Tiongkok utara.[73][74] Penduduk yang telah menetap di Fujian dan Guizhou juga dijadikan sebagai budak.[75] Gadis-gadis Yue Selatan digambarkan secara seksual dalam sastra Tiongkok dan dalam puisi yang ditulis oleh orang Tiongkok yang diasingkan ke selatan.[76]
Pada abad ke-16 dan ke-17, orang-orang Portugis dan orang-orang laskar Asia Selatan terkadang terlibat dalam perbudakan di Jepang. Di sana mereka membeli atau menangkap wanita dan gadis muda Jepang yang kemudian dijadikan sebagai budak seksual di kapal mereka atau dikirim ke Makau dan koloni Portugis lainnya di Asia Tenggara, Amerika,[77] dan India.[78] Misalnya, di Goa, sebuah koloni Portugis di India, terdapat komunitas budak dan pedagang budak Jepang selama akhir abad ke-16 dan ke-17.[77][78]
Selama Pengepungan Benteng Zeelandia tahun 1662 (pasukan loyalis Ming yang dipimpin oleh Koxinga mengepung dan mengalahkan Perusahaan India Timur Belanda dan menaklukkan Taiwan), para tahanan pria kolonial Belanda dieksekusi mati. Sedangkan para wanita dan anak-anak yang masih hidup kemudian dijadikan budak. Wanita Belanda dijual kepada tentara Tiongkok untuk menjadi istri atau selir mereka, dan putri remaja misionaris Belanda Antonius Hambroek menjadi selir bagi Koxinga.[79][80][81][82][83][84] Beberapa penampilan fisik orang Belanda seperti rambut pirang dan rambut merah yang terdapat pada sebagian orang-orang di wilayah Taiwan selatan adalah indikasi dari peristiwa ini.[79]
Pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, terdapat jaringan prostitusi Tiongkok yang diperdagangkan ke kota-kota seperti Singapura. Terdapat pula jaringan terpisah prostitusi Jepang yang diperdagangkan di seluruh Asia, antara lain di negara-negara seperti Tiongkok, Jepang, Korea, Singapura dan India. Tempat-tempat ini pada waktu itu kemudian dikenal sebagai 'Lalu Lintas Budak Kulit Kuning'. Terdapat juga jaringan prostitusi dari benua Eropa yang diperdagangkan ke India, Ceylon, Singapura, Tiongkok dan Jepang pada waktu yang hampir bersamaan, yang kemudian dikenal sebagai 'Lalu Lintas Budak Kulit Putih'.[85] Karayuki-san (唐行きさん ) adalah gadis dan wanita Jepang di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 yang diperdagangkan dari prefektur pertanian yang dilanda kemiskinan di Jepang dengan tujuan Asia Timur, Asia Tenggara, Siberia (Rusia Timur Jauh), Manchuria, dan India untuk dijadikan sebagai prostitusi yang memberikan layanan seksual ke orang-orang dari berbagai ras dan etnis, termasuk orang-orang Tiongkok, Eropa, Asia Tenggara, dan lain-lain. Tujuan utama karayuki-san antara lain Tiongkok (khususnya Shanghai), Hong Kong, Filipina, Kalimantan, Sumatra,[86] Thailand, Indonesia, dan Amerika Serikat bagian barat (khususnya San Francisco). Mereka sering dikirim ke orang-orang kolonial Barat di Asia karena terdapat permintaan yang besar dari personel militer Barat.[87] Pengalaman prostitusi Jepang di Tiongkok ditulis dalam sebuah buku oleh seorang wanita Jepang, Tomoko Yamazaki.[88][89][90][91][92][93][94][95][96][97][98] Gadis-gadis Jepang dengan mudah diperdagangkan ke luar negeri karena pelabuhan Korea dan Tiongkok tidak mengharuskan warga negara Jepang untuk menggunakan paspor. Selain itu, pemerintah Jepang menyadari bahwa uang yang diperoleh dari perdagangan karayuki-san juga membantu perekonomian Jepang pada waktu itu,[99] dan boikot Tiongkok terhadap produk Jepang pada tahun 1919 menyebabkan adanya ketergantungan pada pendapatan dari karayuki-san.[100] Karena orang Jepang memandang orang non-Barat sebagai inferior, para wanita Jepang karayuki-san merasa terhina karena mereka terutama melayani pria Tiongkok atau orang Asia Tenggara secara seksual.[101][102] Penduduk asli Kalimantan, Malaysia, Tiongkok, Jepang, Prancis, Amerika, Inggris, dan pria dari setiap ras mengunjungi prostitusi Jepang di Sandakan.[103] Seorang wanita Jepang bernama Osaki mengatakan bahwa laki-laki Jepang, Tiongkok, kulit putih, dan penduduk asli, diperlakukan sama oleh prostitusi Jepang tanpa memandang ras, dan bahwa "pelanggan paling menjijikkan" bagi prostitusi Jepang adalah pria Jepang, sementara mereka menggunakan kata "cukup baik" untuk menggambarkan pria Tiongkok, dan pria Barat adalah klien terbaik kedua, sedangkan pria Asia Tenggara adalah yang terbaik dan tercepat untuk berhubungan seks.[104]
Selama Perang Dunia II, Kekaisaran Jepang mengorganisir sistem "wanita penghibur", yang merupakan eufemisme dari budak seks militer. Sekitar 200.000 orang, sebagian besar wanita Korea (terdapat pula wanita Tiongkok, Filipina dan Indonesia) dipaksa menjadi budak seksual di "stasiun penghiburan" militer Jepang selama Perang Dunia II.[105] Jepang mengumpulkan, membawa, dan mengurung wanita Asia secara paksa dan kolusi untuk melakukan hubungan seksual dengan tentara Jepang selama invasi mereka di Asia Timur dan Asia Tenggara. Beberapa wanita Korea mengklaim bahwa kasus-kasus ini harus diadili oleh pengadilan internasional sebagai kekerasan seks anak. Tuntutan hukum telah dibuat karena kemarahan para korban atas apa yang mereka lihat sebagai ketidakadilan dari upaya hukum yang ada dan adanya penolakan keterlibatan Jepang dalam perbudakan dan penculikan seks anak. Pada tanggal 28 Desember 2015, Pemerintah Jepang dan Pemerintah Korea Selatan sepakat bahwa Pemerintah Jepang akan membayar 1 miliar Yen kepada korban perbudakan.[106][107][108] Terlepas dari kesepakatan ini, beberapa korban Korea mengeluh bahwa mereka tidak diajak berkonsultasi selama proses negosiasi. Mereka berpendapat bahwa Pemerintah Jepang dan Pemerintah Korea secara hukum tidak mengakui klaim mereka.[109]
Perdagangan budak Arab
[sunting | sunting sumber]Perdagangan budak, termasuk perdagangan budak seks,[110] mengalami kenaikan dan penurunan di wilayah-wilayah tertentu di Timur Tengah hingga abad ke-20.[111] Para budak ini sebagian besar berasal dari Afrika Sub-Sahara (terutama Zanj) dan Kaukasus (terutama Sirkasia).[112] Perompak Barbary juga menangkap sekitar 1,25 juta budak dari Eropa Barat antara abad keenam belas dan kesembilan belas.[113][114]
Berbeda dengan perdagangan budak Atlantik yang mempunyai rasio laki-laki-perempuan 2:1 atau 3:1, perdagangan budak Arab biasanya memiliki rasio perempuan laki-laki yang lebih tinggi. Hal ini menunjukkan preferensi untuk budak perempuan. Selir diberikan sebagai insentif untuk mengimpor budak perempuan (seringkali dari Eropa), meskipun banyak juga yang diimpor terutama untuk melakukan tugas-tugas rumah tangga.[115]
Perbudakan orang kulit putih
[sunting | sunting sumber]Di negara-negara Anglophone pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, frasa "perbudakan kulit putih" digunakan untuk merujuk pada perbudakan seksual wanita kulit putih. Itu terutama terkait dengan kisah-kisah wanita yang diperbudak di harem Timur Tengah, seperti yang disebut keindahan Circassian.[116] Ungkapan itu digunakan secara bertahap sebagai eufemisme untuk prostitusi.[117] Ungkapan itu sangat umum dalam konteks eksploitasi anak di bawah umur, dengan implikasi bahwa anak-anak dan perempuan muda dalam keadaan seperti itu tidak bebas untuk menentukan nasib mereka sendiri.
Di Inggris era Victoria, jurnalis William Thomas Stead pernah membeli seorang gadis berusia 13 tahun seharga £5, jumlah yang pada waktu itu sama dengan upah bulanan seorang pekerja (lihat kasus Eliza Armstrong). Kepanikan moral atas "perbudakan wanita" memuncak di Inggris pada tahun 1880-an. Pada saat itu, "perbudakan orang kulit putih" menjadi sebuah isu utama dalam isu moralitas publik. Kecaman-kecaman publik menyebabkan disahkannya undang-undang anti perbudakan di Parlemen. Parlemen kemudian membentuk Undang-Undang Amandemen Hukum Pidana 1885, yang menaikkan usia persetujuan untuk berhubungan seks dari tiga belas menjadi enam belas pada waktu itu.[118]
Hal serupa juga terjadi di Amerika Serikat pada awal abad kedua puluh. Pada tahun 1910, pengacara Chicago AS mengumumkan (tanpa memberikan rincian) bahwa terdapat jaringan kejahatan internasional yang menculik gadis-gadis muda di Eropa, mengimpor mereka, dan memaksa mereka untuk bekerja di rumah bordil Chicago. Klaim-klaim ini dan kecaman-kecaman yang kemudian muncul menyebabkan disahkannya Undang-Undang Amerika Serikat tahun 1910, yang umumnya dikenal sebagai "Undang-Undang Mann". Undang-Undang ini melarang pengangkutan perempuan dari luar negeri untuk tujuan pelacuran dan antar negara bagian untuk tujuan yang tidak bermoral. Tujuan utamanya adalah untuk mengatasi prostitusi dan imoralitas.[119]
Amerika Serikat
[sunting | sunting sumber]Sejak awal perbudakan Afrika di koloni-koloni Amerika Utara, pelecehan seksual terhadap perempuan dan anak perempuan Afrika adalah hal yang biasa. Karya-karya sejarawan menunjukkan bahwa pria kulit putih sering memperkosa wanita Afrika yang diperbudak.[120][121] Hal ini juga telah didukung oleh banyak penelitian genetik.[122][123] Seiring bertambahnya populasi, budak wanita dimanfaatkan oleh pemilik perkebunan, pengawas kulit putih, putra bungsu pemilik perkebunan sebelum dan sesudah mereka menikah, dan pria kulit putih lainnya yang terkait dengan pemilik budak. Beberapa budak wanita dan gadis Afrika langsung dijual ke rumah bordil.
Sejak abad ke-17, Virginia dan koloni lainnya mengesahkan undang-undang yang mengatur status sosial anak-anak yang lahir di koloni. Di bawah sistem hukum umum di koloni, anak-anak mengikuti status hukum ayahnya. Untuk menyelesaikan masalah status anak yang lahir di koloni, Virginian House of Burgesses mengeluarkan undang-undang pada tahun 1662 yang mengatur bahwa anak-anak mengikuti status ibu mereka saat lahir, di bawah prinsip hukum Romawi yang dikenal sebagai partus sequitur venttrem. Jadi semua anak yang lahir dari ibu yang diperbudak adalah budak yang sah, terlepas dari ayah atau leluhur ayah mereka budak atau tidak. Mereka terikat sebagai budak seumur hidup dan dapat dijual seperti budak lainnya kecuali dibebaskan secara resmi.[butuh rujukan]
Istilah "budak kulit putih" kadang-kadang digunakan untuk budak ras campuran atau mulatto yang memiliki proporsi keturunan Eropa yang sangat tinggi. Di antara yang paling menonjol yang terjadi pada pergantian abad ke - 19 adalah Sally Hemings, yang merupakan orang dengan 3/4 berkulit putih. Hemings dikenal memiliki empat anak yang masih hidup dari gundiknya selama puluhan tahun dengan Presiden Thomas Jefferson; mereka 7/8 berketurunan Eropa. Tiga dari anak-anak ras campuran ini dengan mudah masuk ke masyarakat kulit putih sebagai orang dewasa (Jefferson membebaskan mereka semua – dua secara informal dan dua dalam surat wasiatnya).
Zora Neale Hurston menulis tentang praktik seksual kontemporer dalam studi antropologisnya pada tahun 1930-an di kamp di Florida Utara. Dia mencatat bahwa pria kulit putih yang mempunyai kekuasaan sering memaksa wanita kulit hitam untuk berhubungan seksual.
Selama perang dunia kedua
[sunting | sunting sumber]Setelah perang dunia kedua
[sunting | sunting sumber]Selama perang Korea
[sunting | sunting sumber]Masa sekarang
[sunting | sunting sumber]Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ a b Jones, Jackie; Grear, Anna; Fenton, Rachel Anne; Stevenson, Kim (2011). Gender, Sexualities and Law. Routledge. hlm. 203. ISBN 978-1136829239. Diakses tanggal 28 October 2017.
- ^ Malekian, Farhad; Nordlöf, Kerstin (2014). Prohibition of Sexual Exploitation of Children Constituting Obligation Erga Omnes. Cambridge Scholars Publishing. hlm. 211. ISBN 978-1443868532. Diakses tanggal 28 October 2017.
- ^ UNESCO Trafficking Project Error in webarchive template: Check
|url=
value. Empty.. unescobkk.org. - ^ a b "Articles 7 and 8", Rome Statute
- ^ However the elements of the crime of sexual enslavement are described in more detail in a separate document originating from Article 9 of the Rome Statute: "General introduction 1. Pursuant to article 9 [of the Rome Statute], the following Elements of Crimes shall assist the Court in the interpretation and application of articles 6, 7 and 8, consistent with the Statute" (Article 1 of the Elements of the Crime). They are found in a paragraphs entitled "Article 7 (1) (g)-2 Crime against humanity of sexual slavery"; "Article 8 (2) (b) (xxii)-2 War crime of sexual slavery"; and "Article 8 (2) (e) (vi)-2 War crime of sexual slavery". The same wording is used in all three paragraphs ("Article 7 (1) (g)-2 Crime against humanity of sexual slavery", Elements of Crime, International Criminal Law Database & Commentary, diarsipkan dari versi asli tanggal 9 May 2013, diakses tanggal 1 April 2018)
Elements
- The perpetrator exercised any or all of the powers attaching to the right of ownership over one or more persons, such as by purchasing, selling, lending or bartering such a person or persons, or by imposing on them a similar deprivation of liberty.
- The perpetrator caused such person or persons to engage in one or more acts of a sexual nature.
- The conduct took place in the context of and was associated with an international armed conflict.
- The perpetrator was aware of factual circumstances that established the existence of an armed conflict.
International organisations fighting child sex tourism say Mexico is one of the leading hotspots of child sexual exploitation, along with Thailand, Cambodia, India, and Brazil.
Child pornography is part of the violent continuum of child sexual abuse
'Child pornography is not pornography in any real sense; simply the evidence recorded on film or video tape – of serious sexual assaults on young children' (Tate, 1992, p.203) ... 'Every piece of child pornography, therefore, is a record of the sexual use/abuse of the children involved.' Kelly and Scott (1993, p. 116) ... '...the record of the systematic rape, abuse, and torture of children on film and photograph, and other electronic means.' Edwards(2000, p.1)
Because the children depicted in child pornography are often shown while engaged in sexual activity with adults or other children, they are first and foremost victims of child sexual abuse.
The children portrayed in child pornography are first victimized when their abuse is perpetrated and recorded. They are further victimized each time that record is accessed.
...supplying the material to meet this demand results in the further abuse of children Pictures, films and videos function as a permanent record of the original sexual abuse. Consequently, memories of the trauma and abuse are maintained as long as the record exists. Victims filmed and photographed many years ago will nevertheless be aware throughout their lifetimes that their childhood victimization continues to be exploited perversely.
|url=
value. Empty.. BBC.
|url=
value. Empty.. Testimony Submitted to U.S. House of Representatives Human Rights Commission By Anju Malhotra (15 July 2010). International Center for Research on Women
|url=
value. Empty.. Human Rights Council Twenty-first session
|url=
value. Empty.. BBC (1 January 1970). Retrieved 2015-10-29.
|url=
value. Empty.. Better Care Network. Retrieved 29 October 2015.
|url=
value. Empty. April 2005, co-Funded by The Netherlands Ministry for Development Co-Operation. See section "12.52 Crimes against humanity", Page 201. He references RSICC/C, Vol. 1 p. 360
|url=
value. Empty.; Gulo Kokhodze & Tamuna Uchidze, Bride Theft Rampant in Southern Georgia Error in webarchive template: Check |url=
value. Empty., where "great social stigma attaches to the suspicion of lost virginity.". Compare with Barbara Ayres, Bride Theft and Raiding for Wives in Cross-Cultural Perspective, Anthropological Quarterly, Vol. 47, No. 3, Kidnapping and Elopement as Alternative Systems of Marriage (Special Issue) (July 1974), pp. 245. ("There is no relationship between bride theft and status distinctions, bride price, or attitudes toward premarital virginity. The absence of strong associations in these areas suggests the need for a new hypothesis.".)
|url=
value. Empty., N.Y. Times.
|url=
value. Empty. (2001)
|url=
value. Empty.. thuvienbao.com
|url=
value. Empty. New York Daily Times, 6 August 1856
|url=
value. Empty. . Researchnews.osu.edu. Retrieved 8 March 2011.
|url=
value. Empty." 15 January 1999.
|dead-url=Garvey
tidak valid (bantuan) "The decrease in European ancestry on the X-chromosome might imply a simultaneous European male bias and African female bias, which is consistent with increased frequency of sexual interactions between European males and African females, including rape and/or coerced sexual interactions (Kennedy, 2003; Lind et al., 2007)."